Tanggal 1 Desember 2016 ini, BuddhaZine tepat berusia lima tahun. Ya, BuddhaZine masih balita. Masih banyak sekali ruang baginya untuk berkembang dan menjadi media yang dewasa.
BuddhaZine lahir 11 Desember 2011 dari kamar kos saya, Sutar Soemitro, di daerah Kartini, Jakarta Pusat. Saya kemudian mengajak dosen saya sewaktu di STAB Nalanda, Jo Priastana bergabung sebagai dewan pendiri. Pak Jo adalah orang yang berjasa besar membawa saya mengenal dunia media dan terus membimbing saya hingga saat ini.
Pada tahun 2011 itu, masyarakat Indonesia baru mulai menggandrungi internet akibat demam Facebook. Saya sendiri sebagai anak muda yang berasal dari kampung, baru kenal internet setelah masuk dunia kerja usai lulus kuliah pada akhir tahun 2003. Kalau dipikir-pikir, agak lucu juga ya, kenapa yang membikin BuddhaZine kok saya yang kenal internet saja di umur 23 tahun, bukannya orang-orang kota yang sudah kenal internet sejak kecil. Haha.
Nama BuddhaZine pada awalnya mau dipakai untuk nama majalah, BuddhaZine = Buddha Magazine. Tapi karena membikin majalah terlalu ribet dan biaya besar, akhirnya saya lebih memilih untuk membikin website. Kebetulan nama domain BuddhaZine.com belum ada yang pakai. Karena mengandung nama “Zine”, sampai sekarang pun masih ada saja orang yang mengira BuddhaZine adalah majalah online.
Rujukan utama saya mendirikan BuddhaZine waktu itu adalah BuddhistChannel.tv dan BuddhaNet.net. Keduanya web asing. BuddhistChannel berfokus pada berita seputar Buddhisme, sedangkan BuddhaNet berisi tentang Ajaran Buddhisme dan serba-serbi seputar Buddhisme tanpa berita. Ketika itu sebenarnya sudah ada web berita Buddhis, yaitu BuddhistOnline.com, BuddhistZone.com, dan Bhagavant.com. Tetapi saya melihat web-web tersebut masih belum maksimal. Dan ternyata benar, kedua web pertama tersebut saat ini sudah tutup, hanya Bhagavant yang masih eksis. Bhagavant lebih banyak menampilkan berita Buddhisme dari luar negeri. Saya menganggap, berita-berita Buddhis dalam negeri harusnya diberitakan juga. Dan kebetulan saya pernah bekerja sebagai jurnalis sehingga saya merasa mampu untuk memproduksi berita-berita sendiri dari dalam negeri.
Saya ingin menggabungkan konsep BuddhistChannel dan BuddhaNet dalam BuddhaZine. Layanan awal yang disuguhkan adalah berita, tapi ada menu Ajaran Buddhisme dan serba-serbi juga. Sehingga setelah orang membaca berita-berita seputar Buddhisme, jika ia tertarik, ia akan pelajari lebih lanjut di menu Ajaran dan serba-serbi. Tapi ternyata memproduksi berita saja sudah sangat memakan waktu dan konsentrasi, sehingga akhirnya menu Ajaran dan serba-serbi ditunda sampai saat ini. Belum tahu kapan ide tersebut akan diwujudkan.
BuddhaZine sangat memakan waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan. Haha. Apalagi di masa awal ketika saya harus memulai semuanya sendirian. Sebelum mendirikan BuddhaZine, saya sempat membantu sebuah majalah vihara. Saya coba ajak mantan rekan-rekan redaksi majalah tersebut untuk ikut menulis, tapi responnya tidak sebagus sewaktu bikin majalah. Teman-teman lain yang bisa nulis, saya ajak juga. Ada yang ikut nulis, tapi lebih banyak yang tidak. Jadi akhirnya saya lebih banyak menulis sendirian dan menjalankan BuddhaZine sendirian juga.
BuddhaZine sangat berterima kasih kepada Bapak Indra Ksatria yang menjadi donatur pertama selama satu tahun awal. Tapi sayangnya waktu itu saya belum terlalu bisa mengelola keuangan sehingga dananya hanya pas-pasan untuk biaya operasional. Terima kasih juga kepada Billy L. Joeswanto dan tim yang membantu programming hingga saat ini. Saya tidak bisa programming sama sekali.
Seperti halnya mengelola usaha rintisan (startup), mengelola BuddhaZine di masa awal juga sangat menyita waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan. Apalagi saya lebih banyak mengerjakan semuanya sendirian. Ada teman yang berkelakar, di BuddhaZine, saya adalah CEOnya tapi sekaligus wartawan, fotografer, marketing, hingga office boy. Hahaha.
Dan jika saya sedang down, saya ketika itu tidak tahu harus berkeluh kesah kepada siapa. Selama mengelola BuddhaZine, saya lebih banyak tidak memilih bekerja sebagaimana orang kebanyakan agar bisa fokus di BuddhaZine. Kondisi keuangan saya pun berantakan, saya juga banyak melewatkan kesempatan menikmati indahnya masa muda karena dompet hampir selalu kosong. Hahaha.
Beruntunglah pada akhir tahun 2014 saya bertemu dengan Herman Kwok. Dengan pengalamannya bekerja di industri digital sejak tahun 2009, ia bisa melihat potensi BuddhaZine. Saya pun ditawari kerja di kantor yang ia pimpin. Saya kerja hanya tiga hari dalam seminggu. Saat itu dia bilang, “Yang penting loe bisa punya penghasilan tetap dan BuddhaZine bisa tetap jalan.” Saya seolah bertemu dengan Bodhisattva yang memberikan jalan tengah yang saya idam-idamkan begitu lama.
Kondisi ekonomi saya mulai sedikit membaik sehingga saya mengelola BuddhaZine menjadi lebih tenang. Seolah satu pintu terbuka, pintu-pintu yang lain pun ikut terbuka, karena kemudian ada pihak yang menawarkan sokongan dana rutin bagi BuddhaZine. Dengan adanya sokongan dana tersebut, kami mulai merintis sistem profesional. Untuk setiap artikel, foto, video dan media sosial, kami sediakan upah bagi kreatornya. Jumlahnya memang belum seberapa, tapi yang terpenting adalah niat kami untuk mengapresiasi setiap karya. Tidak melulu gratisan. Kami pun bisa lebih leluasa pelan-pelan menambah tenaga.
Bagi kami, BuddhaZine adalah langkah kecil pertama. Kami bercita-cita ingin membangun sebuah grup media Buddhis semisal Kompas Gramedia. Jadi nantinya tidak hanya ada BuddhaZine, namun juga menerbitkan majalah, buku, merchandise, label musik, mendirikan toko buku, pusat budaya, EO, hingga radio, dan mungkin televisi. Mimpi yang terlalu tinggi memang, tapi bukan mustahil. Setidaknya kami telah memulainya dengan BuddhaZine, dan kami terus menjaga mimpi tersebut.
Kenapa kami bercita-cita seperti itu? Karena cara paling efektif untuk menyebarkan sebuah ideologi yang bisa menjangkau semua lapisan masyarakat dan bisa bertahan lama, adalah melalui media. Media mempunyai kemampuan untuk mencetak pemikir, membentuk budaya, tren, opini publik, hingga mempengaruhi kebijakan pemegang kekuasaan. Dan wajib hukumnya Buddhisme memanfaatkan media untuk penyebarannya!
Sebagai gambaran betapa dahsyatnya kekuatan media adalah, hingga saat ini BuddhaZine masih dikerjakan dari kamar kos saya, alias belum punya kantor. Orang-orang yang terlibat pun statusnya masih freelance semua, alias belum punya karyawan tetap. Tapi dalam sebulan, BuddhaZine mampu menjangkau lebih dari 50 ribu pengunjung melalui sekitar 30 artikel per bulan, atau sekitar 1600 pengunjung setiap hari. Ini masih ditambah dengan akun media sosial. Facebook page memiliki 4719 like, Twitter 245 follower, Instagram 1271 follower, dan Youtube 448 subscriber.
Masih terlalu dini untuk mengukur peran BuddhaZine bagi perkembangan agama Buddha. BuddhaZine saat ini masih sangat kecil dan jauh untuk mencapai level tersebut. Tapi dukungan dari pembaca yang tidak pernah henti akan mempercepat langkah BuddhaZine untuk mewujudkan visi membentuk grup media Buddhis yang mencerahkan manusia. Semoga!
Selamat ulang tahun ke-5, BuddhaZine!
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara