• Thursday, 8 March 2018
  • Dhammateja
  • 0

Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum;
demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya (Dhammapada IV: 52)

Untaian syair Dhammapada di atas, sungguh tepat untuk menggambarkan Pak Cornelis Wowor, MA. Sosok pembicara yang dikenal “macan panggung” dalam berbagai seminar dan diskusi ilmiah. Misalnya saat membahas tema “Ketuhanan dalam pandangan agama Buddha”. Pak Wowor, demikian panggilan akrab untuk pria humoris dan santun ini sering disapa.

Di berbagai ruang diskusi, baik dalam suasana formal seperti saat menyampaikan dhammadesana dan seminar, maupun dalam suasana santai, Pak Wowor bagaikan pendekar kungfu yang menguasai berbagai jurus mematikan, namun tak melukai lawan.

Demikian saat menguraikan topik Buddhadhamma yang sulit dan susah dipahami. Pak Wowor mampu menjelaskannya dengan lugas disertai analogi yang kontekstual, mengutip sumber Tipitaka. Tak tampak pernyataan yang menyindir atau menjatuhkan salah satu agama tertentu yang dapat melukai lawan bicaranya. Topik-topik berat mampu diuraikannya dengan logika sederhana dan jenaka.


Bhikkhu Aggabalo bersama Rama Suryaputta Ks. Suryatin, saat mengisi Dharmasanti Waisak tanggal 16 Mei 1978 di Semarang.

Seorang bhikkhu

Banyak upasaka sudah mengetahui bahwa Pak Wowor pernah menjadi seorang bhikkhu, bahkan salah satu pendiri dari Sangha Theravada Indonesia. Hingga sejak wafatnya Pak Cornelis Wowor, MA pada Kamis, 1 Maret 2018 yang lalu, banyak beredar pesan viral berisi artikel jejak pengabdian beliau.

Dari kutipan tulisan harian Suara Merdeka tanpa tahun dan tanggal dengan kode wartawan AM/Ist, dapat kita ketahui sepenggal kisah berikut ini, “Di antara puluhan bhikkhu yang ada di Indonesia, terdapatlah seorang bhikkhu yang masih muda bergelar sarjana muda lulusan Universitas Mahakuta Rajawidyalaya di Bangkok, tahun 1976. Ia bernama Aggabalo, dilahirkan di Tomohon Sulawesi Utara 30 tahun yang lalu dari sebuah keluarga non-Buddhis. Ayahnya seorang prajurit yang sampai pensiun masih tetap setia kepada Sapta Marga”.


Bhikkhu Aggabalo (kiri), saat upasampada Bhikkhu Kuladhiro dari Blora pada bulan Oktober 1979 di Dhammasala Vihāra Maha Dhammaloka – Tanah Putih, Semarang.

Atas jasa Pandita IPTU POL (Purn) Raden Cakkavidya Sabar Alym Kresna Adhi, Pandita Dharmaratna Henry Basuki, BA dan Pandita Drs. Sungkono Kusumadi, Apt yang menyimpan arsip berita kegiatan agama Buddha dari surat kabar dan majalah, dilengkapi dokumen berupa foto-foto kegiatan para bhikkhu, dapat kita ketahui kisah singkat pengabdian Bhikkhu Aggabalo. Dokumen arsip primer dan sekunder tersebut berisi catatan sejarah penting perjalanan agama Buddha di tanah air, khususnya pada era tahun 1960-1980-an.

Minta izin orangtua

Lebih lanjut harian Suara Merdeka menulis, “Pada usia dua puluh tahun, Cornelis Wowor minta izin kepada orangtuanya untuk memeluk agama Buddha. Mula-mula ia mengira bahwa hal itu akan menimbulkan seribu satu pertanyaan dari orangtuanya. Sehingga ia membayangkan akan mendapatkan kesulitan. Namun ternyata tidak. Beberapa menit setelah ia minta izin, sang ayah mengabulkan permintaan salah seorang putra dari lima saudara itu.

Ketika ditanya, apa yang mula-mula menarik perhatiannya sehingga ia ingin menjadi seorang Buddhis, dikatakannya bahwa di dalam agama itu ia menemukan ajaran-ajaran yang logis. Misalnya seseorang mengalami sesuatu, itu adalah akibat karmanya yang ia lakukan pada hidup-hidup sebelumnya.


Bhikkhu Aggabalo bersama upasaka-upasika di tepi sungai Batanghari, Jambi

Seseorang menjadi miskin dan sengsara, itu karena memetik perbuatannya pada hidup sebelumnya. Seseorang menjadi hidup aman dan bahagia, karena memetik jerih-payah yang dialami pada hidup sebelumnya. Begitulah seterusnya. Menurut agama Buddha, hidup di dunia ini tidak hanya satu kali”.

Maha Lekkhanadikari Sangha Theravada Indonesia yang pertama

Sesudah menjadi bhikkhu dan meraih gelar BA yang ditempuhnya dari tahun 1972-1976 di Universitas Mahakuta Rajawidyalaya di Bangkok, Bhikkhu Aggabalo kembali ke tanah air. Kebetulan sampai pada pertengahan Oktober 1976 itu, organisasi Buddhis baik majelis maupun sangha, tengah mengalami dinamika.

Para upasaka di Indonesia dari beberapa organisasi di bidang pembinaan keagamaan saat itu (seperti Tridharma, Buddhis Indonesia, Persaudaraan Buddhis Indonesia, Federasi Buddhis Indonesia), berada di luar binaan Sangha – atau belum mendapat pembinaan sangha (yang ada waktu itu).


Para bhikkhu anggota Saṅgha Theravāda Indonesia di masa awal pada sebuah acara di Dhammasala Vihāra Maha Dhammaloka – Tanah Putih, Semarang, sekitar tahun 1979.

Hingga kemudian di sore hari tanggal 23 Oktober 1976, beberapa tokoh Buddhis Indonesia yang kemudian menjadi Mapanbudhi (sekarang Magabudhi) seperti Suriyaputta K.S. Suratin, Drs. S. Mohtar Rashid, dan Ibu R.S. Prawirokoesoemo berkumpul di Vihara Maha Dhammaloka – Tanah Putih, Semarang. Selain mereka, hadir Bhikkhu Aggabalo, Bhikkhu Khemasaraṇo, Bhikkhu Sudhammo, Bhikkhu Khemiyo, dan Bhikkhu Nyanavutto.

Pada saat itulah muncul pertanyaan apakah para bhikkhu tega membiarkan upasaka-upasika yang tidak dibina? Padahal sesuai dengan amanat Buddha kepada para bhikkhu yang dikirim sebagai Dhammaduta pertama (yaitu 60 Bhikkhu Arahat, lihat Vinaya Pitaka 1. 21) ke berbagai penjuru adalah untuk membabarkan Dhamma!

Juga banyak pertanyaan tentang permasalahan kehidupan beragama Buddha di Indonesia yang harus diselesaikan dengan kerjasama Sangha dan upasaka. Demi memenuhi kehendak upasaka dan tanggung jawab moral, tercetuslah dalam diskusi itu ide untuk membentuk Sangha baru yang sesuai dengan Dhamma dan Vinaya.

Baca juga: Selamat Jalan Djohan Effendi, Sang Pelintas Batas

Singkatnya pada hari Sabtu Saniscara (Setu legi) itu, dengan disaksikan Bhikkhu Suvirayan (Phra Dhamchetiyachan) dan Bhante Sombat Pavitto (Phra Vidhurdhammabhorn) dari Thailand, berdirilah Sangha Theravada Indonesia.


Bhikkhu Aggabalo saat mengikuti rangkaian acara Tri Suci Waisak Nasional tahun 1979 di Candi Mendut – Borobudur

Sesudahnya, diadakanlah musyawarah sangha untuk pertama kalinya yang memutuskan bahwa Sangha Theravada Indonesia akan dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal (Maha Lekkhanadikari) dan bukan oleh Ketua (Nayaka), dengan mempertimbangkan usia para bhikkhu yang masih muda dan baru.

Pada kesempatan pertama inilah, Bhikkhu Aggabalo terpilih sebagai sekretaris jendral dan mulai menjalankan roda organisasi untuk membina upasaka di tanah air.

Pengabdian sebagai Gharavasa

Pada 1980, Bhikkhu Aggabalo melanjutkan studi di Hawaii University, Amerika Serikat. Namun karena keadaan sosial masyarakat di negeri Paman Sam itu belum dapat menopang kehidupan bagi seorang bhikkhu, Bhikkhu Aggabalo akhirnya memutuskan lepas jubah. Ia kembali menjadi upasaka bernama Pak Wowor. Sementara Sekretaris Jenderal Sangha Theravada Indonesia diemban oleh Bhante Pannavaro.

Sesudah berhasil menyelesaikan studi jenjang strata 2 dengan gelar MA, Cornelis Wowor meminang Lila Dewi Limartha sebagai pasangan hidupnya. Perkawinan mereka pada 2 Januari 1981, dianugerahi dua orang putra; Vijjayano dan Ariyamano.


Para bhikkhu sangha di ruang makan Vihara Maha Dhammaloka – Tanah Putih, Semarang. Tampak Bhikkhu Khemiyo, Bhikkhu Khemasarano, Bhikkhu Sombat Pavito, Bhikkhu Aggabalo, dan Bhikkhu Sri Pannvaro (dari kiri ke kanan).

Sebagai seorang awam, Pak Wowor kemudian meniti karir sebagai PNS di lingkungan Direktur Urusan Agama Buddha Departemen Agama Republik Indonesia. Karir yang ditekuninya dari staf biasa, hingga meraih jabatan tertinggi sebagai Direktur Urusan Agama Buddha Kementerian Agama RI pada tahun 1999.

Baca juga: Pak Dhammajiyoti Kassapa, Berpulang Penuh Keindahan

Selama pengabdiannya sebagai abdi negara, Pak Wowor menginspirasi berdirinya beberapa sekolah tinggi agama Buddha dan aktif menjadi dosen pengajarnya.

Atas jasa-jasa Cornelis Wowor, MA, pada tahun 2012, Sangha Theravada Indonesia yang saat itu dipimpin Bhikkhu Dr. Jotidhammo Mahathera menganugerahi sebuah gelar penghargaan.

Dengan bertempat di Pusdiklat Buddhis Sikkhadama Santibhumi, Cornelis Wowor, MA menerima Gelar Penghargaan Adisasana Visarada atau ia yang menjadi pengawal (mengawali) dan piawai tentang ajaran (Buddha). Kini Pak Wowor telah mematuhi hukum alam untuk meneruskan kehidupan di alam selanjutnya. Semoga mendiang terlahir di alam bahagia. Selamat jalan Adisasana Visarada.

Dhammateja Wahyudi Agus R |Wakil Ketua PC Magabudhi, Semarang. Memperoleh Penghargaan sebagai upacarika padana dari PP Magabudhi pada tahun 2014.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *