• Tuesday, 10 October 2017
  • Victor A Liem
  • 0

Berketuhanan bukanlah pengakuan semata apalagi hanya “mengaku-aku”. Dalam spiritualitas Jawa ada ungkapan “Manunggaling kawula Gusti”. Pemahaman ini pun tidak mudah. Bagaimana mau mengenal aspek Ketuhanan jika mengenal diri sendiri saja belum…

Berikut ini sedikit pemaparan singkat akan Ketuhanan.

Diri atau Kawula, artinya ego harus dilepas. Ego yang dilepas artinya diam, berhenti untuk “mengaku-aku”. Ini disebut “meneng”. Setelah “meneng” maka muncullah “wening”. Wening adalah kejernihan batin. Karena jernih batinnya, maka akan mengerti, merasakan realitas sejati, inilah aspek Ketuhanan. Inilah makna dari “Manunggaling kawula Gusti”.

Pendekatan ini sering di sebut “neng, ning, nung”. Diam (meneng), bening/jernih (wening), dan Memahami (dhunung).

Orang yang sudah mengerti (dhunung), atau orang yang sudah bisa mengakses sifat Ketuhanan, dia tidak akan sombong. Hanya kebaikan, murah hati, kedamaian, welas asih, dan hal-hal baiklah yang menjadi sifat dan perangainya. Mengapa? Karena sejak awal dia sudah belajar menundukkan egonya.

Aspek Ketuhanan itu universal dan ada dalam banyak tradisi agama di dunia. Ketuhanan bukan monopoli agama tertentu. Bahkan aliran kepercayaan Nusantara juga memiliki ekspresi Ketuhanan.

Dalam nasrani ada ungkapan “Allah itu kasih”. Dalam Hindu ada ungkapan “Sat Cit Ananda”. Sat artinya abadi, tanpa awal dan akhir. Cit artinya penuh pengetahuan. Dan ananda adalah penuh kebahagiaan. Dan masih banyak lagi dalam tradisi spiritual lainnya.

Semua itu hanya bisa dipahami jika menundukkan ego (meneng). Mengaku-aku itu sama saja artinya dengan “men-Tuhankan” sang Aku. Ini adalah “perangai buruk”. Maka dari itu Master Ling-Chi, salah satu biksu Chan/Zen abad ke-8, berujar “Jika bertemu Buddha, maka bunuh Buddha.” Ini semua dalam rangka membunuh “Ketuhanan” yang dicipta atas angan-angan atau hanya kepanjangan nafsu manusia.

Apa pun istilah Ketuhanannya dan metodenya, itu dalam rangka memahami realitas sejati yang sempurna, yang ada sejak awal, tanpa akhir dan yang menjadi sumber segala sifat kebaikan dan kebahagiaan.

Oleh karena itu, jangan mengatasnamakan “Berketuhanan” untuk menghakimi orang lain, apalagi agama atau kepercayaan orang lain. Lebih baik belajarlah Berketuhanan dalam berperilaku. Berbaik hati dan berbagi manfaatlah pada orang lain. Mulailah dari lingkungan terdekat kita. Belajarlah menundukkan ego, bertoleransi dan menghargai orang lain. Lebih baik kita semua berkontribusi dalam kedamaian. Ciptakan lingkungan yang baik, agar kita sendiri bisa memahami Ketuhanan dengan caranya masing-masing.

 

Victor Alexander Liem 

Tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Penekun kearifan Jawa.

Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *