Ada yang menarik ketika saya membaca tulisan Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulloh Jakarta berjudul “Dahsyatnya Keyakinan” yang dimuat dalam harian Seputar Indonesia edisi Jumat, 10 Januari 2014 lalu. Dalam tulisan tersebut,
Prof. Komaruddin mengulas bagaimana besarnya pengaruh kepercayaan dan keyakinan dalam kehidupan setiap orang.
“Kepercayaan mendatangkan ketenangan, kalau kita tidak mempunyai kepercayaan bagaimana repotnya hidup kita. Hampir semua hidup kita berhubungan dengan orang lain, dari mulai makan, bank, guru, sekolah anak. Bisa dibayangkan kalau setiap makan kita ragu bahwa masakannya diracun karena kita tidak percaya dengan tukang masaknya,” tulisnya.
Menurut Prof. Komaruddin, kepercayaan berbeda dengan keyakinan, “Keyakinan sifatnya lebih mendalam. Keyakinan lebih menggerakkan seseorang untuk membuat keputusan dan berbuat sesuatu. Keyakinan mampu menggali kekuatan yang tersimpan dalam diri seseorang. Dalam kehidupan beragama, faktor keyakinan sangat vital dan fundamental. Banyak prestasi yang fundamental di dunia karena keyakinan agama. Namun banyak pula perang berkepanjangan sampai berdarah-darah karena keyakinan terhadap agama.”
Dalam Buddhisme, keyakinan atau biasa disebut saddha (Pali) atau sraddha (Sansekerta), merupakan hal yang penting. Menurut Buddha, seseorang belajar ajaran Dharma apabila tidak dilandasi dengan keyakinan maka hanya untuk mengetahui tapi tidak mempraktikkan. Keyakinanlah yang dapat mendorong seseorang untuk mempraktikkan Dharma.
Di dalam Anguttara Nikaya III, 206 disebutkan bahwa keyakinan terhadap Dharma merupakan salah satu dari lima ‘kekayaan’ yang dimiliki oleh seorang umat Buddha. Di dalam Anguttara Nikaya III, 127 juga disebutkan bahwa umat Buddha harus mengembangkan keyakinan terhadap ajaran Buddha.
Nagarjuna, seorang filsuf Buddhis melukiskan, bahwa keyakinan mendahului pemahaman, karena tanpa keyakinan bagaimana bisa memahami. Namun, keyakinan dalam agama Buddha bukan sekadar keyakinan terhadap suatu makhluk tertinggi yang akan menyelamatkan kita jika meyakininya. Untuk mencapai pencerahan sebagai makhluk suci (Arahat), keragu-raguan juga perlu dilenyapkan dengan keyakinan terhadap kebenaran realitas dunia ini (Dharma).
Keyakinan dalam Buddhisme adalah meyakini adanya Triratna (Buddha, Dharma, dan Sangha). Namun aspek penting keyakinan dalam Buddhisme adalah kita harus mengerti dengan benar apa yang kita yakini. Dalam bahasa lain, mengerti apa itu Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Keyakinan memang membuat kita bersujud, bernamaskara dan berbakti, tetapi dalam Buddhisme tidak cukup hanya sampai di situ. Keyakinan juga harus dilandasi pengertian benar. Apa yang kita yakini tanpa memahami apa yang kita yakini, keyakinan tersebut hanyalah formalitas, keyakinan tersebut hanya memberi kepuasan emosi, hanya hiburan spiritual. Oleh karena itu kita harus belajar untuk mengerti dengan benar, dengan terang, dengan jelas siapa yang kita yakini. Siapakah Buddha, Dharma dan Sangha itu. Karena belajar itulah kita mengerti dengan benar, praktik Dharma.
Dengan bahasa sederhana, keyakinan dalam ajaran Buddha adalah dating dan membuktikan kebenaran Dharma (ehipassiko). Buddha sendiri mengajarkan muridNya untuk mengkritisi AjaranNya sendiri.
Salah satu sutta yang terkenal dan dianggap sebagai pedang kebijaksanaan yang menjunjung nilai-nilai pluralisme adalah Kalama Sutta. Sutta ini mengisahkan pada waktu Buddha berkunjung ke sebuah wilayah bernama Kesaputta di Kerajaan Kosala, dan bertemu dengan Suku Kalama yang menanyakan tentang ajaran mana yang paling benar yang dibawakan oleh banyak guru dan pertapa. Semua guru yang mereka temui mengatakan bahwa ajarannya yang paling benar sambil mencela ajaran guru lain.
Buddha menasehati agar mereka tidak mudah percaya akan sesuatu yang diberikan kepada mereka, tertulis dalam kitab-kitab suci, atau telah menjadi tradisi, atau terdengar sangat masuk akal, melainkan direnungkan dengan seksama, atau sesuai dengan pandangan mereka, atau berasal dari guru-guru yang sangat mereka hormati. Penilaian benar-salah, baik-buruk, dan bermanfaat tidak bermanfaat hendaknya didasarkan pada pemeriksaan yang seksama. Jika telah diselidiki ternyata berguna dan membuahkan kebahagiaan dan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain, maka hal tersebut hendaknya diterima dan dilaksanakan. Sebaliknya bila terbukti merusak atau menimbulkan penderitaan, maka harus ditolak dan ditinggalkan.
Ada beberapa hal yang dapat ditarik dari pernyataan tersebut. Ketika menjawab pertanyaan Suku Kalama, Buddha tidak menyinggung AjaranNya sendiri sebagai yang paling benar. Artinya bersikap kritis tidak hanya ditunjukkan pada ajaran-ajaran lain saja. Ajaran sendiri hendaknya juga dipelajari dan dipahami secara kritis.
Dalam Buddhisme, Buddha selalu diibaratkan sebagai seorang dokter, Dharma sebagai obat dan Sangha sebagai orang yang telah sembuh. Ada dokter, ada obat dan terbukti obat dari dokter bisa menyembuhkan. Inilah yang menjadi landasan umat Buddha dalam meyakini Ajaran Buddha.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara