Setelah Atisha Dipankarasrijanana datang ke Suwarnadwipa, gelombang perantauan Tionghoa dan peranakan yang datang ke Jawa memiliki sedikit kaitan unik dengan 3 aliran Buddhadharma Tibetan: Gelug, Sakya, dan Kagyu, yang semuanya merupakan tradisi Sarma yang banyak berkaitan dengan Atisha.
Mulai dari Dinasti Yuan sampai Dinasti Qing, para kaisar dan anggota kerajaan di Tiongkok biasanya memeluk beragam agama sekaligus yaitu Buddhis Chan (Zen), Buddhis Tibet, Taois Quanzhen dan Zhengyi lalu ada Neo-Konfusian (Khonghucu Baru). Khusus Buddhis Tibet, pengaruhnya cukup terbatas di anggota kerajaan saja dan sedikit sekali sampai di masyarakat Tiongkok, demikian juga dengan perantauan di Nusantara ini.
Dinasti Yuan (Mongol)
Sejak Genghis Khan berguru pada Sachen Kunga Nyingpo dan Kubilai Khan pada Sakya Pandita, Phagspa dan Karma Pakshi, Tiongkok mulai menerima gelombang besar keyakinan Buddhis Tibet di kalangan kerajaan.
Gelombang pertama peranakan hadir sewaktu tentara Kubilai Khan menyerang Jawa. Tentara Kubilai yang tersisa tinggal di Jawa, di area Tuban. Kubilai Khan adalah kaisar kedua Dinasti Yuan. Tentaranya adalah gabungan antara orang Tionghoa Han dan Mongol dan panji resmi bala tentara mereka adalah Panjara Mahakala, dewa militer Dinasti Yuan.
Panjara Mahakala adalah salah satu pelindung Sakyapa dan pelindung bangsa Manchu (Qing) di kota asal mereka, Mukden. Terbukti dari kitab Jawa Sutasoma yang memberikan kisah alegori Kubilai Khan yang digambarkan sebagai Mahakala dan Kertanegara sebagai Sutasoma. Jadi bala tentara Tionghoa yang menetap di Jawa kala itu, kemungkinan besar membawa serta juga panji Panjara Mahakala.
Simbol keramik peranakan banyak yang menampilkan simbol Astamangala (bajixiang). Pengaruh ini juga dibawa dari Buddhis Tibet yang masuk ke Tiongkok pada era Yuan. Di Indonesia, banyak ditemukan keramik peranakan bermotif Astamangala yang biasa berasal dari era Qing, yang akan dibahas di bawah.
Dinasti Ming
Houxian adalah sida-sida (kasim) Dinasti Ming. Beliau adalah pemimpin nomor 3 dalam armada Zheng He (Cheng Hoo). Ia ikut bersama-sama ke Pulau Jawa bersama-sama dengan Laksamana Cheng Hoo pada pelayaran ke-2 dan ke-3. Armada Cheng Hoo membawa gelombang peranakan yang ke-2. Awak-awak kapalnya yang beragama Muslim membawa dampak besar pada Nusantara, kawin silang dengan bangsa Indonesia.
Baca juga: Nusantara adalah Pusat Buddhadharma Mahayana-Vajrayana
Houxian yang merupakan salah satu tangan kanan Yongle dan Cheng Hoo ini, ternyata juga diutus oleh Kaisar Yongle pergi ke Tibet mengundang Jey Tsongkhapa. Jey Tsongkhapa menolak Houxian karena alasan kesehatan dan mengirim muridnya Shakya Yeshe (pendiri Biara Sera) untuk bersama-sama Houxian kembali ke Tiongkok. Surat undangan pada Jey Tsongkhapa ditulis oleh Yao Guangxia (Daoyan) yaitu biksu Chan (Zen) yang merupakan guru dari Laksamana Cheng Hoo.
Kaisar Yongle selalu dikenang sebagai Kaisar Ming yang berkontribusi besar pada Buddis Tibet. Ia memberikan 3 gelar Dharmaraja (Fawang) pada 3 guru Buddhis Tibet dari beragam aliran: Dabao Fawang untuk Karmapa ke-5 dari Kagyu, Dasheng Fawang untuk Kunga Tashi Gyaltsen dari Sakyapa dan Daci Fawang untuk Jamchen Choje Shakya Yeshe dari Gelug.
Selain mendapat Trisarana secara Chan dari gurunya, diduga Cheng Hoo juga mendapat Trisarana juga dari Gyalwang Karmapa ke-5 karena Cheng Hoo memiliki nama Dharma khas Tibet yaitu Sonam Tashi. Para sida-sida Dinasti Ming memang banyak yang memeluk Buddhis Tibet dan juga sangat menghormati para Lama.
Dinasti Qing
Gelombang terakhir peranakan adalah yang kita kenal saat ini yaitu yang datang pada saat Dinasti Qing (Manchu). Perlu diketahui bahwa agama resmi Kerajaan Qing adalah Gelug, yang menjadi kekuatan agama yang menyatukan Tiongkok, Tibet, dan Mongolia secara politis.
Istana Qing atau Forbidden City diteliti sebenarnya sarat dengan pengaruh mandala Yamantaka. Yamantaka adalah yidam pelindung kerajaan pada masa Dinasti Qing, Para kaisar Manchu dipandang sebagai emanasi Manjusri sehingga Yamantaka yang merupakan wrathful dari Manjusri menjadi Istadewata utama. Untuk urusan pertahanan, Panchen Lama memberikan rupang Mahakala dan Palden Lhamo dalam upacara perlindungan kerajaan.
Budaya Peranakan di Nusantara banyak membawa serta budaya Qing/Manchu. Kalung tasbih yang dipakai oleh para pejabat Qing yang juga dipakai oleh kaum Peranakan Tionghoa di Indonesia adalah pengaruh Buddhis Tibetan. Tasbih merupakan hadiah yang sering ditukar antara Kaisar Qing dengan Dalai Lama, Panchen Lama, dan para Hutukhtu.
Baca juga: Retret Meditasi Chan Adalah untuk Melihat Diri Sendiri
Para kaum Qing mengikuti pendiri mereka, Nurhaci, yang taat dan rajin melafal mantra menggunakan tasbih setelah berguru pada Guru Dharma Sakyapa Olug Nangso. Guru Olug Nangso inilah yang mendekatkan budaya Manchu dengan Tibetan Buddhis, memberikan jalan agar Gelug membawa dampak besar pada Qing,
Guan Gong yang merupakan salah satu dewa utama bangsa Han yang diyakini oleh Tridharma dan Buddhis Chan, juga diadopsi menjadi Dharmapala Gelug sekaligus dewa militer pelindung resmi Dinasti Qing. Panchen Lama pada masa Dinasti Qing berkata bahwa seantero sekte Gelug mesti menghormati Guan Gong.
Di Beijing, aula resmi Yamantaka berdekatan dengan Dharmapala Guan Gong, ritual mereka terkadang bahkan kadang digabungkan. Dikarenakan pelindung resmi Qing, pamor Guan Gong juga semakin naik di kalangan masyarakat Tiongkok dan ini sedikit banyak berdampak pada meratanya pemujaan sang dewa di peranakan Nusantara.
Penulis dan executive editor majalah Buddhis Sinar Dharma, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara