Eggi Sudjana dan Pembiaran yang Tidak Boleh Dibiarkan.
Namo Sanghyang Adi Buddhaya, Namo Buddhaya, Assalamualaikum Wr. Wb., Shalom, Om Swastiastu,
Yth. Segenap Umat Buddhis Indonesia,
Surat ini, terlebih dulu harus diakui, dibuat khusus untuk menggambarkan keluh kesah umat beragama (dalam hal ini: umat agama Buddha) di Indonesia. Sudah terlalu banyak ujaran kebencian yang dilontarkan oleh segelintir oknum tak bertanggung jawab selama ini, sudah terlalu banyak kebenaran dan fakta yang dipelintir oleh sekelompok individu pemecah belah bangsa, yang semuanya kemudian luput begitu saja dari pengawasan hukum dan nurani orang Indonesia.
Saya pribadi tidak punya kuasa legal untuk menindaklanjuti semua penyelewengan ini. Saya hanya warga negara biasa. Tapi saya tahu kalau minimal, sebagai seorang warga Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan sila pertama dari Pancasila, saya masih memiliki nurani. Dan nurani saya tidak sanggup membiarkan pernyataan Eggi Sudjana berlalu begitu saja tanpa dikritisi dan dijadikan polemik baik di kalangan buddhis maupun non buddhis.
Pernyataan Eggi Sudjana tentang “hanya agama Islam yang sesuai sila pertama Pancasila”, jujur bagi saya, bukan sekadar omongan sambil lalu dari seseorang yang boleh jadi hanya ingin mencari sensasi. Saya tidak peduli motivasi pribadi Eggi (lagipula, hanya Tuhan yang mampu menyelami hati manusia). Saya juga tidak mengacuhkan keimanan seperti apa yang diyakini Eggi (sekali lagi, ini urusan pribadi Tuhan).
Yang saya keluhkan hanya satu: bahwa pernyataan Eggi ini berkaitan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Ormas, yang pada gilirannya menggiring Eggi untuk menyimpulkan bahwa agama-agama yang lain harus dibubarkan kalau Perppu Ormas disetujui. Pendapat Eggi ini, tak pelak, memecah-belah keutuhan bangsa ini.
Karenanya sebelum polemik ini menyebar lebih meluas, saya berpikir diperlukan semacam penjelasan yang komprehensif mengenai posisi Buddhisme dalam kebangsaan Indonesia yang dapat menjadi sebuah rujukan terutama bagi umat agama Buddha.
Pertama-tama, bukan sebuah perdebatan lagi kalau slogan “Bhinneka Tunggal Ika” yang dirayakan oleh segenap orang Indonesia adalah frase yang diambil dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Warisan Hindu-Buddha bagi bangsa Indonesia — baik dari segi teknologi, sejarah, sastra, filsafat, seni, dan sebagainya — tidak terhitung banyaknya. Saya bangga menjadi bagian dari tradisi yang luhur ini, dan saya dengan tegas menolak kalau ada oknum yang secara sengaja berupaya membodoh-bodohi bangsa yang besar ini dengan ujaran-ujaran yang sempit.
Eggi menyamakan sila pertama hanya dengan satu agama. Kalau Eggi mau meneorikan pandangannya lebih jauh, barangkali dia juga akan berkata bahwa Buddhisme bukan sebuah agama, berhubung umat yang mengaku diri buddhis memuja sesosok makhluk yang bergelar ‘Buddha’, yang tentu saja berbeda dengan konsep Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau Eggi mau agak lunak nada bicaranya, boleh jadi dia akan menuding Buddhisme sebagai pemuja berhala; kalau dia mau mengeraskan intonasinya, sangat mungkin dia akan menuduh Buddhisme sebagai atheisme. Intinya tetap sama: bagi Eggi, hanya ada satu agama yang sesuai dengan sila pertama.
Konsep Buddha
Untuk itu, izinkanlah saya untuk sedikit menjelaskan tentang konsep ‘Buddha’. Bagi umat buddhis, Buddha patut dipuja dan dijadikan tempat berlindung karena 4 alasan utama.
Pertama, Buddha telah bebas dari semua ketakutan. Di sini, ketakutan dimaknai sebagai gelombang penderitaan yang berulang-ulang terjadi dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya yang tampak tak berkesudahan. Kedua, tidak hanya telah bebas dari semua ketakutan, Buddha juga mahir dalam membebaskan semua makhluk hidup, tanpa terkecuali, dari ketakutan akan lingkaran penderitaan lahir, tua, sakit, dan mati.
Artinya, Buddha mengajar dengan tujuan agar semua makhluk hidup juga bisa mencapai kondisi pencerahan yang telah berhasil diraihnya; dengan kata lain: umat buddhis memuja Buddha karena ingin menjadi seperti Buddha, karena memang itulah yang diajarkan oleh Buddha.
Ketiga, Buddha bertindak dengan cinta kasih dan adil terhadap semua makhluk hidup. Dan yang keempat sekaligus yang terpenting, Buddha bertindak untuk kepentingan semua makhluk hidup, baik yang pernah maupun tak pernah menguntungkannya, baik yang memujanya maupun yang memusuhinya. Keempat alasan utama inilah yang mengangkat status Buddha sebagai objek pemujaan bagi umat buddhis.
Kalau begitu, kembali lagi ke pokok permasalahannya: apakah Buddha adalah Tuhan? Eggi boleh jadi akan menjawab ‘tidak’, tapi kali ini dia benar. Buddha bukan Tuhan. Buddha hanya seorang manusia biasa yang mencari kebenaran tentang hidup sampai akhirnya dia menemukannya, lalu mengajarkan kebenaran tersebut kepada makhluk lain. Akan tetapi, dan inilah kesalahpahaman yang tampaknya paling fatal, Eggi telah gagal memahami sila pertama dengan baik.
Sila pertama berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Ada perbedaan yang sangat jelas antara kata ‘Tuhan’ dan ‘Ketuhanan’, karena yang terakhir merujuk pada kualitas-kualitas Ilahiah yang melampaui konteks ruang dan waktu. Eggi dengan ceroboh membandingkan konsep ‘Tuhan’ versinya dengan konsep ‘Tuhan’ versi agama lain, padahal sila pertama telah dengan begitu hati-hati dan cermatnya merumuskan sebuah konsep ‘Ketuhanan’, yang pada gilirannya bermakna bahwa setiap agama di Indonesia adalah sah dan benar jika memiliki dan mengajarkan kualitas-kualitas Ilahiah pada umat manusia.
Apa sajakah kualitas-kualitas tersebut? Untuk menyebut sangat sedikit di antaranya: Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Pengampun…
Kualitas Ilahiah
Bukankah semua kualitas inilah yang termaktub dalam 4 alasan utama kenapa umat buddhis memuja Buddha? Bukankah sesosok makhluk yang telah terbebas dari hiruk-pikuk duniawi dan yang juga bertekad untuk menolong semua makhluk hidup tanpa terkecuali adalah sosok yang paling mendekati kualitas-kualitas Ilahiah yang tersirat dalam sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’? Dengan mengabaikan imbuhan ‘ke-an’ dari kata ‘Tuhan’ pada sila pertama, Eggi mereduksi kebaikan universal yang menjadi ajaran setiap agama menjadi pandangan yang keliru dan sempit.
Bangsa Indonesia mengenal sebuah ungkapan yang menurut saya sangat indah sekaligus mendalam: Manunggaling Kawula Gusti. Atau: menyatunya manusia dengan hakikat Ilahiah dari mana ia berasal. Buddha adalah perwujudan nyata dari ungkapan ini. Buddhisme meyakini bahwa terdapat benih atau potensi Ketuhanan dalam diri setiap makhluk hidup. Artinya, dengan pemahaman dan latihan yang benar, niscaya semua makhluk hidup akan mampu bersatu kembali dengan hakikat Ilahiah dari mana ia pada awalnya tercipta.
Setelah mencari sekian lama, Buddha akhirnya menemukan rahasia bagi penyatuan ini, dan agama Buddha persisnya mengajarkan hal ini: bagaimana cara menggali sifat-sifat Ketuhanan yang kita miliki selaku makhluk hidup yang berasal dari hakikat Ilahiah yang sama. Dengan demikian, agama Buddha boleh jadi bukan agama dalam pengertian Eggi, tapi agama Buddha pastinya adalah agama yang sah dan benar dalam pengertian sila pertama, dalam pengertian semua orang Indonesia yang memahami Pancasila dengan baik dan benar.
Sebagai tambahan, saya merasa tidak nyaman tidak hanya karena Eggi berusaha memanipulasi isu agama untuk memecah-belah bangsa ini, tetapi juga karena saya menganggap dia telah mengerdilkan peran tokoh-tokoh bangsa yang merumuskan Pancasila dengan cermat dan seksama.
Dari sejarah, kita tahu bahwa pada pengesahan UUD 45 tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, sila pertama hasil rumusan Piagam Jakarta yang mengandung frase ‘dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ diganti menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ oleh Mohammad Hatta atas usul A.A. Maramis, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Ketiga tokoh terakhir adalah muslim yang taat, yang memperjuangkan apa yang mereka anggap akan bermanfaat bagi umat muslim Indonesia. Akan tetapi, dengan kelapangan dada yang memang mencirikan tokoh-tokoh bangsa kita di masa lampau, ketiganya akhirnya menerima kompromi yang diusulkan oleh Hatta dan Maramis, semata-mata karena mereka meyakini bahwa frase ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’-lah yang benar-benar akan menjaga dan mewakili keberagaman bangsa Indonesia, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Dengan demikian, pandangan Eggi bahwa sila pertama hanya sesuai dengan satu agama tak ubahnya sebuah pengaburan terhadap sejarah kebangsaan di bumi Indonesia. Tindakannya memelintir sejarah dan Pancasila adalah upaya merampas bangsa Indonesia dari kepribadiannya yang adiluhung.
Lantas, bagaimana persisnya agama Buddha memaknai Ketuhanan? Dalam Buddhisme, Ketuhanan dirujuk sebagai Dharmakaya (Tubuh Kebenaran). Dharmakaya dikatakan sebagai sesuatu yang tak berwujud dan tak terpahami. Ia adalah Yang Absolut, esensi dari alam semesta ini, kesatuan dari segala sesuatu dan segala makhluk hidup yang melampaui dikotomi keberadaan dan ketiadaan, yang melampaui konsep-konsep buatan akal budi manusia.
Ia adalah basis dari realitas, yang dari-Nya semua fenomena muncul, dan yang kepada-Nya semua fenomena kelak akan kembali lagi. Ia hadir di mana-mana dan memenuhi setiap penjuru semesta. Meskipun Ia tidak mengambil wujud sebagai diri-Nya sendiri (berhubung keterbatasan manusia dalam memahami keberadaan-Nya), Ia-lah asal-muasal dari segala fenomena dan makhluk hidup.
Dharmakaya tidak dilahirkan, dan oleh karenanya takkan pernah mati. Ia ada di dalam setiap individu manusia, sekaligus berada di luar masing-masing dari mereka. Setiap makhluk hidup secara potensial memiliki-Nya, dan selalu mendambakan untuk kembali ke pangkuan-Nya. Itulah sebabnya Ia disebut Yang Maha Esa.
Untuk memudahkan Eggi membuat analogi, bisa dikatakan bahwa jika Dharmakaya adalah udara yang memenuhi seluruh ruang semesta, maka kita, umat manusia, adalah hujan yang merupakan perwujudan kentara dari udara.
Kita semua berasal dari Yang Maha Esa ini. Kita semua bisa merasakan keberadaan-Nya. Tapi kita semua tidak bisa mencerap-Nya dengan indra kita yang terbatas. Dan boleh jadi itulah sebabnya kita semua begitu mendambakan penyatuan kembali dengan-Nya.
Sanghyang Kamahayanikan
Di Indonesia sendiri, konsep Ketuhanan atau Dharmakaya dikenal sebagai Sanghyang Adi Buddha, sebuah istilah yang digunakan oleh mendiang Ashin Jinarakkhita ketika menghidupkan kembali agama Buddha di Indonesia. Sanghyang Adi Buddha dimaknai sebagai asal-usul dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, yang tak berawal maupun berakhir, yang tak terukur dalam kekekalannya, yang tak berwujud dan tak mewujudkan diri-Nya, tapi yang sekaligus juga menjadi hulu dan hilir bagi seluruh fenomena dan makhluk hidup.
Istilah ini digali secara cermat oleh mendiang Ashin Jinarakkhita dari kitab Jawa kuno yang berjudul Sanghyang Kamahayanikan, yang lagi-lagi menegaskan betapa eratnya jalinan hubungan antara agama Buddha dengan sejarah panjang bangsa Indonesia.
Demikianlah surat ini saya tulis, semata-mata dengan maksud agar kelak tidak ada lagi kejadian serupa yang terjadi di tanah air kita yang tercinta. Saya menulis kata ‘pembiaran’ di judul tulisan saya, khususnya karena saya melihat bahwa umat buddhis di Indonesia sudah terlalu lama terlena dalam kehidupan pribadi mereka.
Ada begitu banyak tugas-tugas pelurusan kebenaran dan penyuluhan yang harus dilakukan oleh umat buddhis untuk membantu menjaga keharmonisan dan keberagaman di bumi Indonesia. Kalau bukan kita sendiri, selaku elemen penyusun kebhinnekaan di Indonesia, lantas siapa lagi?
Saya menulis surat ini sebagai sebuah refleksi bagi publik sekaligus otokritik kepada umat buddhis Indonesia atas ujaran kebencian Eggi. Buddha sendiri, sebagai suri teladan saya, tidak pernah mengajarkan untuk membalas keburukan dengan keburukan. Mahatma Gandhi sendiri pernah berkata bahwa jika sebuah mata dibalas dengan sebuah mata, maka seisi dunia pada akhirnya akan buta.
Saya tidak mau bumi Indonesia kita yang tercinta menjadi buta. Ada begitu banyak nilai dan pelajaran luhur yang bisa kita petik dari sejarah berdirinya bangsa ini. Saya punya harapan bahwa segenap orang Indonesia akan bisa terus memandang keberagaman yang menjadi kepribadian bangsa ini, dan kemudian memetik faedahnya bagi kehidupan mereka sendiri.
Jadi, dengan surat ini, saya mengimbau kepada segenap umat buddhis Indonesia untuk tetap tenang dan tidak terpancing oleh ulah segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab. Di sisi lain, saya juga mengimbau agar sikap tenang ini tidak disalahartikan sebagai sikap pasif.
Sebagai pewaris dari salah satu elemen penyusun sejarah dan kepribadian bangsa, sudah saatnya kita semua bahu-membahu untuk menerangkan nilai dan pelajaran apa saja yang sudah kita warisi dari ajaran Buddha. Kita tidak boleh menyalahkan Eggi atas ketidaktahuannya (dan ada banyak orang di luar sana yang sama tidak tahunya dengan Eggi, yang boleh jadi akan dengan mudahnya termakan oleh hasutan Eggi).
Alih-alih bersikap seperti korban yang menunggu untuk dibela, sudah saatnya kita menggalakkan aksi-aksi penyuluhan tentang nilai-nilai dalam ajaran Buddha yang selaras dengan konsep keindonesiaan yang kita junjung tinggi. Negara kita tercinta, dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika-nya, menghargai pluralisme sebagai salah satu tiang penyokong bangsa. Buddha sendiri bisa dikatakan sebagai salah satu pluralis paling awal dalam sejarah umat manusia.
Ketika kita membaca kisah Buddha, kita akan segera tahu bahwa perlakuannya pada anak semata wayangnya dan pada sepupunya (yang berulang kali mencoba membunuhnya) adalah sama. Terhadap dua orang dengan latar belakang yang saling bertentangan ini, Buddha menebarkan welas asih yang setara. Barangkali inilah pelajaran pluralisme pertama dalam agama Buddha: bahwa sikap dan perangai yang berbeda-beda antar manusia bukanlah patokan untuk membeda-bedakan mereka. Setiap manusia adalah satu dalam kemanusiaannya, dan oleh karena itu semuanya adalah entitas yang sama, atau: Bhinneka Tunggal Ika.
Selaku umat buddhis Indonesia, saya kira boleh jadi saya yang pertama, namun saya sepenuhnya berharap saya bukan yang terakhir dalam menolak pembiaran ini.
*Bhadra Ruci, Biksu
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara