Komunitas Buddhis, masih terjebak dalam mindset “siapa yang punya modal banyak, dialah yang layak jadi pemimpin”, dan biasanya orang tua.
Perjalanan jejak Buddhadharma di Nusantara bukanlah sebuah hal yang baru. Buddhadharma pernah berjaya pada “masa”-nya di seantero Nusantara. Bahkan, Nusantara menjadi tempat orang untuk mempelajari Buddhadharma. Terbukti dari perjalanan I Tsing seorang cendekiawan Tiongkok yang belajar Buddhadharma di Sriwijaya.
Ramalan dan kenyataan
Jika dibandingkan, perkembangan Buddhadharma dahulu dengan masa kini jauh berbeda. Meskipun zaman dulu teknologi komunikasi atau akses penyebaran informasi sangat terbatas, namun penyebaran Buddhadharma sangat pesat, jika dibanding dengan sekarang. Berangkat dari alasan ini, komunitas Buddhis di Indonesia harusnya mulai berkaca, berefleksi, dan introspeksi diri.
Ramalan Sabdo Palon soal kebangkitan Buddhadharma yang sering digadang-gadangkan, nyatanya belum memenuhi ekspektasi. Semakin hari, semakin berkurangnya umat Buddha, baik di desa maupun kota. Peran majelis-majelis yang ada pun dirasa belum maksimal.
Kapan bersatu dalam harmoni?
Banyaknya majelis Buddhis yang ada seakan tak menuju persaingan yang sehat dalam mengembangkan Buddhadharma, melainkan menuruti ego masing-masing. Saling berlomba membangun mewahnya “gedung” , tanpa memikirkan SDM yang ada di dalamnya. Sibuk meninggikan atap, sehingga lupa membangun pondasi.
Regenerasi organisasi-organisasi Buddhis pun tersendat. Tak jarang ketua atau pengurus organisasi Buddhis, orangnya hanya itu-itu saja. Apalagi di tubuh majelis-majelis, jarang sekali menemukan orang-orang muda. Padahal Indonesia menuju zaman Generasi Emas. Saatnya anak-anak muda Indonesia mulai digenjot untuk banyak berkarya dan bersaing dengan dunia internasional dalam semua bidang.
Saatnya yang muda berkiprah
Pemanfaatan intelektual-intelektual muda Buddhis untuk kemajuan komunitas masih terkesan “memble”. Jika melihat komunitas keagamaan lain, mereka sudah mampu mengubah mindset. Mulai memberikan posisi vital untuk orang-orang muda.
Organisasi kepemudaan Buddhis juga perlu diarahkan untuk lebih mengasah soft skill dan berpikiran lebih maju. Bukan hanya kegiatan yang berbau ritual. Sembahyang rutinan, fangshen, donor darah, dan yang paling hits adalah Dhammatalk, merupakan sederetan kegiatan yang biasanya dilakukan organisasi kepemudaan Buddhis.
Di zaman Sriwijaya, ajaran Buddha mampu masuk dalam segala segi kehidupan. Pemerintah dengan napas Buddhistik, ekonomi berbasis Buddhadharma, pendidikan moral dan etis ala Buddhis, pengembangan ilmu Kita Perlu Perubahanpengetahuan, bidang sosial, dan lain lain.
Baca juga: Mahasiswa Buddhis: Cendekiawan Muda Penjaga Kebhinnekaan
Perubahan sangat diperlukan untuk komunitas Buddhis. Melihat jumlah umat yang semakin hari semakin merosot jika dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Perlu adanya Simposium Nasional Buddhis Indonesia yang melibatkan dua organisasi besar Walubi dan KASI yang masih “perang dingin” tak kunjung usai sebagai sebuah proses rekonsiliasi dan mengatur strategi pengembangan Buddhadharma di Indonesia.
Generasi Buddhis yang akan datang harus mewariskan perdamaian, toleransi antarsekte, ajaran Buddha yang inklusif dan progresif untuk peradaban. Bukan kebencian, permusuhan, dan sentimentil yang akan membinasakan semuanya.
Sesuai dengan syair Dhammapada, Khuddaka Nikaya, “Samagganam tapo sukho“, di mana bersatu merupakan wujud kebahagiaan.
Billy Setiadi
Ketua HIKMAHBUDHI PC Malang 2016-2018
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara