• Friday, 11 May 2018
  • Hendrick Tanu
  • 0

Bagi mereka yang pernah bersentuhan dengan Zen, Mahamudra, ataupun Dzogchen (Maha-ati) kurang lebih akan merasakan persamaan di antara silsilah meditasi tersebut. “Tidak ada perbedaan signifikan antara Zen, Mahamudra, dan Dzogchen,” ujar Drikung Kyabgon Chetsang Rinpoche.

Namun begitu mempelajari sejarah Tibet, seseorang kemudian akan ragu karena kebanyakan catatan mengunggah bahwa silsilah Zen termarjinalkan dan lenyap setelah kalah dalam perdebatan Samye sehingga Zen menjadi kambing hitam kemerosotan Dharma.

Akan tetapi, penemuan dan penelitian modern seolah membolak-balik semua sejarah itu dan malah menunjukkan bahwa Zen masih terus berlanjut lewat nadi Dzogchen dan Mahamudra.

Masuknya Zen ke Tibet, awal Buddhadharma di Tibet

Sesepuh ke-5, Hongren mewariskan jubah Dharma Chan pada sesepuh ke-6 Huineng. Setelah menolak undangan kaisar perempuan Wu Zetian, akhirnya Huineng mengirimkan jubah Dharma tersebut sebagai pengganti dirinya pada Sang Kaisar.

Tak disangka, Kaisar Wu Zetian lalu memberikan jubah itu pada murid Hongren yang lain yaitu Biksu Zhishen. Biksu ini mewariskan jubah pada Chuji lalu pada biksu Korea bernama Wuxiang. Silsilah Wuxiang inilah yang kemudian masuk ke Tibet, atau lebih tepatnya silsilah Wuxiang secara historis adalah yang pertama mengenalkan Buddhadharma di Tibet.

Baca juga: Melihat Sekolah Monastik Buddha Terbesar di Tibet

Dua klan yang berbeda yaitu Ba dan Dro mengundang masuk Buddhis Zen ke Tibet. Yang pertama, terjadi ketika Raja Meagtsom (ayah Trisong Detsen) tertarik akan Zen karena pengaruh istrinya, permaisuri Jincheng.

Beliau meminta Ba Sangshi yang keturunan Han bersama keempat orang Tibet lainnya pergi ke kerajaan Tang memohon Dharma. Mereka kemudian bertemu dengan guru Zen Kim Hashang (Wuxiang) yang berasal dari Silla, Korea di Sichuan.

Guru Wuxiang memberi Ba Sangshi tiga kitab Zen untuk dibawa. Sesampainya di Tibet, Ba Sangshi menyimpannya karena tekanan agama Bon dan beberapa tahun kemudian baru menyebarkannya. Ia menerjemahkannya dan menjadi guru tradisi Wuxiang serta diangkat menjadi kepala wihara pertama dari wihara Samye.

Tak lama kemudian, utusan dari klan Ba yaitu Ba Selnang juga mendapat transmisi ajaran Zen dari Baotang Wuzhu, murid Wuxiang dan Chen Chuzang (murid Lao An). Negara Tibet menerima Zen dengan sambutan yang sangat baik.

Tak berapa lama kemudian, datanglah Hashang Moheyan (Upadhyaya Mahayana) dari Dunhuang ke Tibet atas undangan Raja Trisong Detsen pada tahun 781 M. Ia adalah murid dari Xiangmo Zang penerus Dharma guru Zen Utara, Shenxiu. Meski demikian Heshang Moheyan juga banyak berguru pada guru-guru Zen lainnya. Figur ini kemudian menjadi pusat peredebatan yang menarik dalam sejarah Buddhis Tibet.

Siapa yang menang debat?

Naskah-naskah Tibet kebanyakan hingga saat ini mengatakan bahwa Hashang Moheyan yang mewakili jalan pendekatan pencerahan seketika kalah berdebat dengan Kamalasila, akan tetapi ternyata juga ditemukan versi yang berkebalikan dan justru versi ini adalah yang tertua. Dalam Dunwu Dasheng Zhengli Jue karya Wangxi, murid Moheyan, tercatat bahwa pihak yang menang adalah Moheyan.

Mana yang benar, banyak berbagai macam versi dan ini menjadi tak penting jika dikenali konteksnya. Nyangral Nyima Ozer (1124-1192), emanasi batin Trisong Detsen, berkata bahwa sang raja sendiri berkata bahwa tidak ada perbedaan signfikan antara jalan pencerahan bertahap dan jalan pencerahan seketika, bahwa mereka yang berindra tajam cocok dengan metode Hashang sedangkan mereka yang berkapasitas medium dan rendah cocok dengan metode bertahap.

Para guru Dzogchen pewaris silsilah Zen

Tidak lain tidak bukan adalah murid-murid dari Padmasambhava (Guru Rinpoche) sendiri yang belajar Zen. Di antaranya ada Nubchen Sangye Yeshe, Namkhai Nyingpo, dan Pug Yeshe Yang.

Nub Sangye Yeshe menempatkan pendekatan pencerahan seketika dari Zen di atas pendekatan pencerahan bertahap di karyanya Samten Migdron (Pelita Mata Dhyana/Zen). Namkhai Nyingpo dan Pug Yeshe Yang menjadi murid Man Heshang, siswa dari Busing Heshang yang belajar dari guru Zen Artanhwer (Ardasir).

Baca juga: Menelusuri Tahapan Jalan Menuju Pencerahan di Indonesia, India, dan Tibet

Longchenpa dan Jigme Lingpa menyamakan realisasi pencerahan seketika dari Hashang hampir sama dengan para praktisi Dzogchen. Terton Orgyen Lingpa (1323 – 1360) juga menanggapi pendekatan Hashang dengan positif.

Guru Dzogchen Aro Yeshe Jungne juga mewarisi silsilah dari Heshang menurut Catatan Biru, yang diteruskannya hingga Rongzom Chokyi Wangpo. Rongzom dikenali Atisha sebagai gurunya Krsnapada dan Atisha sangat menghormatinya, demikian juga perlakuan Marpa pada Rongzom, tempat instruksi Dozgchen didapatkannya.

Meski Sakya Pandita mengkritik Zen dan Kagyu Mahamudra sebagai tak lain dari Dzogchen Tiongkok (Zen), pendiri Sakya lainnya yaitu Drogon Chogyal Phagspa merekomendasikan karya biksu Chan Guifeng Zongmi pada Kaisar Kubilai Khan. Guru Gelug Zhangjia bahkan mengakui dan menguji realisasi Zen dari Kaisar Qing, Yongzheng.

Kitab Zen di Tibet

Kitab asli dan tertua dari Bodhidharmatrata yang bernama Erru Sixing Lun pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet. Riwayat dan silsilah Lankavatara bernama Lengqia Shizi Ji dari Bodhidharmatrata juga diterjemahkan ke Tibet. Kitab-kitab ajaran Heshang Moheyan berbahasa Tibet juga banyak ditemukan di Gua Dunhuang.

Vajrasamadhi Sutra, yang berasal dari aliran Zen juga dikutip oleh guru-guru Dzogchan dan Mahamudra semisal Vimalamitra dan Gampopa, demikian oleh guru-guru penerus mereka. Lankavatara Sutra, sutra penting Zen juga banyak dikutip oleh guru-guru Kagyu Mahamudra.

Apa kata Dalai Lama?

YM Dalai Lama ke-14, sebagai pewaris silsilah Kamalasila dan Longchenpa sekaligus berkata bahwa ajaran Hashang Moheyan sebenarnya tepat dan tidak salah namun hanya bagi orang-orang tertentu. Ini dijabarkan beliau dalam buku Approaching The Buddhist Path.

Kamalasila mendebat Hashang, karena Hashang mulai mengajarkannya secara publik kepada siapa saja sehingga orang yang kurang kebijaksanaan akan salah mengerti ajaran Buddha sebagai nihilisme sedangkan bagi Longchenpa karma baik orang Tibet kurang sehingga tidak dapat memahami ajaran Heshang Moheyan.

Saat ini, silsilah Zen yang bertahan berbeda dengan silsilah Wuxiang, Wuzhu dan Moheyan yang semuanya telah punah. Silsilah Zen yang bertahan hingga kini berasal dari Sesepuh ke-6, Huineng. Thuken Lobsang Nyima, sejarawan Gelug masa Qing mengenali perbedaan ini.

Tahun 1998 di Roseland, New York, Dalai Lama ke-14 telah berdialog dengan Chan Master Shengyen, saat ketegangan antara silsilah Tibet dan Zen untuk pertama kalinya akhirnya luruh lenyap. Pertemuan ini menjadi pembuka jalan untuk pemahaman lebih jauh antara pertemuan kedua tradisi ini.

Suatu ketika, Dalai Lama berkata pada Barbara Chai tentang meditasi huatou:

“Gurumu, Chan Master Shengyen mengajarkan meditasi ini, juga saya, dan Buddha. Ada meditasi konsentrasi juga ada meditasi analitis, keduanya harus dikombinasikan bersama. Investigasilah, di mana aku ini? Ini adalah cara menginvestigasi sunyata.”

Hendrick Tanuwidjaja

Penulis, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *