Janganlah engkau mengejar masa lalu
Janganlah engkau tersesat di masa depan.
Masa lalu telah pergi, masa depan belum juga tiba
Tataplah kehidupanmu secara mendalam apa adanya
Persis di sini dan di momen kekinian.Sutta Bhaddekaratta, Majjhima Nikaya 131
Segar masih diingatan, perayaan Waisak tahun ini. Perayaan ini merupakan kreativitas dan rasa bakti umat Buddha dalam konteks three in one, tiga peristiwa menjadi satu, yaitu kelahiran, pencerahan, dan maha parinirwana.
Kisah kelahiran Bodhisattwa sudah lumrah kita ketahui. Ada upacara pemberian nama dan mengundang para petapa ulung untuk meramalkan masa depan sang anak. Bodhisattwa yang baru lahir diberi nama Siddharta, ia diramalkan akan menjadi raja dunia atau manusia tercerahkan sepenuhnya.
Tak pelak lagi, ternyata masyarakat India kuno juga sangat percaya dengan ramalan, raja ingin memastikan sang anak meneruskan takhta kerajaan. Ia menggunakan segala upaya untuk menghalangi sang anak menempuh jalur petapaan.
Toh, fakta berbicara sebaliknya. Siddharta kabur dari tembok kemewahan untuk menjelajahi alam pikirannya, menempuh perjalanan spiritualnya, menjawab pertanyaan yang sangat penting bagi dirinya, syukurlah beliau sukses dalam jalur petapaanya.
Benang merah
Waktu melesat cepat bak anak panah. Saat ini kita memasuki babak baru dunia yang sudah sangat berbeda dengan zaman India kuno. Namun benang merah urusan ramal-meramal masih begitu kental, jenis penderitaan yang Buddha sebutkan sejak 2.600 tahun yang lalu juga masih begitu relevan.
Mereka yang mengejar masa lalu merasa menyesal, mereka yang sibuk merencanakan masa depan juga sering tersesat dalam pikirannya, sementara masa lalu sudah pergi, Anda belum juga bisa move on, kemudian masa depan belum juga tiba, Anda tidak sabar menunggu kedatangannya sehingga mengabaikan masa kekinian. Inilah sumber derita itu.
Kutipan Sutta Bhaddekaratta sangat jelas pesannya. Buddha menasihatkan para pengikutnya untuk menatap secara mendalam (vipasyana) atas kehidupan apa adanya, persis di sini dan di momen kekinian (present moment). Ajaran Buddha sudah jelas mengajak kita untuk mengurus momen kekinian, bukan mengurus masa depan, karena masa depan hanyalah rencana yang masih menjadi misteri.
Agama kekinian
Inilah pijakan kuat bagi perkembangan spiritual, membuat saya yakin bahwa agama Buddha adalah agama kekinian, bukan agama masa depan, lebih penting untuk menjadi agama masa kini daripada agama masa depan, karena masa depan tidak ada yang tahu pasti, justru yang pasti adalah kematian sebagaimana lanjutan dari syair Sutta Bhaddekaratta:
Hendaklah engkau rajin melakukan
Apa pun yang perlu dikerjakan hari ini.
Menunggu sampai esok sudahlah terlambat
Kematian bisa datang kapan saja.
Bagaimana engkau bisa tawar-menawar dengannya?
Nasihat Buddha persis menyebutkan janganlah menunggu sampai esok hari (baca: masa depan), karena terlambat sudah, napas Anda belum tentu bisa sampai esok hari. Penegasan pada momen kekinian terwujud dalam kalimat “rajin melakukan apa pun yang perlu dikerjakan hari ini”. Manusia punya hobi menunda, berbagai alasan seperti nonton drama korea, main game, seru membalas chat, dan sederet distraksi teknologi touchscreen, benar?
Tampaknya Buddha tidak pernah melarang siapa pun untuk merencanakan masa depannya, silakan merencanakan masa depanmu. Namun untuk menyambut masa depan, maka perlu bagimu untuk mengurus masa kekinian sebaik-baiknya, karena kalau momen kekinian tidak diurus dengan baik maka Anda akan kelabakan ketika masa depan tiba.
Tanpa label
Semakin hari semakin jelas bahwa agama Buddha tidak begitu “agama” di dunia Eropa dan Amerika. Mereka lebih senang menyebutnya “The way of life”, mereka merasa cocok dengan seni hidup berkesadaran “mindfulness” yang menjadi solusi bagi banyak permasalahan batin. Mereka “beragama Buddha” tanpa melabeli dirinya “beragama Buddha”. Secara kuantitatif mungkin saja berkurang, tapi secara kualitatif tampaknya kebalikannya.
Ada satu praktik mindfulness yang disebut relaksasi total, bagaimana memulihkan fisik manusia yang tergerus oleh berbagai aktivitas dan proses psikologis. Praktik ini telah banyak membantu mereka yang stres fisik dan psikis, menghadirkan kejernihan batin. Siapa pun bisa melakukannya tanpa “label” agama apa pun.
Praktik ini menggunakan teknik pemindaian tubuh yang dituntun dengan cara berbaring. Ada banyak orang yang mengalami kesulitan istirahat, inilah solusinya! Melalui relaksasi total bisa meningkatkan kualitas tidur. Pemindaian tubuh merupakan teknik kuno, masih relevan hingga saat ini. Teknik napas alami, napas dada dan perut merupakan metode kuno yang masih saja kekinian.
Saya berharap ada diantara artis yang mau mencoba praktik ini sehingga mereka bisa meredakan stres fisik dan mental, mereka tidak perlu menelan sleeping pill atau bahkan terjerumus dalam narkoba yang alih-alih harus berurusan dengan pihak aparat.
Tanggap kekinian
Itulah yang disebut tak lekang oleh waktu, jangkauan ajaran Buddha begitu luas dan mendalam, berbagai dimensi ajaran itu selalu siap merespon berbagai kesulitan zaman kekinian. Ini yang membuat agama Buddha agama kekinian, karena memang itulah tujuan Buddha mengajar, tanggap kekinian.
Kalimat penutup dari syair Sutta Bhaddekaratta adalah “Para bijaksana yang tahu bagaimana bersemayam dengan penuh kesadaran dari pagi hingga malam hari, mereka yang disebut insan yang tahu bagaimana hidup dalam keheningan.”
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara