Tulisan ini merupakan dokumentasi lama BuddhaZine pada 19-21 Februari 2016. Saya dan Sutar Soemitro meliput khusus kegiatan Dhamma Youth Gathering di Vihara Mendut, Kota Mungkid, Magelang. Dalam kesempatan langka itu, kami bisa mewawancarai Bhante Athapiyo dan Bhante Pannyavaro.
Khusus untuk wawancara Bhante Pannyavaro, hasilnya dalam bentuk video tidak bisa kami publikasikan karena kendala teknis. Barangkali wawancara kami dengan Bhante Pannyavaro dapat berguna untuk pembaca, hasil wawancara video tersebut kami transkrip dan kami sajikan dalam bentuk tulisan, semoga berkenan.
Sutar: Kalau kita lihat kondisi bangsa saat ini kan banyak terjadi pergesekan, terutama yang disebabkan oleh perbedaan agama. Kalau Bhante melihatnya seperti apa sih?
BP: Mas Sutar, kalau kita kembali pada perumpamaan klasik yang pernah disampaikan oleh Guru Agung Buddha Gotama, beliau mengumpamakan Dharma atau agama itu seperti rakit, yang kita harus menggunakan rakit itu untuk kita, untuk menyeberang.
Menyeberang dari penderitaan, dari persoalan kehidupan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, itu fungsi utama. Tetapi pada saat rakit itu digunakan untuk menilai yang lain, timbullah masalah, timbulah persoalan. Oleh karena itu sebenarnya Dharma atau agama titik beratnya adalah untuk ke dalam.
Sutar: Apakah agama tidak perlu membuat koreksi, pada kehidupan, pada fenomena yang terjadi di masyarakat?
BP: Ya! Perlu! Tetapi fungsi utama adalah koreksi ke dalam, koreksi ke dalam diri kita sendiri. Pada saat itulah fungsi agama memberikan manfaat yang penuh. Tetapi kalau fungsi itu dilupakan, kemudian agama lebih digunakan untuk menilai yang lain, timbullah konflik.
Sutar: Dari konflik itu Bhante, sebenarnya ada nggak sih mungkin agama ini hanya jadi satu alat atau ada satu kepentingan lain dibaliknya, yang akhirnya membungkus agama itu untuk membenarkan sesuatu yang dianggap mereka salah?
BP: Memang Mas Sutar, tidak bisa dipungkiri bahwa ada pergesekan atau konflik yang karena pandangan berbeda. Tetapi yang sering saya lihat adalah agama itu menjadi penyemangat konflik, bukan ajaran atau pandangan itu sendiri yang berbeda tetapi justru menjadi bumbu, menjadi imbuhan.
Kalau umat Buddha, satu kelompok umat Buddha atau seseorang umat Buddha dengan umat Buddha lain, sesama umat Buddha, timbul masalah atau timbul persoalan masih belum tajam. Tetapi kalau persoalan yang sama itu terjadi dengan umat beragama lain dan kemudian identitas agamanya itu dimunculkan persoalan itu menjadi luar biasa. Yang sesungguhnya mungkin hanya persoalan individu atau persoalan kelompok, persoalan ekonomi, persoalan sosial yang lain.
Sutar: Dengan agama itu malah menjadi penguat persoalan satu individu atau satu kelompok dengan individu atau kelompok lainnya ya Bhante?
BP: Bukan pendamai tetapi penguat masalah. Itu kan agama lain, dia kan umat beragama lain. Padahal sesungguhnya persoalan itu persoalan yang biasa saja, itu yang sering terjadi di masyarakat. Apalagi kalau kepentingan politis muncul, kepentingan-kepentingan yang lain ikut, bukan meredakan tetapi menggunakan agama itu, itu lebih-lebih lagi.
Sutar: Kalau menurut Bhante untuk menghadapi perbedaan ini baiknya seperti apa?
BP: Pengalaman saya Mas Sutar, selama bergaul dengan saudara-saudara kita lintas agama, melihat dialog antaragama itu masih dibutuhkan sekali.
Pada saat kita bertemu berbicara bersama-sama, suasana itu pun sesungguhnya sudah jadi jalan keluar yang cukup baik. Apalagi kemudian kita berbicara bersama, membicarakan masalah-masalah yang muncul apalagi! Bisa bertemu saja dalam suasana yang hangat yang akrab, wah itu sudah sesuatu yang perlu untuk dijalin terus-menerus.
Saya merasa bahwa, persahabatan pribadi saya, kami dengan tokoh-tokoh agama dengan umat beragama tanpa kepentingan yang lain memberikan suasana yang otentik, ketulusan yang luar biasa. Karena bagaimanapun juga apa pun agama yang dia anut, apa pun golongan yang dia bela, sebagai sesama manusia tidak bisa dipungkiri.
Kehangatan, kasih sayang, keramahan, itulah solusi yang kadang-kadang diabaikan, kita terpaku pada pertemuan-pertemuan formalitas, organisasi-organisasi, lembaga-lembaga yang formal. Padahal ya, kehangatan, keakraban, saling menghargai, saling bertemu, itu luar biasa sekali.
Sutar: Adakah pengalaman Bhante yang menarik selama bersahabat dengan umat atau tokoh-tokoh agama lain?
BP: Hal-hal yang kecil ya Mas Sutar, hal-hal yang kecil yang akhir-akhir ini dikutip di sana-sini. Pada waktu pihak Katolik Keuskupan Agung Semarang menyelenggarakan pertemuan Persaudaraan Sejati Lintas Agama yang kebetulan diselenggarakan di Muntilan, dihadiri kurang lebih 700 tokoh-tokoh agama, utamanya Jawa Tengah.
Pada waktu itu saya diminta berbicara pagi, lalu Buya Syafi’i malam sebelumnya, kemudian juga Ibu Shinta, Ibu Elga Sarapuh dan lain-lain. Panitia datang kepada kami kemudian datang kepada Buya Syafi’i dan mengatakan Bhikkhu Pannyavaro akan berbicara besok pagi. Buya Syafi’i mengatakan, saya barengan saja dengan Bhikkkhu Pannyavaro, dan akhirnya kita berbicara bersama, ya satu sesi dengan Ibu Shinta.
Kemudian pada waktu Buya Syafi’i menyampaikan pemaparannya, pandangannya, beliau sudah sepuh agak batuk-batuk. Saya kemudian membuka aqua, kemudian saya tuangkan di gelas, oh itu menjadi berita besar dan kemudian beliau menyinggung, ‘aduh inilah kerukunan yang otentik kita.’ Saya pikir hal-hal yang kecil seperti itu bisa menjadi dalam tanda petik ‘obat yang mujarab,’ memberikan suasana teduh antar dua kelompok umat beragama.
Baca juga: Bhikkhu Sri Pannyavaro: Cinta Kasih Mengajarkan Kita Menerima Perbedaan
Sebetulnya kalau kita sebentar melupakan, sebentar untuk tidak menyebut identitas agama kita masing-masing, kita semua adalah manusia yang mempunyai masalah-masalah kemanusiaan yang sama. Yang sama-sama tidak ingin menderita, sama-sama ingin kehidupan ini harmoni. Dan itu sering disampaikan oleh His Holiness Dalai Lama, salah satu yang membuat manusia ini bisa menjalin kebersamaan, kerukunan, karena kita semua ini emoh menderita dan kita semua ingin hidup bahagia.
Sama seperti Gus Dur, tidak banyak Gus Dur memberikan komentar. Beberapa pertemuan yang saya masih mengingat, di Jakarta pernah, di Solo juga. Pada waktu Gus Dur hadir apakah sebagai presiden, ataukah sudah tidak presiden lagi. Di satu pertemuan pada waktu memasuki ruangan, Gus Dur bertanya, ‘Bhante Panya sudah rawuh?’ Hanya satu kalimat itu saja, tapi satu kalimat itu mempunyai makna yang berarti bagi umat Buddha yang sangat sedikit ini.
Kalimat satu itu meskipun dia menyebutkan nama saya, tetapi itu perhatian beliau sebagai presiden, perhatian beliau sebagai pemimpin umat Islam yang terbesar terhadap saudara-saudara beliau umat Buddha. Hanya dengan kalimat, Bhante Panya sudah rawuh? Sudah hanya itu saja, dan pada waktu Pak Djohan Effendi yang mendampingi beliau.
Jadi hal-hal yang kecil, kehangatan, keakraban, persaudaraan yang tulus, tidak ada agenda lain selain kita adalah sesama manusia yang sudah selayaknya untuk saling menghargai, mencintai, dan melakukan apa saja yang bisa kita lakukan untuk banyak orang.
Itu sering diabaikan, padahal hubungan pribadi yang tulus, yang otentik, yang penuh dengan kehangatan itu memberikan suasana yang luar biasa. Hanya dengan menuangkan air dan saya melakukan itu bukan untuk pencitraan kemudian diberitakan secara luas. Dan itu membawa suasana yang bagus sekali.
Sutar: Untuk bisa punya sikap seperti Bhante menghargai pluralisme kan membutuhkan pengalaman yang panjang, pergaulan yang luas, kalau untuk kami-kami ini Bhante, umat biasa yang mungkin lebih banyak sibuk dengan urusan-urusan duniawi, mencari nafkah. Untuk bisa mempunyai sikap menghargai yang lain, mungkin ada saran Bhante?
BP: Tentu yang pertama Mas Sutar, harus ada ketulusan hati untuk bergaul dengan siapa saja, tanpa pamrih. Jangan muncul pemikiran apa yang bisa saya dapatkan dari pergaulan ini, pergaulan itu sendiri adalah berharga. Dalam Buddhis sering kita mendengar bahwa tujuan akhir itu bukan segala-galanya, tapi proses itu lebih berharga dari tujuan akhir.
Kita tidak bijaksana bila berpikir ‘kapan dunia ini akan tercapai, kapan perdamaian antaragama ini bisa tercipta’ kita akan kecewa sampai akhir menutup mata. Tapi apa yang kita lakukan untuk hidup bersama dalam kerukunan, dalam kebersamaan, proses itu sangat berharga! Bukan tujuan akhir yang hanya menjadi obsesi kita.
Yang lain, sikap yang perlu kita perhatikan adalah jangan merendahkan yang lain. Apakah pengetahuan agamanya yang kurang, apakah dia pimpinan agama yang dihargai, ataukah dia hanya umat biasa, apa hanya tamu-tamu yang datang pada kita, jangan merendahkan mereka.
Saya pribadi dua hal itulah kunci utama, ketulusan hati bergaul, kasih sayang, kehangatan dan kami merasa itu berharga dan yang kedua tidak merendahkan siapa pun. Apa pun agamanya, apa pun alirannya, meskipun di luar menjadi kontroversi, kalau kita bertemu, ketika mereka datang kepada kita ya terimalah dengan baik. Tidak merendahkan mereka, tidak mendiskreditkan mereka. Saya rasa itulah kunci kebersamaan, itulah kunci kerukunan.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara