• Saturday, 7 October 2017
  • Tung Wai Chee
  • 0

Dahulu, ketika kita lahir. Hadirnya kita disambut dengan gembira oleh ayah dan ibu. Hari yang istimewa, kita terlahir menjadi manusia. Setiap tahun, ayah dan ibu senantiasa menyiapkan perayaan ulang tahun untuk kita dengan susah payah.

Siapa yang tidak suka dengan ucapan, “Selamat Ulang Tahun!” dengan beragam versinya, ucapan yang disertai doa oleh para sahabat maupun keluarga. Tak lupa, beragam hadiah yang mungkin telah lama kita inginkan.

Namun, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa kita menyukai dan tidak sabar dalam menunggu peringatan ulang tahun selanjutnya? Apakah perlu kita mengkhususkan satu hari istimewa dalam setahun guna peringatan ulang tahun?

Sewaktu kecil, kita ingin lekas besar. Kenapa demikian? Hal ini disebabkan ada beberapa hal yang hanya bisa dilakukan ketika kita di usia tertentu. Kemudian ketika kita dewasa, kita mulai khawatir. Waktu terasa cepat berlalu, membuat keadaan semakin membosankan. Ketika kita muda, merupakan era yang penuh kenangan.

Sahabat datang dan pergi. Ada pula yang telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Pengalaman hidup dan Dharma turut mengubah cara pandang kita terhadap hari ulang tahun. Lilin yang habis terbakar, seperti nyawa kita. Setiap saat bisa padam karena berbagai sebab.

Setiap detik jarum jam dan embusan napas akan mendekatkan kita pada kematian. Bukankah ini semua adalah duka?

Duka

Jadi, apakah duka lantas membuat kita diselubungi oleh rasa sedih, trauma, dan kemudian putus asa? Sudah barang tentu tidak. Justru sebaliknya, hal tersebut malah membuat kita menyambut hari ulang tahun kita dengan penuh syukur dan pemahaman.

Kita menjadi seorang yang menghargai kelahiran sebagai seorang manusia untuk belajar Dharma. Memanfaatkan cipta, rasa, dan karsa kita untuk meditasi dan berbuat banyak kebaikan. Menebar rasa kasih sayang pada orang-orang terdekat kita, dan pada akhirnya ke seluruh makhluk. Bukankah ini namanya berkah?

Selagi nyawa di kandung badan, mari kita mengupayakan seberapa pun nyala api lilin yang ada di diri kita, kita akan senantiasa berbuat yang terbaik. Hingga di ujung perjalanan kita nanti, kita akan berterima kasih pada kehidupan, kita masih diberi hidup.

 

*Penulis berdomisili di Malaysia dan aktif di Sasanarakkha Buddhist Sanctuary, Malaysia.
* Ilustrasi Shantidevi Sanliana Putri @greensunday

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *