Berlatih meditasi bukanlah berusaha berkonsentrasi pada obyek tapi lebih pada merasakan obyek. Konsentrasi selalu melibatkan ketegangan yang diakibatkan oleh upaya untuk mengerahkan sesuatu. Sementara itu, merasakan hanyalah mengarahkan pikiran pada obyek tanpa keharusan untuk mendapatkan, mencengkeram, memiliki, atau menyatu dengannya.
Merasakan itu lebih mengalir dan natural. Tidak ada rekayasa ataupun upaya ekstra. Upaya dalam meditasi itu ada, namun natural. Upaya seperti ini bukanlah dorongan untuk menggapai sesuatu, melainkan keseimbangan antara penerimaan dan pelepasan.
Menerima dan melepas yang dimaksud adalah layaknya napas alami. Napas masuk dan keluar selalu silih berganti. Ketiadaan keseimbangan adalah ketimpangan. Hanya fokus ketika menerima atau ketika melepas saja tidak menimbulkan rasa lega. Merasakan dengan lega, tanpa pikiran memiliki apa pun, atau menyadari siapa pun; sekadar berproses secara natural. Hanya ini yang perlu dilakukan dalam meditasi.
Pendekatan meditasi seperti ini adalah pengembangan dari samatha dan vipassana secara bersamaaan. Seperti ungkapan Pali: “Vipassana pubba samatha, samatha pubba vipassana”. Vipassana termasuk dalam kelompok kebijaksanaan (panna) karena yang dikembangkan adalah pengertian. Jadi, ungkapan tersebut bisa dipahami bahwa kebijaksanaan mendahului ketenangan dan ketenangan mendahului kebijaksanaan. Ini siklus yang berulang, yang selalu menguatkan. Semakin kebijaksanaan bertumbuh, maka tumbuh pula ketenangan. Demikian juga jika ketenangan tumbuh, maka kebijaksanaan tumbuh.
Teknik meditasi ini digunakan pada aliran Chan/Zen terutama Soto/Chao Tung. Dalam Soto Zen, ada kata dalam bahasa Jepang ‘shikantasa’ yang berarti duduk hanya duduk. Selain itu, ada juga ungkapan terkenal Zen lainnya seperti ‘sitting quietly doing nothing’. Tidak hanya itu, Ashin Tejaniya, Ajahn Chah, Ajahn Sumedho, dan dr. Thyn Thyn (seorang praktisi meditasi dari Myanmar yang juga seorang dokter) juga menggunakan teknik ini. Aliran lainnya yang mirip adalah Jiddu Krishnamurti yang dipopulerkan di Indonesia oleh Hudoyo Hupudio.
Penekanan terhadap teknik yang alami juga ada dalam Taoisme yaitu prinsip ‘wu wei’ yang diterjemahkan sebagai ‘non-doing’. Tumbuhnya aliran Chan/Zen di Tiongkok diduga karena mengadaptasi Buddhisme dalam atmosfer spiritual Taoisme pada zaman itu.
Istilah ‘bhavana’ yang sering diartikan sebagai meditasi memiliki arti harfiah pengembangan. Sementara itu, dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan menjadi ‘cultivate’ yang dekat dengan istilah ‘mengolah’ seperti ‘mengolah rasa’ dalam ungkapan Jawa. Rasa adalah kepekaan, yang lebih populer dikenal dengan istilah ‘eling’.
Kata eling memiliki akar yang sama dengan kata dalam Bahasa Pali, ‘sati’. Sati juga berarti mengingat, namun bukan mengingat (memorize) dalam pengertian konsep psikologi Barat. Eling atau sati adalah perhatian/keawasan yang natural, yang berkesinambungan. Ketika batin sedang tenang, secara natural batin akan peka dan bisa merasakan keadaan apa adanya. Eling atau sati adalah fungsi pikiran yang alami. Terminologi yang juga sering digunakan untuk menjelaskan sati adalah mindful. Mindful diartikan sebagai keadaan pikiran yang awas sekaligus rileks.
Di Barat, pendekatan meditasi yang menekankan pada hal alami dan tanpa upaya (effortlessly) mulai dipopulerkan oleh John-Kabat Zin yang pernah mempelajari Zen di Jepang. Maka kemudian, istilah mindfulness yang pengertiannya berbeda dengan concentration menjadi populer. Mindfulness meditation menjadi teknik terapi diri yang dianggap mudah bagi semua kalangan tanpa banyak tahapan. Mindfulness meditation kadang juga disebut sebagai choiceless awareness: perhatian yang tidak memilih, tapi mengarahkan pada keadaan apa pun yang mungkin terjadi.
Ajahn Sumedho pernah mengatakan, “Awareness is the path, the path is awareness.” Kata-katanya ini mirip dengan ungkapan Jawa: Urip iku mung sak dermo nglampahi (hidup itu hanya sekadar menjalani). Yang penting adalah noto roso, eling lan waspodo (menata rasa dengan menekankan pada eling/sati/mindful and aware/sati sampajanna, selaras dengan shikantasa). Ketika duduk, kita hanya perlu duduk, tidak perlu memikirkan yang lain.
Dalam salah satu teks Pali yaitu Bahiya Sutta, konon Buddha pernah menasihati Bahiya kurang lebih seperti ini, “Pada waktu melihat, hanya ada melihat. Pada waktu mendengar hanya ada mendengar.”
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara