• Thursday, 22 June 2017
  • Andre Sam
  • 0

Sebuah lukisan karya G.B. Hooijer yang tampaknya mencoba menggambarkan para peziarah Borobudur. Karya ini digubah sebelum 1919.”

Sebelum Candi Borobudur diklaim tambahan sebagai peninggalan budaya Islam ada baiknya sampeyan minimal umat Buddha menjadi sedikit cerdas di tengah-tengah arus informasi Islamisasi warisan budaya, khususnya warisan budaya buddhis.

Bagaimana dengan fenomena bahwa Kerajaan Majapahit yang jelas-jelas bernapas Siwa-Buddha, mulai digerus dengan informasi yang ehm! Othak-athik gathuk itu (Gaj Ahmada?), menjadi Kesultanan Majapahit, ah sudahlah… mari kita fokus saja.

“Saya cukup takjub, itu se­suai dengan konsep dasabodhisattwa-bhummi, bahwa ada sepuluh lapisan yang harus dilalui orang untuk mencapai pencerahan,” ujar Agus Aris Munandar, guru besar bidang arkeologi dari Universitas Indonesia di sebuah lorong Candi Borobudur.

Perjalanan mengelilingi sepuluh kali sambil membaca relief Borobudur senantiasa dilakukan oleh para peziarah yang bersungguh-sungguh memasuki tahap kehidupan Bo­dhi­sattwa. Pada tahapan itulah manusia terlepas secara mutlak dari segala ikatan duniawi dan terbebas secara mutlak dari kelahiran kembali.

Lebih dari seribu tahun yang lalu, para peziarah mengenakan busana berwarna kunyit. Mereka meniti anak tangga dari pintu timur. Setelah sampai pada tingkat pertama, mereka berbelok ke kiri. Pendeta yang membawa gulungan-gulungan perkamen membimbing para peziarah untuk memasuki tubuh candi, lalu bersama-sama mengelilingi lorong secara pradaksina.

Ibarat pembelajaran dengan metode audio-visual, pendeta menjelaskan kisah di setiap a­degan relief sementara para peziarah men­dengarkan sekaligus menga­mati relief dari dinding teras atau pagar langkan. Selain digu­nakan untuk menghiasi ba­ngunan suci itu, relief juga berfungsi menjadi media peng­a­jaran agama, dokumentasi cerita, dan mem­permudah akses pembe­lajaran oleh siapa pun.


Relief pada salah satu lorong Candi Borobudur, yang difoto oleh Isidore van Kinsbergen pada 1873.

“Membaca dan merunut relief itu adalah proses yoga,” Munandar berkata. Dalam keheningan dan keadaan beryoga, peziarah mengelilingi Borobudur, membaca relief dengan saksama, hingga menyelesaikan empat tingkatan lorong—secara pradaksina atau searah jarum jam.

Di lorong pertama mereka harus berkeliling empat kali karena terdapat empat lajur rangkaian panil relief di lorong tersebut. Lalu, mereka berkeliling dua kali di masing-masing lorong kedua, ketiga, dan keempat. “Totalnya, berkeliling sepuluh kali!” (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia, dbs)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *