• Wednesday, 27 April 2016
  • Anwar Nagara
  • 0

Malam itu ada sesi tanya jawab, semua siswa-siswi yang mengikuti program retret “mindfulness” diberikan kesempatan untuk bertanya, topiknya seputar latihan atau hal-hal yang berkenaan dengan sekolah maupun spiritual.

Beberapa bhante, samanera, dan samaneri sudah duduk dengan rapi di hadapan mereka. Sebelum mulai sesi itu, kami semua mendengarkan suara lonceng untuk menenangkan diri sejenak, mengamati napas, dan mengizinkan seluruh badan serta batin untuk rileks.

Ternyata banyak yang ingin bertanya, beberapa pertanyaan sengaja kami tampung terlebih dahulu, kemudian baru dijawab satu per satu. Beberapa pertanyaan telah dilontarkan, semuanya sangat bagus, dan saya ingin mengisahkan tentang pertanyaan ini, “Aku mencintai dua agama, boleh kan? Bagaimana jika aku menganut keduanya?”

Saya tersenyum mendengarnya, pertanyaan ini sangat menarik dari seorang anak yang umurnya berkisar 15 tahun. Sungguh luar biasa, ini untuk pertama kali di Indonesia saya menerima pertanyaan beginian.

Era Keterbukaan
Saya memang lama di Eropa, jadi tidak heran apabila mendapat pengaruh dari sistem pemikiran di sana. Tapi anak itu tidak pernah ke luar negeri, lantas dari mana ide seperti itu muncul? Apakah karena keterbukaan informasi pada zaman ini?

Saya sangat terkesima dengan pertanyaan itu. Saya perlu menjawab dengan penuh kasih sayang. Saya cerita ke semua anak, bahwa kalau tampak luar, saya adalah bhiksu yang beragama Buddha, tapi di dalamnya belum tentu “murni” 100% Buddhis. Saya yakin dengan “Ajaran Buddha terbentuk dari elemen non ajaran Buddha”. Siddharta mendapat banyak pengaruh dari berbagai ajaran spiritual yang berkembang di India saat itu, saya juga demikian, saya banyak mendapat pengaruh dari agama yang berkembang di Indonesia

Ketika saya masih SD, tidak ada agama lain yang bisa saya pelajari, saya ikut belajar agama Islam. Zaman itu guru agama sering menceritakan kisah-kisah para nabi, saya termasuk orang yang paling suka mendengar cerita.

Tak heran jika saya menyimak dengan seksama dari awal hingga akhir. Kebetulan setelah pelajaran agama biasanya disusul oleh waktu istirahat, sang guru akan memberikan pertanyaan kepada semua murid, yang bisa menjawab dengan tepat diperbolehkan istirahat lebih awal. Coba tebak, saya merupakan siswa yang selalu keluar duluan karena bisa menjawab dengan tepat! Kisah-kisah inspiratif para nabi membuat saya sangat senang dengan Islam.

Waktu saya di India juga demikian, saya mencari tahu lebih banyak tentang Brahmaisme, sistem kasta, tentang Hindu, tentang Bah’ai, dan pemikir-pemikir besar, seperti Rabindranath Tagore, dan Mahatma Gandhi.

Menganut Dua Agama?
Ketika ditanya apakah seseorang boleh menganut dua agama? Jawaban pertama saya adalah kalau di Indonesia tampaknya tidak boleh karena ada peraturan yang mengatur, bahkan bisa dianggap aneh dan janggal, lagipula masing-masing agama memiliki prinsip berbeda-beda berkenaan dengan konteks itu.

Apabila pertanyaan ini ditanyakan di luar negeri, bisa saja menuai jawabannya yang sangat berbeda. Masyarakat Eropa dan Amerika tidak mewajibkan warganya beragama, karena agama merupakan urusan pribadi. Jika ada seseorang yang ingin menganut dua agama tentu saja itu urusan personal, negara tidak ikut campur.

Ajaran Buddha tampaknya lebih liberal, contohnya kejadian Bhante Sariputra yang berpindah “aliran” dari Sanjaya menjadi murid Buddha, justru Buddha mewajibkan Bhante Sariputra tetap menghormati guru terdahulunya.

Masyarakat Eropa dan Amerika lebih cenderung mengedepankan spiritualitas. Bagaimana spiritual bisa membantu mereka mengerti penderitaan, membantu mereka mengurangi stres dan frustrasi, bagaimana spiritual bisa membantu mereka menumbuhkan cinta kasih, kesabaran, ketulusan, dan pengertian.

Guru kami, Thich Nhat Hanh sering menasihati sahabat-sahabat di dunia Barat untuk tidak pindah agama, karena pindah agama seperti mencabut pohon dari tanah dan memotong akarnya. Beliau memberi contoh ada orang yang suka makan buah mangga, maka dia boleh makan mangga setiap hari. Suatu hari dia makan nanas, apakah dia telah mengkhianati mangga?

Demikian juga para sahabat Kristiani yang datang ke Plum Village untuk belajar meditasi. Bahkan ada dari mereka yang menjadi monastik (bhiksu atau bhiksuni) tapi masih menyebut dirinya sebagai seorang Kristiani.

Nektar Dharma
Meditasi tidak dimonopoli oleh Buddhis saja, namun semua orang boleh datang dan belajar meditasi tanpa harus menjadi Buddhis, karena bagi Plum Village menjadi Buddhis atau tidak, ini sudah tidak relevan lagi. Demikian juga psikologi yang banyak membantu manusia, apakah kita nanti akan menciptakan agama yang bernama “psikologi”?

Saya banyak belajar dari kearifan Tuhan Yesus, saya juga banyak terinspirasi oleh kisah-kisah Nabi, saya juga sangat senang dengan Rumi dan kisah Nashruddin Hoja, saya juga pengagum ordo Benedict, Santo Francis dari Assisi, kisah heroik Three Kingdom terutama sang ahli strategi Zhuge Liang, hingga Raja ternama dari Tibet bernama Songtsen Gampo.

Saya hanya merespon dari sudut pandang pribadi, saya percaya bahwa Buddha sendiri juga bukan beragama Buddha kok. Identitas tampak luar saya gundul dan berjubah coklat ala Zen Vietnam Plum Village, namun “isi” di dalam; tak ada yang bisa menjelaskan dengan persis, karena percampuran berbagai aspek.

“Saya mengakui bahwa saya adalah bhiksu, namun saya tidak terikat pada ajaran Buddha,” demikianlah respon dari Thich Nhat Hanh ketika memberi wejangan di Museum New Delhi, India.

Demikianlah yang bisa saya bagikan pada Anda. Dari sahabatmu.

Anwar Nagara

Dharmacharya dari silsilah Zen Master Thich Nhat Hanh, Plum Village, dikenal sebagai 真法子「Chân Pháp Tử」. Menerima Penahbisan samanera dari tradisi Theravada dengan nama 釋學賢 「Nyanabhadra」dari Y.M. Dharmavimala. Menerima penahbisan ulang sramanera dari silsilah Mulasarvastivada dari Y.M. Dalai Lama ke-14 di Dharamsala dengan nama Tenzin Donpal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *