Dalam beberapa tahun ini, dari waktu ke waktu, memang ada pembicaraan tentang chattra ini dan akhirnya pada bulan Februari tahun 2018, Balai Konservasi Borobudur bersama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko menggelar acara Focus Group Discussion (FGD) tentang pemasangan chattra di Yogyakarta.
Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Dirjen Kebudayan Harry Widianto mengatakan Mendikbud Muhadjir Effendy menyokong rencana ini asal ada dasar kajian dan telah disosialisasikan.
Bapak Harry Widianto menyatakan bahwa FGD pada 2-3 Februari 2018 ini memiliki tujuan untuk merumuskan rekomendasi mengenai mungkin atau tidaknya pemasangan chattra dan menambahkan bahwa “Kami ingin minta pendapat (ke para arkeolog), bisa atau tidak. Kalau layak atau tidak, sebutkan alasannya.”
Seperti yang dikutip oleh suatu media online, Bapak Harry Widianto berpendapat bahwa pemasangan chattra merupakan bagian dari penyempurnaan bentuk Borobudur.
Dia menyayangkan hasil rekonstruksi chattra didiamkan begitu saja selama lebih dari satu abad.
“Kalau bisa dipertanggungjawabkan secara arkeologis, go ahead (lanjutkan pemasangan chattra). Bagi saya, ini kembali ke kita sebagai arkeolog. Ada bagian dari Borobudur, kenapa didiamkan. Sudah ada rekonstruksinya, kenapa wasting time (tak kunjung dipasang).”
Beliau mengakui hasil rekonstruksi chattra stupa puncak Borobudur tidak sempurna. Tapi, menurut dia, rekonstruksi itu sudah mendekati bentuk asli, karena bisa diekstrapolasi dan diinterpretasi. Beliau menilai pemasangan chattra layak dilakukan.
Beberapa aspek dari pernyataan-pernyataan tadi telah dengan sangat jelas terjawab dengan keputusan Van Erp untuk membongkar chattra yang telah dipasangnya.
Pada akhirnya Van Erp sendiri yang menunjukkan dan mengonfirmasi bahwa chattra tidak “merupakan bagian dari penyempurnaan bentuk Borobudur”, bukan “bagian dari Borobudur’ dan tidak bisa “dipertanggungjawabkan secara arkeologis”.
Para pakar senior arkeolog yang ikut dalam FGD tadi pun berbicara, misalnya:
Prof. Dr. Mundarjito, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia (UI), menilai pemasangan chattra di Borobudur berpotensi melanggar etika pemugaran candi. Beliau berpendapat tidak ada bukti yang cukup meyakinkan mengenai orisinalitas hasil rekonstruksi chattra yang ada saat ini.
Tidak ada rekaman gambar saat Borobudur pertama kali dipugar yang menunjukkan serakan bagian candi menyerupai chattra hasil rekonstruksi saat ini. “Pemasangan bagian candi harus ada konteksnya. Kalau tidak ada, untuk apa? Tanpa dipasang chattra, Borobudur sudah terkenal di seluruh dunia,” kata dia.
Prof. Dr. Timbul Haryono, Guru Besar Arkeologi UGM, mengamati bentuk chattra stupa di situs-situs buddhis berbeda-beda dan bergantung pada aspek lokalitas. Beliau mengakui salah satu relief di Candi Borobudur memang mencantumkan tulisan istilah chattra.
Prof. Dr. Timbul menilai garis vertikal pada susunan chattra hasil rekonstruksi saat ini tidak tersambung oleh batu-batu asli candi itu. Hal ini mengakibatkan keabsahannya untuk dipasang menjadi bagian Candi Borobudur meragukan.
Arkeolog UI lainnya, Supratikno Rahardjo juga menilai orisinalitas chattra hasil rekonstruksi insinyur Belanda Theodoor Van Erp tersebut meragukan dari sudut pandang arkeologis. Beliau menyarankan chattra itu tidak dipasang di Candi Borobudur dan hanya dipamerkan untuk bahan kajian. Dr. Supratikno juga mencatat tak ada candi buddha di Jawa Tengah yang memiliki chattra.
Berdasar hasil kajian tim arkeolog Balai Konservasi Borobudur, chattra hasil rekonstruksi yang ada saat ini tersusun dari 50 buah batu. Anggota tim itu, Bapak Hari Setyawan memaparkan 42 persen dari penyusun chattra itu merupakan batu asli. Sementara bagian lain merupakan batu sisa chattra buatan Van Erp dan batu baru.
Dari hasil percakapan pribadi dengan Prof. Dr. Agus Aris Munandar dari Universitas Indonesia, beliau pun sangat menyangsikan kegunaan dan ketepatan tentang pemasangan chattra di Borobudur.
Beliau menyatakan bahwa pendapat dan pengetahuan umat buddhis tentang hal ini juga penting dan diperlukan.
Dalam pembicaraan dengan banyak sesama umat buddhis, ternyata hampir semuanya tidak mengerti tujuan gagasan untuk dipasangnya chattra di puncak stupa Borobudur. Meskipun tidak banyak penolakan karena tidak mengerti tentang chattra, tetapi hampir semua juga menyatakan bahwa misalnya di atas Borobudur ditambah chattra, hal ini tidak akan menambah sedikit pun ‘gaung’ keagungan Borobudur yang sekarang pun sudah tampak jelas.
Janggal
Tidak lazim, ada satu hal yang sangat janggal dan tidak lazim jika chattra tetap terpasang di stupa induk Borobudur.
Hampir semua stupa yang dibangun disertai banyak stupa-stupa dalam satu kompleks, bentuknya akan selalu konsisten. Jika satu memiliki chattra, semuanya ber-chattra. Tidak pernah hanya stupa utama yang ber-chattra dan stupa-stupa sekelilingnya tidak ber-chattra. Atau, yang mana stupa-stupa sekelilingnya tidak ber-chattra, stupa induknya tidak akan ber-chattra.
Bagaimana menyempurnakan manifestasi dari suatu keagungan? Marilah kita bersama menghargai dan melestarikannya, kita junjung dan kumandangkan nilai-nilai warisan leluhur kita apa adanya, sehingga gaungnya akan selalu menggema di Nusantara maupun di mancanegara… tanpa harus menambah apa-apa.
Salim Lee, Perth, Australia, 23 Maret 2021
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara