• Thursday, 20 October 2016
  • Anwar Nagara
  • 0

Saya selalu merasa bersyukur karena dengan niat sendiri memilih untuk berlatih vegetarian sejak tahun 2006. Sebetulnya, sudah sejak lama saya berusaha untuk tidak makan daging. Eits, jangan salah sangka tentang daging, karena ikan juga termasuk daging. Waktu kuliah di Bandung, saya sering makan di warteg. Faktanya, memang lebih hemat jika saya hanya memilih menu sayur-sayuran, apalagi dengan kondisi di Bandung tersedia banyak lalapan. Sekarang, setelah menjadi monastik lebih menunjang latihan ini dan memang dalam Winaya (aturan biksu) versi revisi yang saya terima, juga menyebutkan demikian.

Sejak kecil saya juga tidak begitu doyan makan daging, namun tetap makan sedikit. Acap kali saudara dan nenek saya dengan sengaja menambahkan daging ke mangkuk makan saya. Mereka tahu saya kurang senang makan daging, maka itu “memaksa” saya tetap makan daging.

Ada Alasannya
Saya yakin segala sesuatu selalu ada alasannya. Meditasi membawa saya melihat lebih jelas alasan di balik itu, dan akhirnya membawa saya teringat kembali pada sebuah kisah semasa kecil.

Masyarakat tempat saya tinggal cukup banyak yang beternak ayam, termasuk keluarga kami. Ayam dibiarkan berkeliaran bebas dan saat sore hari mereka kembali ke kandangnya masing-masing. Saya sangat senang melihat induk ayam bersama anak-anaknya mengais-ngais sana-sini untuk mencari makanan. Terkadang, saya jahil dan mengejar mereka. Walaupun demikian, saya merasa ada sebuah persahabatan yang tercipta antara saya dengan mereka.

Keluarga saya sangat sarat dengan tradisi leluhur dari Tiongkok sehingga setiap tahunnya kami melakukan acara sembahyang leluhur. Anda pasti tahu bahwa acara seperti itu selalu dibarengi dengan menyembelih ayam, itik, atau bahkan babi. Pernah suatu kali saat “cheng beng”, nenek saya hendak menyembelih ayam, dan kebetulan saat itu saya diminta untuk membantunya. Awalnya saya menolak karena ketakutan, tapi justru berakhir dengan dimarahi bahwa anak lelaki, kok takut!

Saya ingat ketika itu saya diminta untuk memegang bagian kepala ayam dan nenek dengan cepat menggorok leher ayam tersebut. Saya tidak berani melihat bahkan memalingkan kepala. Coba Anda bayangkan, betapa seramnya waktu itu bagi anak kecil melihat pembunuhan seperti itu. Lalu, darah ayam itu diteteskan ke mangkuk yang akan dipersembahkan kepada para dewa. Ritual demikian merupakan bagian dari warisan turun-temurun para leluhur.

Hati saya sangat sedih, ayam yang telah menjadi sahabat saya tiba-tiba berakhir menjadi persembahan di altar. Jika daging ayam itu disajikan di meja makan, saya sungguh tidak tega memakannya, bisa ditebak bahwa selera makan saya juga amblas.

Sejak saat itu saya menolak untuk makan daging ayam, itik, dan babi. Saat itu saya masih makan daging ikan, namun beberapa tahun kemudian juga mulai mengurangi daging ikan. Hal ini dikarenakan saya pernah beberapa kali melihat bagaimana cara pelayan restoran seafood menghantam kepala ikan sampai mati demi dijadikan hidangan lezat bagi pelanggan. Saya dapat merasakan betapa banyak ikan yang merintih kesakitan ketika diperlakukan demikian.

Kepuasan Lidah dan Kesehatan
Semua orang punya alasan vegetarian, itu bagus! Apalagi didukung oleh berbagai penelitian bahwa industri daging berkontribusi besar atas efek rumah kaca dan climate change (perubahan iklim). Belum lagi jika kita melihat pada sistem produksi massal daging yang sangat mengenaskan. Ayam dikurung di tempat yang kecil sehingga tidak bisa bergerak. Manusia menggunakan rekayasa cahaya untuk menipu ayam bahwa satu hari telah berlalu, agar ayam dapat memproduksi telur lebih banyak. Terkadang, ayam juga disuntik dengan berbagai cairan untuk memperbesar bagian-bagian paha dan sayapnya. Demi memenuhi kebutuhan daging, manusia tega melakukan itu semua.

Sementara itu, beberapa dokter justru menyarankan pasiennya yang terserang penyakit tertentu untuk tidak mengonsumsi daging merah. Hal ini tentu saja sesuai dengan pemeriksaan klinis. Banyak orang demi alasan kesehatan juga menghindari berbagai jenis daging.

Namun, ironi di dunia ini tidak pernah berakhir. Mereka menghindari daging tetapi menciptakan daging palsu untuk memuaskan lidahnya. Daging palsu dibuat sedemikian rupa dari tepung dan sebagainya sehingga menyerupai daging. Banyak yang berpendapat bahwa justru sistem pencernaan manusia mengalami kesulitan dalam mencerna daging palsu itu. Lantas, mengapa kita masih mau membohongi lidah kita sendiri?

Apakah Buddha Vegetarian?
Saya tahu banyak orang yang bahkan jatuh ke dalam ke-fanatikan vegetarian. Mereka mengumpulkan berbagai bukti, hasil riset, bahkan kitab-kitab Buddhis yang menyatakan bahwa vegetarian diwajibkan dalam ajaran Buddha. Saya bukan termasuk orang yang terlalu percaya dengan kitab-kitab suci yang ada, jadi tidak terlalu risau tentang kebenaran Buddha vegetarian atau tidak.

Sementara ini saya dibimbing oleh kearifan dan kebijaksanaan yang akan terus berkembang dari hasil meditasi. Tentu saja, informasi hasil riset dan kitab suci bagus adanya. Namun, jika informasi ini digunakan untuk “memaksa” teman-teman lain ikut menjadi vegetarian, maka hanya akan membuat persahabatan menjadi runyam, bahkan kawan baik bisa berbalik menjadi lawan.

Perlu diketahui bahwa pada zaman Buddha, para biksu memperoleh makanan dari pindapata (mengumpulkan makanan dari rumah ke rumah di pagi hari). Tradisi memberi makanan kepada para petapa merupakan tradisi yang lumrah bagi masyarakat India. Apa pun makanan yang diberikan akan dimakan oleh Buddha. Oleh karena itu, jika memang ada yang memasukkan daging ke dalam mangkuk Buddha, saya yakin akan dimakan juga.

Menelusuri budaya dan kultur India, tampaknya banyak masyarakat desa dan dusun di India yang juga merupakan praktisi vegetarian. Bahkan hingga saat ini banyak warga India yang vegetarian. Namun, pergeseran tentu saja terjadi, dan saat ini ada kecenderungan jumlah pemakan daging juga semakin meningkat di India.

Pada satu waktu, ada kalanya Buddha diundang oleh raja untuk menghadiri acara dana makan di istana. Saya yakin sekali bahwa Buddha adalah manusia bijaksana. Saya yakin Buddha akan memberikan nasihat kepada raja untuk menyediakan makanan yang sederhana, bukan karena ingin menjamu Buddha lalu mengakibatkan derita baru bagi hewan yang disembelih. Walaupun saya belum menemukan sumber tertulis, tapi inilah yang saya yakini saat ini.

Jangan Mengonversi
Wahai engkau yang berlatih vegetarian, janganlah “memaksa” orang lain untuk ikut vegetarian. Inti berlatih vegetarian adalah menyadari akan kepedihan hewan itu, cara produksi massal yang sangat tidak wajar, efek-efek yang ditimbulkan proses peternakan hingga distribusinya, dan bagi saya sebagai Buddhis, saya memilih untuk vegetarian karena ingin mengembangkan karuna dalam diri saya. Jika ada orang lain yang terinspirasi untuk ikut mempraktikkan vegetarian, saya ucapkan syukur. Apabila mereka tetap memilih untuk mengonsumsi daging, saya hormati keputusan mereka.

Intinya, saya tidak mau kepo dan sibuk dengan berbagai jurus untuk mengonversi orang lain menjadi vegetarian juga. Jangan punya agenda untuk menjadikan seluruh manusia vegetarian, juga jangan karena keegoisan pribadi atas vegetarian justru memunculkan keributan baru.

Ada orangtua yang sangat khawatir dan menentang apabila anaknya memutuskan untuk berlatih vegetarian. Dalil mereka adalah kurang gizi dan sebagainya. Memang ini cukup sulit untuk dibuktikan secara aktual. Namun, saya sendiri menjadi salah satu contoh. Saya sehat hingga saat ini walaupun sudah mengikuti diet vegetarian 10 tahun lebih.

Kakak kandung saya termasuk orang yang gemar makan seafood. Pengetahuan Dharma mereka tidak begitu dalam. Waktu saya baru ditahbiskan menjadi samanera, saya mengunjungi mereka dan diajak makan ke restoran seafood. Saya ikut saja dan pesan kwetiaw polos tanpa daging. Kakak saya terkejut dan bertanya, “Kok tidak pakai daging?” Akhirnya, saya jelaskan tentang praktik vegetarian.

Dalam lubuk hati saya, saya ingin keluarga saya juga ikut vegetarian, tetapi saya tidak boleh memaksa. Kemudian, tercetus ide untuk menganjurkan mereka makan vegetarian sebulan dua kali, yaitu setiap penanggalan lunar 1 dan 15. Dia menyanggupinya, dan bahkan dengan bahagia mengikuti nasihat saya untuk tidak makan daging-dagingan. Terkadang, kita perlu upaya mahir dalam memberikan nasihat dan jangan pakai sistem paksa. Jika sudah terbiasa dengan sebulan dua kali praktik vegetarian, maka boleh diperpendek durasinya, contoh seminggu sekali.

Ada keuntungannya ketika berlatih sebagai monastik dan saya sendiri mempraktikkan vegetarian, lalu mengajak saudara kandung juga melakukannya. Tentunya disertai dengan penjelasan yang logis dan bermakna, serta tidak mendadak memaksa mereka menghentikan konsumsi semua jenis daging.

Bawang dan Telur
Beberapa aliran dari Tiongkok atau Taiwan menganut paham lebih ketat tentang beberapa jenis bawang. Bagi saya, itu tidaklah memberi efek terlalu besar karena toh bawang disajikan dalam porsi yang kecil sesuai kebutuhan memasak. Lagipula bawang termasuk bagian dari tumbuh-tumbuhan. Tentu saja kalau makan bawang-bawangan dalam porsi yang berlebihan juga tidak bagus. Sebagai contoh, pada zaman Buddha ada biku yang suka makan bawang putih mentah, lalu diprotes karena napasnya menimbulkan aroma tidak sedap. Saat itu, Buddha menasihati muridnya untuk tidak konsumsi bawang putih berlebihan, tetapi selalu sesuaikan dengan porsinya.

Ada di antara mereka yang memilih untuk vegan yaitu dengan tidak mengonsumsi dairy product. Hal ini tentu saja bagus adanya karena sistem produksi susu sapi juga tampaknya membuat hati trenyuh. Beberapa penelitian masih terus dilakukan, dan ada beberapa kesimpulan tentatif yang menyatakan bahwa susu sapi cocok untuk anak sapi saja. Tampaknya susu sapi tidak begitu cocok untuk manusia, walaupun kalau mau dicocok-cocokkan sebetulnya juga bisa. Namun, saya tidak tahu persis bagian ini. Anda bebas untuk memaknai sendiri informasi itu dan barangkali dapat menggali lebih dalam tentang hal itu.

Banyak orang suka telur, termasuk saya. Ada yang bertanya apakah telur termasuk dalam kategori vegetarian? Bagi saya, telur yang tidak dibuahi tentu saja aman, bukan telur kampung. Saya sendiri berusaha untuk menghindari telur, demikian juga dengan susu. Saya bahkan sudah tidak bisa minum susu lagi karena ada penolakan alami respon badan.

Janganlah Fanatik
Fanatik merupakan hal yang perlu kita sadari. Kadang mereka yang praktik vegetarian agak over dosis, mereka tidak mau makan dari kuali yang pernah dipakai untuk memasak daging. Sungguh lucu bin ajaib. Ada lagi yang menjadi kerepotan setiap kali harus pergi makan bersama teman-temannya.

Sesungguhnya, kita perlu kreatif dan tetap fleksibel, banyak makanan yang bisa kita order lalu kita meminta mereka memasaknya tidak memakai daging. Sebagai contoh bubur ayam, kita dapat order bubur polos saja, dan masalah selesai. Think simple dan jangan membuat suasana menjadi repot, kecuali Anda mau ikut saya menjadi monastik karena wihara tempat saya tinggal memang wajib praktik makanan vegetarian.

Apabila ada kondisi tertentu yang menyebabkan kita harus mengonsumsi daging, maka makan saja, tidak perlu risau. Ada yang percaya bahwa kesucian bisa dicapai lewat vegetarian, ini cukup naif. Kalau memang bisa menjadi suci lewat vegetarian, maka kambing dan sapi yang akan suci terlebih dahulu, karena mereka vegetarian! Saya pernah mengalami kondisi itu, dan saya tetap menghabiskan makanan itu dan berupaya untuk hati-hati lain kali. Ada yang lebih ekstrem bahkan membuang makanan yang mengandung daging, bagi saya tindakan itu sama saja dengan menyia-nyiakan makanan. Seharusnya Anda bisa memberikan kepada orang lain, atau Anda sendiri yang habiskan makanan itu.

Saya praktik makan berkesadaran, sadar makanan vegetarian yang di hadapan saya ini tidak 100% murni, dan bukan kemurnian yang saya cari. Tapi unsur latihan yang terkandung di balik itu. Ketika menanam sayur atau padi, mungkin saja ada binatang yang dibunuh atau terbunuh. Makanlah agar tetap bisa memperkuat badan untuk menunjang kita terus berbuat kebaikan, membantu sesama, dan menjernihkan hati dan pikiran menuju emansipasi! 

*) Bhante Nyanabhadra, bisa diikuti blognya di http://nyanabhadra.org

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Anwar Nagara

Dharmacharya dari silsilah Zen Master Thich Nhat Hanh, Plum Village, dikenal sebagai 真法子「Chân Pháp Tử」. Menerima Penahbisan samanera dari tradisi Theravada dengan nama 釋學賢 「Nyanabhadra」dari Y.M. Dharmavimala. Menerima penahbisan ulang sramanera dari silsilah Mulasarvastivada dari Y.M. Dalai Lama ke-14 di Dharamsala dengan nama Tenzin Donpal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *