
Menurut tradisi, tingkatan tertinggi Tantra mencakup pengetahuan yang mendalam dan rahasia yang bisa dicapai dalam dua jalur, yaitu jalur Tantra kiri dan Tantra kanan. Tantra kanan menggunakan pendekatan bertapa yang membatasi aktivitas indra, sementara Tantra kiri sering memakai pendekatan yang erotis, dijalani dengan mengalami dan menguasai godaan erotis.
Beberapa tradisi dari jalur Tantra kiri menjalankan penyatuan seksual fisik antara laki-laki dan perempuan. Unsur lainnya adalah hidup di kuburan, minum darah, memuja Dewa/Dewi wujud murka sebagai aspek penghancuran ego. Teks tantra mengatakan bahwa jalur kiri hanya boleh dilakukan setelah tamat di jalur kanan.
Disamping tujuan erotisnya, Tantra kiri dipraktikkan juga untuk mendapatkan shakti sebagai tujuan relatif kekuatan duniawi. Hal ini digunakan raja termasuk para bangsawan untuk menstabilkan kekuasaannya.
Dikisahkan raja terakhir Singasari, yaitu Kertanagara mempraktikkan Tantra kiri karena alasan tersebut. Tantra kiri berkembang dalam aspek shakti, karena itu ada istilah shaktisme. Dari kata “shakti” berkembang menjadi istilah “kesaktian” sebagaimana yang kita kenal hingga sekarang ini.
Dalam konteks politik, shaktisme digunakan untuk meningkatkan kekuasaan dan wibawa kerajaan. Hingga sekarang aspek shaktisme masih bisa dijumpai dalam tradisi Jawa seperti ritual melakukan tirakat/puasa untuk mendapatkan kekuatan, juga penggunaan benda-benda pusaka guna mendukung kepentingan tertentu, seperti kewibawaan, kekuatan, dan lain sebagainya.
Tantrik
Tantra kanan dan kiri bukan mewakili pertentangan antara agama Buddha dengan Siwa. Pada awalnya berkembang metode Tantra kanan dan kiri yang kontras dan seakan-akan keduanya bertolak belakang. Sebagai perbandingan, di Tibet pada awalnya juga subur praktik seperti ini, hingga pada periode sejarah tertentu, terjadi reformasi keagamaan Buddha di Tibet sebagaimana yang kita kenali Vajrayana Tibet saat ini terutama aspek Sangha dan sistematika filosofi termasuk metode praktik.
Seperti yang dilakukan Atisha (982-1054 M) dalam mendirikan aliran Kadampa di Tibet. Juga reformasi yang dilakukan Tsongkhapa Lobsang Drakpa (1357-1419 M) yang mengubah Kadampa menjadi Gelugpa.
Dalam Vajrayana Tibet sekarang ini, kita akan menjumpai aspek Tantra kiri dengan memiliki komposisi yang lebih halus dan berimbang. Dewa/Dewi wujud murka (Bhairawa/Bhairawi) sebagai Istadevata (yidam) masih digunakan untuk kepentingan tertentu dan untuk merealisasikan aspek primordial nature atau Benih Kebuddhaan.
Aspek Tantra kiri yang halus adalah seperti ungkapan, “Tanpa lumpur tidak akan pernah ada teratai yang mekar sempurna”–no mud no lotus. Metode latihan yang bersifat mengatur aktivitas indra tidak perlu dibuat sedemikian rupa yang justru menekan batin.
Pada tahap awal dibutuhkan aktivitas indra namun pada tahap tertentu dibutuhkan latihan untuk kembali pada sifat alami di dalam diri. Karena semakin batin dikekang, maka batin akan semakin bergejolak dan justru pada akhirnya tidak akan merealisasikan apa-apa.
Panca Dhyani Buddha
Gejolak batin bukan untuk ditekan, namun ditransformasikan menjadi kebijaksanaan (prajna). Dalam simbol Panca Dhyani Buddha (Jina Buddha) nampak upaya transformasi yang diarahkan pada kebijaksanaan.
Lima Jina ini adalah lambang kebijaksanaan. Disebutkan ada lima racun, yaitu: nafsu (desire), kemarahan (anger), kebodohan (ignorance), kesombongan (pride), dan iri hati (jealosly).
1. Amitabha, menyimbolkan batin yang ditransformasikan dari nafsu menjadi kebijaksanaan melihat segalanya berbeda (wisdom of individual discrimination).
2. Aksobya, menyimbolkan batin yang ditransformasikan dari kebencian dan kemarahan menjadi kebijaksanaan yang apa adanya (mirror-like wisdom).
3. Vairocana, menyimbolkan batin yang ditransformasikan dari kebodohan menjadi kebijaksanaan akan sunyata (wisdom of dharmadhatu).
4. Ratnasambhava, menyimbolkan batin yang ditransformasikan dari kesombongan dan kikir menjadi kebijaksanaan yang melihat segalanya sama (wisdom of equality).
5. Amoghasiddhi, menyimbolkan batin yang ditransformasikan dari iri hati dan ketakutan menjadi kebijaksanaan akan segalanya sempurna adanya (all-accomplishing wisdom).
Upaya transformasi lima racun menjadi kebijaksanaan menunjukkan bahwa emosi negatif bukan untuk ditekan (direpresi) tapi disadari dan ditransformasikan. Latihan transformasi seperti ini adalah ciri khas Vajrayana.
Panca Dhyani Buddha disusun dalam Vajradhatu Mandala yang menjadi inspirasi dibangunnya Candi Borobudur. Teks Tantra Buddhis tertua dibuat pada abad ke-7 di Universitas Nalanda menjelaskan tentang Maha Vairocana Tantra dan dalam teks tersebut, Vairocana sebagai bagian yang terpusat.
Dalam perkembangannya Tantra Buddhis tidak tertarik dengan pembedaan Tantra kiri dan kanan, namun keduanya digunakan dan dikombinasikan untuk tujuan pencerahan. Banyak peneliti yang memahami bahwa perkembangan Vajrayana lebih menekankan motivasi altruistik−kasih sayang (bodhicitta) sebagai dasar praktik, walaupun kultivasi energi kelembutan (shaktisme) juga menjadi ciri khas praktik Tantra pada umumnya.