• Sunday, 17 December 2017
  • Siky H Wibowo
  • 0

Metrum Badra Santi bukanlah termasuk sekar ageng (kakawin, Jawa Kuno), dan juga bukan termasuk sekar alit (macapat, Jawa Baru). Agaknya metrum Badra Santi dapat digolongkan sebagai kidung atau sekar tengahan ~ (Dr. Widodo Brotosejati) 

Kidung Badra Santi digubah oleh Sramana Mpu Santi Badra (1432-1527 M). Mpu Santi Badra adalah seorang pangeran trah dari Bre Lasem, tepatnya adalah canggah dari Dewi Indu Purnama Wulan atau Bhre Lasem. Dewi Indu adalah Ratu Lasem yang merupakan adik sepupu perempuan (misan) Prabu Hayam Wuruk, istri dari Pageran Rajasa Wardhana.

Mpu Santi Badra mengawali penggubahan Sabda Badra Santi pada tahun 1479 M di pertapaan Madirasari, Gunung Argasoka, Lasem. Tepatnya setahun setelah melarikan diri dari Keraton Majapahit usai terjadi kudeta oleh pihak di luar istana. Sebuah suksesi politik yang melengserkan Raja Kerthabumi atau Kerthawijaya pada tahun 1478 M.

Hari itu hari Sabtu tanggal 9 Desember 2017. Lantunan Kidung Badra Santi terdengar membahana di gedung aula Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya, Tangerang, Banten, dengan iringan gamelan kemanak yang menyentuh kalbu. Puji pujian mantra perlindungan kepada Sang Tri Ratna berkumandang memenuhi ruangan:

“AUM. Awighnam astu nama Buddham,

AUM. Awighnam astu nama Siddham,

AUM. Nama Sammatha Kadharpa Devaya,

AUM. Mani Padme Hum.”

Peduli warisan Buddhis bercorak Nusantara

Dr. dr. Eka Wahyu Kasih selaku Ketua LPBDN menyampaikan rasa terima kasih kepada STABN Sriwijaya yang telah menyediakan tempat, waktu dan fasilitas sehingga acara ini dapat terlaksana dengan baik.

Dengan semangat berapi-api Dr. Eka mengungkapkan, “Seperti apa yang disampaikan Pak Sapardi dan Ibu Puji Sulani bahwa Badra Santi adalah “Aku Banget”, tentu banyak sekali ungkapan senada yang disampaikan selain kita tentang Badra Santi. Ini berarti bahwa Ibu Puji adalah penganut Buddhadharma bercorak budaya Nusantara. Serta mungkin masih banyak lagi di antara kita yang hadir di sini, juga di luar sana”.

Baca juga : Lasem dan Mozaik Agama Buddha yang Terserak Usai Majapahit Runtuh

Apakah itu yang selalu kita banggakan? Kita menyakini Buddhadharma adalah baik, seperti Buddha sendiri mengirimkan ke- 60 murid ke seluruh penjuru dunia. Sementara kita sendiri masih berbangga dengan kualitas, di sekitar kita masih banyak umat Buddha belum mengenal Buddhadharma yang dapat membuat hidup menjadi lebih baik.

Saat ini mengapa kita yang mengaku umat Buddha tidak tergerak untuk menggali, melestarikan serta membangkitkan kembali Buddhadharma Nusantara? Sebagaimana di berbagai belahan dunia agama Buddha Tibet memiliki ciri khas tersendiri, di Tiongkok juga demikian.

Pada akhir masa kejayaan Majapahit terjadi pemberontakan yang menyebabkan runtuhnya Majapahit, untung pada waktu itu ada seorang yang begitu hebat membawa ilmu agama Buddha ke daerah Lasem. Ia bertapa di gunung untuk kemudian menciptakan apa yang dikenal sebagai Kidung Sabda Badra Santi, yang hari ini kita seminarkan.

Bila waktu itu Badra Santi adalah sastra pengiring senjakala Majapahit, maka hari ini saatnya Badra Santi kita populerkan sebagai sastra pengiring bangkitnya Buddhadharma di Nusantara Indonesia.

Pada masa lalu Buddhadharma telah diyakini oleh masyarakat hingga hampir seluruh wilayah Nusantara, karena Buddhadharma mampu berakulturasi dengan adat, istiadat dan kearifan lokal setempat dan mampu mengakar hingga saat ini.


Salah satu sudut Lasem. Foto Ist

Lasem, jejak penyimpan memori Buddhis di pesisir

Sebelum memaparkan materinya, Rama Dhammateja Wahyudi Agus R, seorang peneliti dari Badra Santi Institute, terlebih dahulu membacakan mantra berbahasa jawa, memohon izin kepada para leluhur Lasem, khususnya Dewi Indu Purnama Wulan, Mpu Santibadra, Para Adipati Tejakusuma, dan Raden Panji Margono untuk membabarkan seni budaya Badra Santi.

Bumi tempat Siwa Buddha pernah menjadi pandangan hidup masyarakat pesisir. Lalu dengan damai, kemudian hadirlah agama, keyakinan dan kebudayaan baru di Lasem. Seperti misalnya terdapat klenteng tertua di Jawa, yang hingga saat ini masih berdiri, bernama Tjioe An Kiong dan Masjid besar Lasem, serta bangunan dan kebudayaan lainnya.

Akibat perubahan zaman dan sifat Dharma, bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, maka terjadilah berbagai proses perubahan. Namun perubahan yang terjadi karena kerusakan sistemik di era VOC Belanda, hampir-hampir menghilangkan jejak kebudayaan Lasem.

Beberapa peninggalan yang dulunya merupakan istana, tinggallah puing-puing. Jejak candi penyimpanan abu jenasah Dewi Indu Purnama Wulan, kondisinya tidak terawat, sangat menyedihkan.

Rama Dhammateja Wahyudi A. R kemudian menjelaskan singkat perjalanan panjang peradaban Buddhis di Nusantara, “Sejak era Kerajaan Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabumi di awal abad, Buddhis sudah dikenal bangsa Nusantara.”

Baca juga : Lasem dan Mozaik Agama Buddha yang Terserak Usai Majapahit Runtuh

Kerajaan ini berada di sekitar Sungai Bogowonto (Kedu Selatan). Sekarang masuk eks-kawedanan Purwodadi, Kab. Purworejo. Era Jawa Tengah berakhir pada sekitar abad ke-10. Selanjutnya, kebudayaan Jawa berpindah ke Jawa Timur yang ditandai dengan kekuasaan Dinasti Isyana (Mpu Sindok) di tepi Sungai Brantas, Jawa Timur. Era Jawa Timur berkembang pesat pada abad ke-10 hingga abad ke-15.

Menjelang berakhirnya era Jawa Timur, khususnya di penghujung Majapahit pada pertengahan abad ke-16, Dharma sempat surut peminat. Selain persoalan suksesi kepemimpinan di Majapahit, masyarakat pesisir telah banyak yang meninggalkan Siwa Buddha, beralih pada keyakinan baru.

Pada saat itulah, Buddhadharma sempat disimpan oleh seorang bangsawan Lasem bernama Mpu Santi Badra dalam bentuk tembang. Syair berisi petuah nasehat dan pokok-pokok ajaran Buddhis yang terdiri dari 27 judul bab ini, pertama kali ditulis di atas kropak daun lontar dan diberi nama Badra Santi”.

Wahyudi mengakhiri paparannya, “Pada tahun 1747 setelah peristiwa Perang Lasem, banyak manuskrip Siwa Buddha milik masyarakat Lasem dibakar di alun-alun Lasem oleh tentara VOC Belanda. Namun koleksi naskah milik keluarga Raden Panji Margono, berhasil diselamatkan.

Manuskrip Badra Santi yang ditulis di atas kertas dluwang yang tersimpan di kotak kayu, ditemukan di dalam sebuah sumur tua yang sudah mengering di kediaman leluhur Pandita T. Hadidarsana, Lasem.

Naskah inilah yang ditulis ulang Pandita T. Hadidarsana bersama UP. Ramadharma Reksowardojo di Kudus. Setelah terbit perdana pada tahun 1967, Badra Santi sempat dipopulerkan kembali oleh Bhikkhu Khemasarano mulai tahun 1980-an.

Lalu diambil “Tunggak Semi” dari hasil kajian Badra Santi, sebagai semangat membabarkan Dharma di Jawa Tengah. Melalui semangat Tunggak Semi, banyak pemuda di pesisir berminat menjadi bhikkhu”.


Seorang santri melintas di depan poskamling sebuah Pondok Pesantren di Kampung Wisata Pecinan, Lasem, Jawa Tengah. Foto Antara

Ontologi Sastra

Demikianlah peran sastra Badra Santi sebagai memori masa lalu berjasa besar menyimpan Dharma di pesisir utara Jawa Tengah. Seminar diakhiri dengan pemaparan materi Dr. Widodo Brotosejati yang selama ini mendampingi Badra Santi Institute mempopulerkan seni budaya Buddhis.

Ia menuturkan bahwa selain gending-gending karawitan, Badra Santi Institute telah berhasil membuat kreasi seni tari dan seni wayang kulit. Widodo menutup pemaparannya, bahwa agama Buddha dapat lestari bila umatnya (gharavasa-perumahtangga), dapat turut menyimpannya dalam kegiatan seni budaya.

Seperti di Bali, agama Hindu dapat lestari melalui adat tradisi seni budaya yang hingga kini menjadi salah satu indikator keberhasilan bangsa dalam menjaga nilai-nilai kearifan lokal di zaman modern. Seperti ungkapan kuno, Buddha, Budhi, Jawa Jawimata siji, madhep nyawiji – Buddhadharma, Kebudayaan Jawa, adalah satu dan saling melengkapi.

 

Siky Hendro Wibowo

Pemerhati pendidikan dan buddhaya, tinggal di Tangerang.