• Thursday, 18 January 2018
  • Dhammateja
  • 0

Refleksi Dalam Rangka 53 Tahun Vihara Tanah Putih – Maha Dhamma Loka (2)*

Persil Watu Gong Ditutup

Semarang adalah kota istimewa bagi sejarah perkembangan Buddhadhamma di Indonesia, khususnya pasca runtuhnya Majapahit pada 1478. Sesudah kehadiran Bhikkhu Narada pada 1934, muncul berbagai kegiatan bercorak Buddhis. Salah satu puncak usaha-usaha para sesepuh adalah berdirinya vihara pertama bercorak Theravada. Namanya Vihara Buddha Gaya di daerah Watu Gong, berdiri sejak Waisak tahun 1955.

Lalu pada 1959, menyusul berdiri Sima Internasional Kasap atau lebih dikenal dengan nama Vihara 2500 Buddha Jayanti. Vihara ini, terletak tepat di pinggir Sungai Kali Garang, dikelilingi bukit-bukit kecil (sekarang berada di belakang Makodam IV/Diponegoro).

Baca juga: Vihara Tanah Putih dan Asal-usul Namanya

Karena status tanah di sekitar vihara berada adalah tanah garapan Hak Erphach Eigendom yang mempunyai batas waktu pengelolaan. Maka pada awal tahun 1960-an, kompleks tanah kembali dimiliki negara. Singkatnya, karena alasan tersebut, maka Vihara Kasap resmi ditutup. Sedangkan Vihara Buddha Gaya, kembali difungsikan sebagai kediaman pribadi pemilik sahnya, Ir. Sutopo, M.Sc (Goei Thwan Ling).

Hal tersebut dapat kita telusuri berdasarkan sumber sekunder harian Suara Merdeka (22 Oktober 1964), bahwa, “Vihara Buddha Gaya Watu Gong akan ditutup mulai 1 November 1964 karena waktu pemakaian perseeel Watu Gong sudah berakhir dan menunggu sebuah vihara baru di Semarang. Pemerintah sudah menyediakan tanah di Tegal Wareng untuk pembangunan vihara baru itu.”

Meminjam salah satu ruang milik orangtua Mama Fonny

Usai aktivitas di Vihara Buddha Gaya Watu Gong berhenti, Buddharupam di Dhammasala Vihara Buddha Gaya dan Buddharupam di Sima Internasional Kasap (Vihara 2500), dibawa umat ke rumah Om Tek Tjiang, kemudian dipindah ke rumah Bapak Sariputta Sadono di JL. Wijaya Kusuma Semarang.

Buddharupam utama yang ukurannya paling tinggi di antara dua Buddharupam yang lain, adalah sumbangan umat Buddha Thailand melalui Ratu Sirikit, permaisuri Raja Bhumibol Adulyadej.

Jenderal Gatot Subroto yang saat itu menjabat Panglima Tentara & Teritorium IV/Diponegoro, berjasa besar dalam membantu proses pengurusan Buddharupam, dari Pelabuhan Tanjung Emas ke Vihara Buddha Gaya Watu Gong, pada tahun 1959.

Dirasa kurang elok menempatkan Buddharupam di rumah umat, para sesepuh sependapat untuk menyemayamkan Buddharupam ke tempat khusus. Tempat yang sekaligus dimaksudkan sebagai cetiya atau vihara bagi umat Buddha Semarang, untuk sementara waktu.

Semula akan dipilih sebuah rumah di daerah Tegal Wareng (Jl. Sriwijaya, Semarang), namun urung. Kemudian diperoleh sebuah rumah pinjaman (sewa) di kaki bukit yang terletak di Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 6-R Semarang, milik orangtua Mama Fonny. Oleh para sesepuh, tempat itu diberi nama Vihara Tanah Putih.

Sebelumnya, sudah sejak sekitar tahun 1963, tempat ini telah digunakan sebagai ruang puja Bodhisattva Avalokiteshvara atau Dewi Kwan She Im Poo Sat, kemudian disebut Ruang Metta Karuna. Di tempat ini, pujabhakti umat Buddha Vihara Tanah Putih, sudah dilakukan sejak akhir tahun 1964.

1 Januari 1965 adalah kelahiran Buddhis Indonesia

Karena ketentuan pemerintah (Departemen Agama) mensyaratkan sebuah tempat ibadah harus mempunyai naungan lembaga/majelis agama, maka pada esok pagi 1 Januari 1965, berdirilah majelis agama Buddha bernama Buddhis Indonesia.

Para pendiri Buddhis Indonesia adalah Ketua Umum: U. Viradewa Jayakoesoema, Ketua: U. Khemananda Siek Tik Sing, Ketua I: U. Asvadharma T. Hadidarsana, Sekjen: U. Silasuriya Njoo Siok Liang, Sekretaris: U. Sasanasobhana Koo Djien Swan, Bendahara: Tjia Khay Hwie, Pembantu Umum: U. Dharmasidhi Katadji, Komisaris: Ibu Upi. Dharmananda Djayakoesoema, dan U. Hema Hadisoemarto.

Baca juga: Pabajja Samanera di Vihara Tanah Putih, “Belajar ke Dalam Diri”

Mempertimbangkan vihara berada di tempat yang masih sewa, maka untuk sementara waktu, sekretariat Buddhis Indonesia berada di alamat salah satu pengurusnya, JL. Mataram 322 Semarang. Kemudian untuk mengurus operasional vihara secara teknis, Vihara Tanah Putih dikelola oleh Yayasan Buddha Çanti.

Dari Buku Kenang-Kenangan 29 Tahun Vihara Tanah Putih (Semarang, Januari 1994:19-20) diketahui bahwa, “Yayasan Buddha Çanti semula adalah yayasan yang didirikan untuk keperluan izin pengelolaan Pancaka (krematorium) yang terletak di daerah Penggilingan, Desa Bongsari, Semarang. Berdiri pada 24 Februari 1962, dengan alamat sekretariat di Jl. Letjend Suprapto No. 52 Semarang.

Para pengurusnya adalah, Ketua I: Sadono, Ketua II: Kho King Hie, Ketua III: Poa Beng Swan, Panitera: Koo Djien Swan, Bendahara: Ong Kiong Tik, Pembantu: Raden Soedarsono, Mangoenkawatja, Oei Kiong Wie, dan Tan Hway Swie.”


Beberapa tokoh sesepuh pendiri Vihara Tanah Putih, Yayasan Buddha Çanti dan Buddhis Indonesia (cikal bakal Mapanbudhi). Bhikkhu Jinnapiya, Samanera Jagdish Jinnakumar, Madyantika S. Mangoenkawatja, Viradewa Djayakoesoema (atas, dari kiri ke kanan). Silasurya Njoo Siok Liang, Khemananda Siek Tik Sing, T. Hadidarsana, dan Sasanasobhana Khoo Djien Swan (tengah, dari kiri ke kanan). Tokoh generasi muda Vihara Tanah Putih yang aktif mulai sejak akhir dekade 1960-an s.d 2000-an; Suryaputta Ks. Suratin, Henry Basuki (Tan Tiang Soem), dan KB Sutrisno, BBA (bawah, dari kiri ke kanan).

Yayasan Buddha Çanti dan Buddhis Indonesia adalah sinergi bersama


Dhammasala Vihara Maha Dhamma Loka pada sekitar permulaan dekade tahun 1980-an.

Sebagai sinergi bersama antara vihara sebagai tempat ibadah, dan majelis sebagai perwakilan umat Buddha dengan pemerintah, maka Yayasan Buddha Çanti dan Budddhis Indonesia dapat berjalan saling melengkapi. Apalagi keduanya sebagian besar diisi oleh para pendiri dan pengurus yang orangnya sama.

Tercatat hingga Mei 1965, satu-satunya organisasi sangha yang ada di Indonesia saat itu, hanyalah Sangha Indonesia, dengan anggota: Bhikkhu Ashin Jinarakhita, Bhikkhu Jinnaputta, Bhikkhu Jinnapiya, Samanera Jinnananda Sontomiharjo, Samanera Jagdish Jinnakumar, Samanera Jinaratana, dan Samanera Jinagiri.

Sejak berdiri, Vihara Tanah Putih bernaung di bawah binaan Buddhis Indonesia. Sebuah organisasi majelis agama Buddha yang sebelumnya merupakan Cabang PERBUDHI Semarang, lalu memisahkan diri pada tanggal 1 Januari 1965.


Bhikkhu Sucirano, Pandita K.B. Sutrisno, BBA dan sejumlah umat Buddha Vihara Tanah Putih, dharmayatra di makam pahlawan Gatot Subroto, Ungaran, sekitar awal tahun 2000-an

Tugas pembinaan mental spiritual bagi umat Buddha (pelayanan ke dalam), di Vihara Tanah Putih, diasuh oleh Bhikkhu Jinnapiya. Lalu sempat pula diasuh Samanera Jagdish Jinnakumar hingga sekitar awal tahun 1970-an. Serta dibantu para pandita dari Buddhis Indonesia.

Buddhis Indonesia adalah kepanjangan tangan umat Buddha dengan Sangha dan pemerintah (pelayanan ke luar). Terutama dalam hal perkawinan yang berhubungan dengan dinas terkait di kantor pemerintahan. Sebab bhikkhu mempunyai peraturan (vinaya) untuk tidak turut campur secara teknis pada urusan perikatan perkawinan, kecuali memberikan nasihat (ceramah) dan pemberkahan.

Sejak saat itu, kelahiran lembaga/majelis bernama Buddhis Indonesia pada tanggal 1 Januari 1965, diperingati sebagai hari lahir atau HUT Vihara Tanah Putih. Nantinya, sesudah menorehkan jejak sejarah penting pembabaran Buddhadhamma di tanah air, Buddhis Indonesia mengalami dinamika organisasi.

Ia surut karena sebagian pendirinya yang Pro-Sukarno, ditahan aparat pemerintah orde baru. Lalu beberapa tokoh yang tersisa, melebur dan terkait paut dengan berdirinya Mapanbudhi, atau sekarang kita kenal sebagai Magabudhi. (bersambung).

* Tulisan ini disusun berdasarkan tinggalan dokumen/arsip mendiang Pandita Dharmaratna Henry Basuki, B.A.

Dhammateja Wahyudi Agus R

Wakil Ketua PC Magabudhi, Semarang. Memperoleh Penghargaan sebagai upacarika padana dari PP Magabudhi pada tahun 2014.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *