Sehari kita punya 24 jam, ada waktu ketika kita terjaga dan tentu saja ada waktu ketika kita terlelap tidur. Demikianlah fisik kita, namun lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya, mental tampaknya selalu aktif ketika terjaga, bahkan tidur sekalipun masih tetap aktif, lantas kapan sang mental istirahat? Mental bisa istirahat kapan saja ketika kita kehendaki, itulah ajaibnya mental kita. Buddha menganalogikan fisik dan mental bagaikan air sungai yang terus mengalir, terus berubah.
Zaman sekarang kesibukan tampaknya menjadi budaya warga metropolitan, hampir tidak menyisihkan celah untuk beristirahat. Santai dan relaks bisa dianggap tidak efisien “doing nothing is not efficient”. Tak heran jika ada orang yang takut dicap tidak efisien oleh karena itu selalu berupaya untuk sibuk atau mengerjakan sesuatu.
Sang mental atau pikiran melompat dari satu agenda ke agenda lain, ini disebut pikiran acak tak beraturan. Satu saat melompat ke rumah, kemudian tiba-tiba berpindah ke mall dalam hitungan milidetik. Tak lama kemudian pindah ke kantor, terus pindah lagi ke acara janji temu, perpindahan ini bisa terus mengalir hingga ada suatu pemicu yang menghentikannya.
Tidak hanya pikiran acak saja, namun ada lagi pikiran yang menyerupai kronologis sebuah kisah, Anda bisa saja duduk di kantor sambil termenung, “Habis ini saya mau pergi makan di restoran itu. Nanti ada toko elektronik, saya mau mampir belanja di sana. Tapi toko itu harganya mahal, mending ke toko seberangnya, cuaca agak mendung mending saya langsung balik saja. Nanti belanja online store saja, tapi tagihan kartu kredit agak…” Kring, kring bunyi telepon, dia pun tiba-tiba sadar. Manusia tentu saja boleh membuat rencana namun manusia lebih sering hidup dalam rencana-rencananya sehingga lebih sering melewatkan momen sangat berharga di depannya, hidup ini hanya ada di masa kekinian, bukan masa lalu juga bukan masa depan.
Inilah sebetulnya satu dari sekian penyebab energi otak dan fisik cepat lowbat. Menurut beberapa ahli bahwa otak mengomsumsi kalori terbanyak. Anda pasti pernah melihat sendiri bahwa ada orang stres yang kehilangan selera makan, namun ada juga yang justru selera makannya lebih besar. Stres dan selera makan tampaknya memiliki hubungan erat.
Meditasi menjadi praktik untuk mengurangi pikiran acak. Ini kondisi awal yang dibutuhkan. Oleh karena itu tidak heran jika meditasi selalu dimulai dengan relaksasi badan, menciptakan kondisi yang nyaman, kemudian beristirahat pada satu obyek. Konsep beristirahat mirip dengan jika seseorang ingin beristirahat maka dia hanya memilih satu tempat saja. Demikian juga jika Anda ingin mengistirahatkan pikiran, maka pilihlah satu obyek saja, obyek yang ada di sini dan saat ini. Inilah yang disebut berhenti dan beristirahat atau samatha.
Manusia zaman sekarang ada tendensi membangun kebiasaan mengejar target, deadline, terburu-buru, dan masih banyak lagi. Semua ini merupakan tuntutan zaman sekarang yang seolah-olah tidak bisa ditawar lagi. Bayangkan kereta melesat cepat yang tidak mungkin bisa dihentikan mendadak, sangat fatal apabila dihentikan mendadak.
Proses berhenti selalu dilakukan secara progresif yaitu setahap demi setahap. Bayangkan kipas angin yang berputar kencang, ketika tombol off ditekan maka kipas itu akan berhenti secara perlahan-lahan, ada konsekuensi berat dan fatal jika menghentikan kipas secara mendadak.
Penerapan samatha juga demikian, pilih satu obyek yang terjadi saat ini, contohnya napas. Awasi napas masuk dan keluar, jangan heran jika pikiran masih aktif melompat dan mengacak. Percakapan dalam pikiran pun terus berlangsung. Ada praktisi pemula yang pernah berkisah bahwa ia pernah memarahi pikirannya sendiri karena sang pikiran terus melompat-lompat terus dan tidak manut dengan komando untuk mengawasi napas. Ini kekeliruan kecil praktisi pemula, Anda tidak perlu naik pitam berkenaan dengan itu.
Ada beberapa orangtua setuju bahwa anak yang bandel harus dimarahi, anak kecil itu pun menjadi takut dan manut. Rasa takut ini memberikan bekas negatif kepada mereka, padahal orangtua tidak bermaksud jahat. Demikian pula sang praktisi pemula memarahi pikirannya seperti orangtua memarahi anaknya sendiri, sama-sama meninggalkan jejak negatif. Jadi tidak heran kalau pikiran manusia lebih dominan energi negatif daripada positif. Contoh tersebut merupakan bukti kekerasan kecil yang ditimbulkan oleh pikiran kepada pikiran.
Mari kita bangun kebiasaan baru untuk mengistirahatkan pikiran pada satu obyek yang ada di sini dan saat ini. Beristirahat di satu tempat dalam satu waktu. Lakukanlah secara berkala dan rutin, kenalilah pikiran acak dan pikiran kronologis, hindari kekerasan mental maupun fisik. Seimbangkanlah pikiran lewat meditasi secara berkesinambungan. Selain mencurahkan perhatian pada napas, masih ada teknik lain seperti melalui pembacaan parita, mantra, atau pendarasan sutra, berarti Anda sedang mengistirahatkan pikiran pada paritta, berarti Anda sedang mengistirahatkan pikiran pada mantra, mengistirahatkan pikiran pada sutra.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara