• Saturday, 16 September 2017
  • Victor A Liem
  • 0

Akar perilaku kekerasan remaja berhubungan dengan kondisi psikologis. Berbeda dengan gerakan radikal beragama yang sering diboncengi motif politik dan ekonomi dari kelompok tertentu. 

Belum lama ini kita mendengar kabar tentang tewasnya siswa SMA bernama Hilarius Christian Event Raharjo dalam ‘duel gladiator’. Guru sekolah pun tidak tahu menahu jika antarsekolah ada tradisi perlombaan duel ala Gladiator. Pihak sekolah baru mengetahui ketika pada tanggal 29 Januari 2016 silam, Hilarius tewas dihajar lawannya.

Remaja memiliki kecenderungan untuk mencoba hal-hal yang baru.  Ada rasa ingin tahu dan remaja belum bisa memahami kejelasan manfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Ditambah lagi masa puber yang membuat remaja ingin banyak mengenal diri maupun orang lain termasuk lawan jenis.

Faktor utama yang membentuk perilaku remaja selain orangtua adalah lingkungan dan pergaulan. Memasukkan norma-norma sosial yang baik penting bagi perkembangan remaja sehingga berada dalam lingkungan yang justru membuatnya berkembang.

Pesan Dalai Lama

Dalam suatu kesempatan, HH. Dalai Lama XIV  bersama Richard Davidson, seorang peneliti dari Universitas Wisconsin-Madison dan juga pendiri the Center for Healthy Minds menyebutkan, “Kita perlu mengambil tanggung jawab untuk mengembangkan kualitas positif seperti kebaikan hati dan welas asih.”

Dalai Lama meringkas dua hal yaitu anti kekerasan dan kesalingterkaitan. Anti kekerasan bukan hal pasif. Perlu upaya aktif untuk mengupayakannya. Membantu orang lain termasuk di dalamnya. Minimal tidak mengganggu dan menyakiti orang lain. Tidak menyakiti orang lain adalah konsekuensi logis atas kesadaran bahwa semua orang termasuk alam itu saling terkait satu sama lain. Membangun relasi yang baik satu sama lain adalah kewajiban bersama.

Dalam falsafah Jawa, hal itu adalah seperti dalam ungkapan “Memayu hayuning buwana”. Menjaga tatanan dan keseimbangan semesta dan kehidupan sosial kemasyarakatan termasuk juga di dalamnya.

Remaja

Remaja perlu diajarkan bahwa anti kekerasan bukanlah kelemahan. Perilaku anti kekerasan dan bersinergi dengan orang lain, adalah kekuatan untuk mewujudkan masa depan dan kehidupan individu maupun sosial yang lebih baik. Banyak peneliti, seperti Daniel Goleman, yang memahami bahwa keberhasilan dalam hidup ditentukan oleh kecerdasan sosial selain kecerdasan emosi.

Peran pendidik baik guru di sekolah dan orang tua bertanggungjawab dalam membentuk perilaku anti kekerasan dan menumbuhkan sikap bekerjasama dengan orang lain, selain juga mencari bakat dan kelebihan anak.

Apabila anak remaja bisa tercurahkan pada minat, dan tentu juga diiringi dengan karakter yang baik, maka dia tidak akan terjerumus dalam pergaulan yang keliru. Kenakalan remaja yang berada dalam tahap mengkhawatirkan, umumnya, hanya dijumpai pada anak remaja yang belum menemukan bidang yang menjadi minatnya.

Keingintahuan remaja justru perlu disambut dan diarahkan pada penemuan jati diri, pembinaan karakter, dan hidup berdampingan dalam suatu komunitas serta bekerjasama untuk mewujudkan karya yang menjadi bagian dari perkembangan dirinya.

Apabila keingintahuan tersebut tidak disambut dengan baik, maka remaja akan mencarinya sendiri di tempat mana pun yang dikhawatirkan itu di tempat yang salah.

Seperti yang dikatakan dalam Sutta Manggala. Memiliki pengetahuan dan keterampilan. Terlatih dalam tata susila. Sopan dan bertutur kata dengan baik. Hal ini disebut sebagai berkah karena itu adalah lingkungan yang tepat. Seperti halnya menanam biji pada lahan yang subur. Demikian juga dengan anak remaja yang tumbuh dan diarahkan dengan baik.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *