• Monday, 17 March 2025
  • Surahman Ana
  • 0

Oleh: Latifah, Dosen STAB Kertarajasa

Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh UC Berkeley-UCLA pada April 2023, Jack Meng-Tat Chia, Asisten Profesor Sejarah dan Studi Agama di National University of Singapore, membahas tema menarik tentang hubungan Buddhadharma di sepanjang Laut China Selatan. Dalam presentasinya, berjudul Journey to the South: Buddhist Connections across the South China Sea, ia mengungkap bagaimana migrasi dan jaringan spiritual telah membentuk perkembangan Buddha di Asia Tenggara, khususnya di wilayah maritim seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Migrasi dan Penyebaran Buddha

Chia memulai ceritanya dengan menjelaskan bagaimana migrasi besar-besaran orang Tionghoa dari China ke Asia Tenggara pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 turut membawa serta praktik keagamaan, termasuk Buddha. Migrasi ini tidak hanya membawa tenaga kerja, tetapi juga tradisi spiritual yang kemudian berkembang dalam diaspora Tionghoa. Chia menekankan bahwa para migran ini membawa serta dewa-dewa lokal dan praktik keagamaan yang bercampur dengan Buddha, yang menciptakan bentuk awal Buddhadharma pra-institusional di Asia Tenggara.

Pada awalnya, kuil-kuil Buddhis di wilayah ini dikelola oleh para pedagang Tionghoa, bukan oleh biksu. Baru pada akhir abad ke-19, biksu-biksu terpelajar dari China tiba dan mulai membangun institusi Buddhis yang lebih terstruktur. Mereka membawa pemahaman yang lebih mendalam tentang Buddhadharma dan mulai mendirikan vihara serta sekolah-sekolah Buddhis.

Reformasi Buddha Modern

Chia juga membahas gerakan reformasi Buddha modern di China pada awal abad ke-20, yang dipelopori oleh tokoh seperti Taixu. Gerakan ini bertujuan untuk merevitalisasi Buddha dengan menekankan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai praktik ritual. Taixu, yang mengunjungi Singapura beberapa kali, memanfaatkan jaringan diaspora Tionghoa untuk mengumpulkan dana dan menyebarkan gagasan-gagasan reformasinya.

Gerakan reformasi ini turut memengaruhi perkembangan Buddha di Asia Tenggara. Chia mencontohkan bagaimana biksu-biksu seperti Chuk Mor di Malaysia dan Yen Pei di Singapura memainkan peran penting dalam memodernisasi Buddha di wilayah tersebut. Mereka mendirikan organisasi-organisasi Buddhis, sekolah, dan pusat-pusat pendidikan yang tidak hanya melayani kebutuhan spiritual, tetapi juga sosial.

Buddha di Indonesia: Upaya Menjadi Lebih Lokal

Salah satu kisah menarik yang dibahas Chia adalah upaya Ashin Jinarakkhita, biksu kelahiran Indonesia, untuk membuat Buddha lebih inklusif dan sesuai dengan konteks lokal. Di negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia, Jinarakkhita berusaha menciptakan bentuk Buddha yang tidak terlalu “Tionghoa” agar dapat diterima oleh masyarakat luas. Ia memperkenalkan konsep Sang Hyang Adi Buddha sebagai upaya untuk menyelaraskan Buddha dengan prinsip-prinsip Pancasila, terutama keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.

Jinarakkhita juga menggabungkan elemen-elemen dari tradisi Theravada dan Mahayana, menciptakan gerakan yang disebut Buddhayana. Gerakan ini bertujuan untuk menciptakan komunitas Buddhis yang lebih inklusif dan non-sektarian, yang sesuai dengan semangat “Bhinneka Tunggal Ika” Indonesia.

Jaringan dan Pertukaran Antarwilayah

Chia menekankan pentingnya jaringan Buddhis yang menghubungkan China dengan Asia Tenggara. Jaringan ini tidak hanya memfasilitasi pergerakan biksu dan gagasan, tetapi juga aliran sumber daya, seperti dana untuk pembangunan vihara dan sekolah. Misalnya, Taixu memanfaatkan jaringan ini untuk mengumpulkan dana dari diaspora Tionghoa di Singapura guna mendukung program-programnya di China.

Selain itu, Chia juga menyoroti bagaimana jaringan ini tidak terbatas pada wilayah maritim Asia Tenggara, tetapi juga meluas ke daratan Asia Tenggara, seperti Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Biksu-biksu dari China dan Asia Tenggara saling bertukar pengetahuan dan praktik, menciptakan dinamika yang kaya dalam perkembangan Buddha di wilayah ini.

Masa Depan Kajian Buddha di Asia Tenggara

Chia menutup presentasinya dengan menyerukan perlunya penelitian lebih lanjut tentang sejarah terhubungnya komunitas Buddhis di China dan Asia Tenggara. Ia menekankan pentingnya memahami bagaimana gagasan, orang, dan sumber daya bergerak melintasi Laut China Selatan, yang membentuk Buddha yang kita kenal hari ini.

Dengan menggali lebih dalam tentang peran biksu-biksu migran, jaringan perdagangan kolonial, dan upaya reformasi, kita dapat memahami lebih baik bagaimana Buddhadharma berkembang dan beradaptasi di Asia Tenggara. Kisah-kisah ini tidak hanya tentang spiritualitas, tetapi juga tentang migrasi, identitas, dan upaya manusia untuk menemukan makna dalam kehidupan yang penuh perubahan.

Presentasi Chia mengingatkan kita bahwa Buddha di Asia Tenggara adalah hasil dari pertemuan berbagai budaya, tradisi, dan sejarah yang kompleks. Melalui kajian seperti ini, kita dapat lebih menghargai kekayaan spiritual dan budaya yang telah dibentuk oleh perjalanan panjang ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *