• Saturday, 24 February 2018
  • Deny Hermawan
  • 0

Universitas Nalanda merupakan pusat pembelajaran Buddhadharma terbesar di masa keagungan India di zaman dahulu. Di sana terdapat lebih dari 30.000 biksu dan biksuni, termasuk 2.000 guru yang menetap, belajar dan menjalankan praktik di sana di masa puncaknya.

Mahavihara Nalanda yang tak tertandingi didirikan pada masa Dinasti Gupta di akhir abad V hingga awal abad VI Masehi di bawah dukungan Raja Shakradhita dari Dinasti Gupta.

Nalanda bertahan selama 600 tahun hingga masa Dinasti Pala, sampai sepenuhnya dihancurkan tahun 1203 oleh penyerang Muslim dari Turki. Tahun 1204 pemegang silsilah terakhir (kepala vihara) Nalanda, Shakyashri Bhadra mengungsi ke Tibet.

Selama abad-abad transisi, banyak guru besar India belajar dan mengajar di Nalanda. Reputasi Nalanda tersebar luas sebagai pusat pembelajaran yang berkualitas dan ini menarik minat murid-murid dari tempat-tempat sejauh Yunani, Persia, Tiongkok, dan Tibet.

Walaupun mata pelajaran utama adalah Buddhadharma, topik-topik lainnya juga dipelajari, termasuk astronomi, pengobatan (Ayurveda), tata bahasa, metafisika, logika, filsafat bahasa, filsafat Hindu klasik, filsafat non-India dan sebagainya.

Para peziarah dari Tiongkok yang mengunjungi Nalanda di abad VII Masehi mencatat secara detail kondisi fisik dan aktivitas di sana dalam catatan perjalanan mereka. Sebagai contoh, mereka menceritakan keberadaan tiga bangunan pustaka berlantai sembilan yang menyimpan jutaan judul dalam ratusan ribu jilid teks mengenai berbagai topik!

Seperti halnya vihara-vihara besar Gelukpa seperti Sera, Drepung, dan Ganden, tempat tinggal di Nalanda dibagi berdasarkan dari mana para biksu dan biksuni berasal. Ada catatan yang jelas mengenai adanya Vihara Tibet di Nalanda yang penghuninya banyak di periode belakangan. Kenyataannya, catatan sejarah mengungkap bahwa di suatu masa ada seorang penjaga gerbang dari Tibet di Nalanda.

Tradisi

Berdasarkan tradisi, para penjaga gerbang (Dwarapala) adalah cendekiawan dan pendebat yang terhebat. Tugas mereka adalah “menjaga” gerbang dan mengalahkan mereka yang menantang pembelajaran dan gagasan-gagasan institusi Nalanda melalui debat. Jika para penantang tersebut tak dapat mengalahkan penjaga gerbang dalam debat, mereka tak diperkenankan masuk ke Nalanda.

Ketujuh belas Pandita dari Universitas Nalanda adalah ketujuh belas guru Mahayana dari India yang paling penting dan berpengaruh. Berikut ini adalah ketujuh belas nama besar tersebut:

Nagarjuna, Aryadeva, Buddhapalita, Bhavaviveka, Chandrakirti, Shantideva, Shantarakshita, Kamalashila, Asanga, Vasubandhu, Dignaga, Dharmakirti, Arya Vimuktisena, Haribhadra, Gunaprabha, Shakyaprabha, dan Atisha.

Secara historis, para guru India tersebut menjadi terkenal di era modern ini karena penyebaran silsilah Jalan Penggugahan Bertahap (Lam Rim) dari Tibet. Sebelumnya, berdasarkan referensi India ada pengelompokan Enam Ornamen dari Benua Selatan (yakni India) dan Dua Guru Agung. Dari kumpulan belasan nama guru tersebut, kedelapan guru ini merupakan guru utama dari ketujuh belas pandita tersebut.


Nagarjuna

Keenam Ornamen terdiri dari Arya Nagarjuna (sekitar abad II Masehi), penyingkap Sutra-Sutra Prajnaparamita dan penyusun sistem serta pendiri filosofi Jalan Tengah (Madhyamaka). Di antara enam karya logikanya, risalah yang paling terkenal adalah Gatha Dasar Jalan Tengah (Mulamadhyamakakarika), yang mungkin merupakan risalah filosofi yang paling banyak dianalisa, diulas dan dibahas sepanjang sejarah Buddhis.

Guru kedua yang dianggap Enam Ornamen adalah Aryadeva (sekitar abad III Masehi), yang kadang-kadang dianggap sebagai murid utama Arya Nagarjuna dan sebagai pengulas otoritatifnya. Seperti halnya Nagarjuna, setelah itu Aryadeva secara universal dianggap sebagai pengulas otoritatifnya di antara semua pengulas Jalan Tengah dan ia sangat terkenal atas risalahnya yang berjudul Empat Ratus Gatha.


Arya Asanga dan Arya Vasubandhu

Kedua guru Madhyamaka tersebut, yang juga termasuk Enam Ornamen adalah dua guru Yogachara/Chittamatra sebelumnya: Arya Asanga (300-390 Masehi), yakni pendiri Chittamatra, dan murid serta saudara tirinya, Arya Vasubandhu (sekitar abad IV Masehi), salah satu pengulas yang paling awal dan paling otoritatif mengenai cara pandang Chittamatra. Selain risalahnya sendiri, dikatakan Arya Asanga juga terkenal karena mendapat lima teks langsung dari Bodhisattva Maitreya.

Sehubungan dengan Arya Vasubandhu, sebelum menjadi pembabar cara pandang Chittamatra, ia menulis suatu risalah terkenal dari perspektif Vaibhashika yang berjudul Abhidharmakosha, teks ini digunakan secara ekstensif dalam sistem pembelajaran Tibet. Sesuai dengan tradisi, untuk mendapat gelar seorang Geshe dalam kurikulum Gelukpa, seseorang harus belajar tujuh tahun untuk mempelajari teks Abhidharmakosha.

Dua penganut Chittamatra lainnya yang termasuk Enam Ornamen adalah: Arya Dignaga (abad VI Masehi) dan Arya Dharmakirti (600-660 Masehi). Keduanya sangat terkenal sebagai pelopor logika dan epistemologi Buddhadharma. Khususnya, mereka menulis risalah filosofis mengenai isi dan makna dari persepsi yang valid. Menurut mereka, dari perspektif Buddhadharma, ada dua sumber pengetahuan yang valid: kognisi melalui penarikan kesimpulan (anumana) dan persepsi langsung (pratyaksha). Kebanyakan tulisan mereka mengelaborasi secara mendetail kedua topik ini.

Dua Guru Agung merujuk pada dua guru agung Vinaya: Gunaprabha (sekitar abad IX Masehi) dan Shakyaprabha. Gunaprabha adalah murid Arya Vasubhandhu dan sangat terkenal karena risalahnya yang berjudul Sutra Vinaya. Shakyaprabha adalah murid Shantarakshita (juga termasuk di antara tujuh belas Pandita) dan juga guru utama vinaya di antara ketujuh belas Pandita.

Ia terutama dikaitkan dengan tradisi Vinaya Mulasarvastivada yang diadopsi di Tibet semenjak Raja Dharma, Ralpachen (lahir sekitar 806 Masehi). Gurunya, Shantarakshita memulai silsilah penabhisan ketika ia menahbiskan tujuh bhikshu Tibet yang pertama dan mendirikan Vihara Samye.

Selain Enam Ornamen dan Dua Guru Agung, terdapat sembilan guru lainnya, masing-masing sangat memengaruhi Buddhadharma India dan Tibet selama berabad-abad.


Buddhapalita

Buddhapalita (470-550 Masehi) adalah salah satu pengulas agung mengenai cara pandang Madhyamaka sebagaimana menurut Nagarjuna. Ia adalah guru Madhyamaka India paling awal yang secara khusus dianggap penganut subtradisi Madhyamaka yang dikenal di Tibet sebagai Madhyamaka-Prasangika.

Ia diberi sebutan demikian di Tibet karena menggunakan suatu bentuk penalaran untuk menyanggah logika para penentang filosofi Madhyamaka ketika ia mengulas teks dasar Arya Nagarjuna mengenai prajna.

Buddhapalita kemudian dikritik oleh seorang guru Madhyamaka lainnya, Bhavaviveka (500-578 Masehi). Bhavaviveka berpendapat bahwa seorang pengulas Madhyamaka yang layak, seharusnya tidak sekedar menunjuk pandangan orang lain yang tidak masuk akal; mereka seharusnya juga bertanggung jawab menjelaskan pandangan mengenai shunyata dengan menggunakan silogisme Svatantra (svatantranumana).

Di Tibet, ia lantas dikenal sebagai “pendiri” dan penganut utama subtradisi Madhyamaka yang dikenal sebagai Madhyamaka-Svatantrika.

Arya Chandrakirti (600-650 Masehi) dianggap oleh kebanyakan orang Tibet sebagai pendiri subtradisi Madhyamaka-Prasangika, yang sering dianggap merupakan penjelasan Buddhis yang paling mendalam mengenai kenyataan. Ia terkenal karena membela Buddhapalita yang menggunakan penalaran berbentuk konsekuensi (prasanga), hal ini dikritik Bhavaviveka.

Dalam suatu cara pikir yang dikembangkan lebih lanjut oleh Je Tsongkhapa (1357-1419 Masehi), mereka berpendapat bahwa seorang filsuf Madhyamaka seharusnya tidak menggunakan silogisme svatantra (svatantranumana) karena penggunaan logika demikian mengindikasikan adanya sifat  hakiki dari topik yang dibicarakan.

Karena keberadaan hakiki mengenai apa pun ditolak oleh Arya Nagarjuna, menggunakan silogisme svatantra sepertinya merupakan kekeliruan yang fatal bagi seorang Madhyamika. Meskipun bukti historis menunjukkan bahwa cara pandang Arya Chandrakirti tidak mendapat dukungan ekstensif di India hingga periode akhir, tetapi pada abad XIII di Tibet, pandangannya  yang tepat tentang Madhyamaka mulai mendominasi arena filosofis dan masih berlanjut hingga kini.


Shantarakshita

Shantarakshita (725-788 Masehi) adalah figur penting dalam filosofi Buddhadharma India periode akhir dan sangat berpengaruh di Tibet, terutama dalam tradisi Nyingma. Secara filosofis, ia dikenal karena mengintegrasikan tiga silsalah utama filosofi Mahayana yakni Madhyamaka, Yogachara, dan pemikiran logika epistemologi Arya Dharmakirti, dalam suatu sistem koheren yang terintegrasi.

Selain di India, ia menetap di Tibet selama 17 tahun, menahbiskan para biksu dan mengabdi sebagai kepala vihara di vihara pertama di Tibet, Samye. Lebih lanjut, mungkin tiada orang selain dirinya yang membawa pengaruh yang demikian besar dari segi pendekatan orang Tibet terhadap filosofi. Sesungguhnya Shantarakshita mengajarkan orang Tibet bagaimana mempelajari filosofi Buddhadharma selama penyebaran awal Dharma di sana.

Dua murid Shantarakshita (selain Shakyabhadra yang disebut di atas) yang termasuk dalam daftar tujuh belas Pandita adalah Acharya Kamalashila dan Haribhadra. Acharya Kamalashila (sekitar abad VIII Masehi) juga merupakan figur yang luar biasa penting di India dan Tibet.

Seperti gurunya, Kamalashila secara ekstensif menulis tentang Madhyamaka dan pramana (logika dan epistemologi), begitu pula teori dan praktik meditasi. Tiga teksnya, Tahap-Tahap Meditasi (Bhavanakrama), versi panjang, sedang, dan pendek adalah teks yang paling sering dikutip dalam penjelasan tradisi Tibet mengenai meditasi. Lebih lanjut, seperti gurunya, ia menghabiskan banyak waktu di Tibet selama penyebaran awal.

Ia dikenal karena kemenangannya dalam debat membela pendekatan bertahap merealisasi pencerahan yang dianut di India terhadap pendekatan pencerahan spontan/seketika yang disebarkan seorang guru Chan dari Tiongkok bernama Hwashang Mohoyen. Perdebatan Agung itu terjadi di Samye. Sering disebut dalam sejarah Tibet bahwa sejak saat itu, orang-orang Tibet mengikuti pendekatan India.

Haribhadra (700-770 Masehi), murid terakhir Shantarakshita, menulis ulasan yang paling dikenal dan paling banyak digunakan di antara 21 ulasan mengenai Abhisamayalamkara (oleh Arya Maitreya) dan juga menulis sistematika Mahayana secara umum.

Pengulas utama lainnya mengenai Abhisamayalamkara di antara tujuh belas Pandita adalah Vimuktisena (sekitar abad VI Masehi), teksnya yang berjudul Menerangi Kedua Puluh Ribu: Ulasan Mengenai Abhisamayalamkara, juga dikutip secara ekstensif oleh para penulis Tibet berikutnya.


Arya Shantideva

Arya Shantideva (sekitar abad VIII Masehi) menulis apa yang mungkin merupakan teks yang paling penting dan berpengaruh mengenai bagaimana mempraktikkan ajaran Mahayana yakni Menjalankan Cara Hidup Bodhisattva (Bodhisattvacharyavatara) sewaktu ia sebagai biksu di Nalanda. Teks karangannya mengenai pengembangan bodhicitta dan praktik enam paramita dijunjung dan dipelajari secara ekstensif oleh semua tradisi Tibet.

Di antara literatur Buddhis yang ada, Dalai Lama sering mengutip suatu bagian favoritnya di bagian dedikasi dalam teks Bodhisattvacharyavaratra: “Selama ruang ada, selama makhluk hidup ada, agar saya tetap ada, untuk membebaskan penderitaan dunia.”


Atisha

Guru terakhir di antara tujuh belas Pandita adalah seorang cendekiawan dari Bangladesh, Atisha Dipankara Sri Jnana (980-1054 Masehi), figur yang sangat penting dalam penyebaran Buddhadharma periode belakangan di Tibet. Seperti para Pandita di atas, pengaruh Atisha terhadap Buddhadharma di Tibet adalah luar biasa.

Teks klasik tulisannya, Suluh Pada Jalan Penggugahan (Bodhipathapradipam) secara luas dianggap sebagai teks dasar Jalan Penggugahan Bertahap (Lam Rim) bagi karya-karya klasik Tibet berbagai aliran, seperti Risalah Mendetail Jalan Penggugahan Bertahap oleh Je Tsongkhapa (Geluk), Hiasan Permata Pembebasan oleh Gampopa (Kagyu) dan Sabda Guruku yang Sempurna oleh Patrul Rinpoche (Nyingma).

Selain ajaran Jalan Penggugahan Bertahap, Guru Atisha juga memperkenalkan ajaran Mahayana seperti Gladi Pikir (Lojong) di Tibet. Ajaran Gladi Pikir merupakan ajaran utama Mahayana yang bertujuan menghilangkan sikap mementingkan diri sendiri dan sikap mencengkeram adanya diri yang hakiki, dengan maksud mengembangkan bodhicitta dan merealisasi shunyata secara langsung.

Atisha tersohor karena belajar Buddhadharma selama 12 tahun dari guru utamanya, Serlingpa Dharmakirti di Sumatera (Sriwijaya). Berkat gurunya inilah, Atisha memperoleh realisasi bodhicitta. Atisha juga menerima ajaran meditasi Tong-Len (terima-kasih), metode menerima beban kesengsaraan dan penderitaan dari makhluk lain dan memberikan kepada yang lain energi kesehatan dan kebahagiaan.

Di bawah ini adalah salah satu bait mutiara dari Atisha:

“Bersikap baik terhadap orang-orang yang telah datang dari jauh, kepada mereka yang telah lama sakit, atau kepada orang tua kita di masa tua mereka, setara dengan memeditasikan shunyata, kasih sayang adalah esensinya.”

* Sumber utama tulisan: The Seventeen Pandits of Nalanda Monastery oleh James Blumenthal, Ph.D (mandala.fpmt.org)

Deny Hermawan

Seorang penjelajah, bekerja sebagai jurnalis di Kota Gudeg, Jogja.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *