Meski berita bohong sudah ada sejak awal peradaban manusia, istilah hoaks baru menguat seiring berkembangnya internet. Kehadiran media sosial dan lemahnya kemampuan berpikir kritis membuat hoaks cepat menyebar dan menjerat siapa pun, baik yang hidup di negara maju maupun berpendidikan tinggi.
Manusia memang suka berbohong dan menyebarkan berita bohong. Alasannya beragam, mulai dari menyenangkan orang lain, mencari keuntungan atau menyelamatkan diri saat terancam, hingga menjadikan berbohong sebagai permainan atau kesenangan belaka. Berbagai alasan itu bisa saling beririsan.
Kebohongan sejatinya adalah hal manusiawi. Namun, saat kebohongan dilakukan secara kolektif, bahkan jadi industri, kebohongan tak lagi manusiawi.
Media sosial
Kebiasaan berbohong meluas sejak internet dan media sosial dengan berbagai model muncul. Teknologi informasi memudahkan manusia berbohong dan menyebarkan kebohongan. “Internet tak pernah membentuk kebohongan karena yang memproduksi kebohongan tetap manusia,” ujar Taufiq Pasiak, Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia yang juga merupakan Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Maraknya peredaran hoaks di internet tak akan menimbulkan persoalan selama kita tak memercayai atau menyebarkannya. Nyatanya, banyak orang terjerat hoaks, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi.
Ahli psikologi siber yang juga Ketua Program Studi Doktor Ilmu Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Neila Ramdhani, mengatakan, banyaknya orang terjebak berita palsu tak lepas dari cara kita mengonsumsi informasi di internet ataupun media sosial.
Internet memberi kesempatan bagi siapa pun untuk jadi narasumber, jurnalis, editor, dan penerbit berita sekaligus. Konsekuensinya, pengonsumsi informasi di internet harus jadi penyeleksi kebenarannya. Dalam penyebaran informasi di internet, teman jadi sumber berita andalan. Daya tarik persuasif teman jauh mengalahkan pendapat para ahli di bidangnya. Teman membuat kita kurang kritis terhadap informasi.
Hoaks juga mudah menyebar dan menjerat siapa pun karena di internet gampang diduplikasi (copy-paste), sehingga membuat sumber asli kian kabur. Selain itu, kebiasaan sebagaian orang mengonsumsi informasi di internet sepenggal-sepenggal, tidak tuntas, membuat hoaks menyebar makin masif.
Pola pikir
Di luar kebiasaan mengonsumsi informasi di internet yang serba instan, hoaks mudah menyebar karena cara kerja otak kita “malas” bekerja keras. Pada dasarnya manusia suka menyenangkan diri dan kelompoknya meski sadar itu berita bohong. “Berita bohong mudah diterima otak karena itu menyenangkan,” ujar Taufiq.
Perilaku itu menurut Syam Sundar, ahli komunikasi dari Universitas Negerti Pennsylvania, Amerika Serikat. Membuat manusia kerap mengalami bias konfirmasi. Bias itu membuat kita selektif memilah informasi yang dipilih biasanya yang menguatkan keyakinannya.
Manusia secara sadar memilih informasi yang pantas bagi dirinya. Kondisi itu membuat jika kita mendukung pandangan kelompok tertentu, sulit bagi kita menerima pandangan kelompok lain meski itu mengandung kebenaran. Hadirnya internet memperparah kerentanan bias konfirmasi.
Rendahnya kemempuan berpikir kritis itu dinilai oleh Taufiq memperburuk mutu manusia Indonesia. Tanpa kekritisan, kemampuan berpikir kreatif untuk melahirkan inovasi yang merupakan kemampuan otak tertinggi akan kian sulit.
Budaya kita pun kurang menghargai usaha berpikir kritis. Mereka yang kritis kerap dianggap pengganggu, cerewet, dan tak sopan. Karena itu, pendidikan keluarga dan lingkungan bisa berperan lebih besar membangun pola pikir kritis masyarakat, khususnya saat sistem pendidikan kita belum bisa mewujudkannya. (M Zaid Wahyudi/Kompas)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara