Ibu Bumi wis nyawisi
Ibu Bumi wis mepaki
Ibu Bumi wis nyukupi
Ibu Bumi aja dilarani
Frasa Ibu Bumi atau ibu pertiwi berasal dari nama “Prithvi Boddhisattva”. Salah satu ciri dari perwujudan Ibu Pertiwi, adalah salah satu tangannya memegang Pakwa, yang merupakan tradisi kepercayaan masyarakat China.
Ibu Pertiwi adalah penguasa seluruh dunia atau disebut “Bhumi Prithvi”. Demikian asal mula kalimat “Bumi Pertiwi”, yang biasa disebut masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan Sutra Prithvi Boddhisattva, Ibu Pertiwi atau Bhumi Prithvi, menguasai gunung-gunung di seluruh dunia, yang disebut sebagai “Sumeru” (menjadi asal usul nama Gunung Semeru di Jawa Timur).
Ibu Pertiwi juga menguasai 7 samudera di seluruh dunia, yang disebut sebagai “Banyuwangi” (menjadi asal usul nama Banyuwangi di Jawa Timur). Selain itu, Ibu Bumi dikenal juga dengan nama Dewi Shri, Sanghyang Pohaci, Dewi Sarasvati, dll.
Keselarasan budi daya padi dan Buddhadhamma di Jawa
Buddhadhamma, sebagai pandangan hidup dan sistem sosial masyarakat di Jawa Tengah, mencapai puncaknya sekitar abad ke-7 sampai abad ke-10. Pada masa itu Buddhadhamma berdampingan dan hidup selaras dengan Siwa, Wisnu, dan keyakinan lainnya.
Setelah kebudayaan Jawa berpindah ke tepian sungai Brantas di Jawa Timur pada sekitar abad ke-10, Buddhadhamma masih menjadi tuntunan hidup dan menjadi pilar sistem kemasyarakatan.
Saat itu raja memberi otonomi masyarakat petani agar dapat hidup makmur dengan mempraktikkan Buddhadhamma dalam wujud seni budaya puja. Hingga pada abad ke-14 dan ke-15, pertanian sawah padi mencapai puncak kejayaannya. Beras adalah salah satu produk unggulan perdagangan internasional imperium Majapahit.
Jejak kejayaan pertanian padi (yang pada abad ke-9, Jawa sudah mengenal sistem moneter), dapat ditelusuri pada sistem pemberian hak tanah perdikan. Anugerah itu berupa sima (lihat Lombard, 2008, Jilid 3: 28-35), yaitu sebuah wilayah desa (karaman) yang dipimpin seorang rama (lihat Supratikno Rahardjo, 2011: 96,97,100-101).
Salah satu tugas para rama dan penduduk desanya adalah merawat pasraman-mandala Siwa atau Buddha. Suatu kompleks sekolah-asrama, yang dihuni para wiku atau rsi, beserta muridnya. Dapat pula berupa sebuah candi pemujaan (penyimpanan sisa abu jasmani raja-keluarga).
Agaknya, sistem keteladanan para rama ini, diadopsi sebagai kata sapaan pemimpin agama hari ini. Di Katolik terdapat istilah romo dan pandita Buddha disebut sebagai rama pandita bagi pria, dan ramani bagi wanita, meski sampai kini, saya belum menemukan rujukan teks tentang kata ramani.
Rama, menentang kebijakan pemerintah kolonial
Hingga era kolonial, jejak tradisi pertanian yang mewarisi sistem sima masih dapat ditemui. Diyakini, salah satunya adalah masyarakat Sikep yang menghuni di daerah karst pegunungan Kendeng Utara, Jawa Tengah. Mengenai hal ini, Lombard (2008, Jilid 3: 48) berpendapat, “Golongan itu (Sikep) tidak diketahui asalnya, yang jelas adalah bahwa pada akhir abad ke-18 mereka merupakan orang-orang terkemuka di desa-desa.
Tidak diketahui apakah mereka keturunan langsung para rama yang disebut di prasasti kuno, tetapi mereka sering mengaku sebagai pewaris dari pendiri desa – cikal bakal”.
Ibu-ibu Kendeng, memohon dukungan Rektor Unnes
Masyarakat Sikep yang juga dikenal dengan sebutan suku Samin (lebih suka disebut Sikep, yang berarti jujur), selalu tampil di depan, saat terjadi kesewenang-wenangan pemerintah (khususnya di era kolonial).
Misalnya atas penarikan pajak yang besar, seperti terjadi pada tahun 1802, warga Sikep membangkang dari pembayaran pajak dan merangkul pengikut Pangeran Diponegoro.
Pada awal abad ke-20, mereka membangkang dari kebijaksanaan Dinas Kehutanan Belanda atas hutan jati di Blora. Sebaran warga Sikep selain terkonsentrasi di wilayah Blora, juga terdapat di Kudus, Pati, Jepara, Grobogan, Cepu, dan sekitarnya (lihat peta sebaran masyarakat Sikep dalam Lombard 2008, Jilid 3: 160).
Dalam keseharian, mereka menjaga jarak dari agama formal, namun meyakini nilai-nilai kegeniusan lokal sendiri. Terutama sikap dalam mempertahankan tanah pertanian yang dianggap sebagai “Ibu Bumi” (lihat Lombard 2008, Jilid 3: 159).
Konsisten merawat Ibu Bumi
Di era modern-milenial, kegigihan masyarakat Sikep dalam mempertahankan wilayah Ibu Bumi, masih belum luntur. Hal ini dapat dijumpai dalam aksi penolakan pabrik semen di wilayah Pati (juga solidaritasnya pada saudara mereka, petani di Rembang).
Mereka bergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) untuk mempertahankan kelestarian Ibu Bumi-nya.
Pada awalnya, perjuangan yang dipimpin Gunretno dan Gunarti, mengatasnamakan masyarakat Sikep (Samin). Namun Budi Santoso, salah satu tokoh Sikep lainnya, menghendaki agar tidak membawa-bawa nama Sikep (Samin) dalam aksi-aksi pelestarian lahan pertanian. Kemudian pergerakan tersebut menggunakan nama JM-PPK.
Aksi mereka mendapat pendampingan dari berbagai elemen masyarakat, baik lembaga bantuan hukum, media-pers, akademisi maupun tokoh lintas agama.
Dukungan dari Rektor Unika Soegijapranata, untuk masyarakat pelestari Ibu Bumi
Hingga kini, mereka masih terus melakukan aksi untuk mempertahankan wilayah Ibu Bumi di kompleks kantor gubernur Jawa Tengah, sejak hari Rabu, 6 Desember 2017.
Selain itu, dukungan mengalir dari sejumlah akademisi seperti Rektor Unika Soegijapranata, Rektor Universitas Negeri Semarang dan Rektor Universitas Diponegoro Semarang.
Deretan tokoh agama yang mendukung aksi mereka adalah Kyai Budi Harjono, Gus Ubaidillah Achmad, komunitas Gusdurian, PMII, dan lain-lain, dari agama Islam. Dari Katolik, tampil Rama Aloysius Budi Purnomo.
Lalu dari perwakilan Kristiani, tampak Pendeta Aryanto Nugroho dan Pendeta Surya Samudra Giamsjah. Dan dari umat Buddha, ada seorang perwakilan dari Magabudhi Kota Semarang. Selain hadir mendukung aksi di depan pintu gubernuran, dukungan logistik berupa makanan dan pakaian, disalurkan spontan oleh masyarakat yang peduli.
Tahun 1958, sesepuh Sikep mengaku memeluk Buddha
Masyarakat Sikep (Samin) terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu njero (dalam), njobo (luar) dan amping-amping (hanya mengaku Sikep saja). Meski menjaga jarak dengan agama kemudian, Lombard (2008: 161) menulis, “… menekankan pentingnya … yang diilhami oleh Siwa kuno, atau lebih-lebih merupakan penganut kultus Bima yang sudah terbukti keberadaannya pada abad ke-15”.
Sementara itu, kedekatan masyarakat Sikep dengan Buddhis, dapat kita telusuri dari dokumentasi Majalah “Buddhis” (1958, Nomor 3-4: 55) yang mewartakan, “Dalam perantauan penjiaran Dhamma ke daerah Pati (Rembang, Lasem, Djuana, dan Blora) rombongan Ven. Narada dan Sang Pengasuh pada setibanya di tempat-tempat itu selalu memberi penerangan-penerangan dan menasbihkan Upasaka/Upasika baru sesuai dengan hasrat mereka jang bakti akan kesujataan itu.
“Misalnya di Lasem telah dilantik 7 orang Upasaka, dan di Rembang seorang Upasaka. Jang paling mengesankan selama kundjungan kita di daerah Pati itu adalah waktu rombongan kita itu menindjau daerah apa jang dikatakan penduduk “Samin” di dekat Blora.
“Suku Samin itu mengaku beragama Buddha, jakni sedjak nenek-mojang mereka. Mereka pun sangat terkenal akan kelakuannja jang sangat djudjur itu. Rombongan kita telah disambut dengan suasana persaudaraan jang sangat ramah.
“Kedua thera kita itu memberikan doa restu kepada keluarga kepala Samin tadi, dan dengan chidmat mereka mengikuti upatjara-upatjara jang kita lakukan itu dengan saksama. Tanpa kerilahan hati dan kedjudjuran budi, djanganlah berharap akan dapat mendekati mereka, si Samin itu.”
Selain sumber dokumentasi di atas, dapat kita jumpai pula, baik di dalam ceramah maupun di dalam karya tulis yang dipublikasikan, Bhikkhu Dhammasubho sering menyampaikan kisah kedekatan warga Sikep dengan Buddhadhamma di masa lalu. Juga komunitas adat yang masih melestarikan penghormatan Ibu Bumi di daerah lain di tanah air.
Harapan kelestarian budi daya pertanian
Polemik pro-kontra pendirian pabrik semen di kawasan karst Kendeng Utara memang menarik. Di satu sisi, industri semen diperlukan dengan dalih memenuhi kebutuhan ekonomi (baik ekspor atau dalam negeri).
Selain itu, berdirinya pabrik semen, dianggap dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, terutama menyerap banyak tenaga kerja. Di sisi lain, ada masyarakat yang secara turun-temurun menggantungkan diri dari pertanian, ingin tetap mempertahankan wilayah karst.
Hal ini merupakan dua kutub cara pandang yang memerlukan titik temu. Apakah lahan karst Kendeng diizinkan untuk ditambang (semen), atau tetap dipertahankan sebagai lahan pertanian.
Mengenai polemik lahan pertanian yang sedang diperjuangkan masyarakat Sikep, Budi Widianarko, dalam Pertanian Adalah Hidup (SM 15 Desember 2017:4), menulis, “…Pertanian bukanlah sekedar sektor dalam pembangunan.
Pertanian adalah bagian dari budaya, buah perkembangan peradaban manusia. Itu sebabnya kata pertanian sering dipadu dengan budi daya menjadi budi daya pertanian yang jauh lebih kaya makna dari sekedar bertani atau bercocok tanam”.
Menggarisbawahi pendapat Rektor Unika Sugijapranata periode lalu di atas, sebagai warga Buddha yang pernah maju peradabannya dari budi daya padi, kita dapat bersikap dengan berdiri di tengah.
Artinya, entah polemik pabrik semen di pegunungan Kendeng Utara itu bermuara pada persoalan politik, atau memang sebuah perjuangan murni akan kelestarian ekologis, adalah tantangan keberpihakan dan kepedulian masyarakat Buddhis pada budi daya pertanian.
Isu ekologis seperti diperjuangkan masyarakat Sikep, adalah tantangan bagi para abdi Dhamma (gharavasa), khususnya di Jawa Tengah. Pertimbangannya, sebagian besar pemeluk Buddhadhamma, tinggal di pelosok daerah. Sudah tentu, sebagian dari mereka mengandalkan hidupnya dari komoditas pertanian.
Seperti di Temanggung, Kabupaten Semarang, Salatiga, Jepara, Kudus, Pati, Grobogan, dan Blora, serta di berbagai daerah lainnya. Hal ini dapat ditelusuri dari berbagai sumber catatan sejarah, bahwa ketika Buddhadhamma sempat surut, kearifan nilai-nilai budaya Buddhis, tersimpan lestari di puncak-puncak gunung dan pelosok desa, yang mengandalkan hidup dari budi daya pertanian. Satu di antara komunitas masyarakat tersebut, diduga adalah Sedulur Sikep (Samin).
Membabarkan Dhamma dengan cara berpikir pelestarian Ibu Bumi
Membabarkan Buddhadhamma melalui budi daya pertanian, termasuk peningkatan perekonomian dan memajukan pendidikan masyarakat petani, adalah keniscayaan. Tegasnya, cara pembabaran Buddhadhamma kepada masyarakat pendesaan, hendaknya dilakukan dengan cara pandang lokal.
Namun tetap menjangkau tantangan ekonomi global. Artinya, terbentang kesempatan besar bagi organisasi Buddhis (gharavasa) yang ada, untuk membabarkan Buddhadhamma secara kontekstual, sesuai kondisi masyarakat petani di desa.
Sudah waktunya pembabaran Buddhadhamma dilandasi studi sosiologi antropologi, sesuai cara berpikir masyarakat desa yang menggantungkan hidup dari pertanian. Cara pembinaan model top down atau dari kota ke desa, barangkali perlu dikaji dan diprogram ulang.
Selama ini, organisasi gharavasa yang pusatnya ada di kota (misalnya Jakarta), seringkali membombardir program ala masyarakat industri (atau ala instruksi pegawai negeri) ke masyarakat desa, yang mempunyai cara pandang agraris.
Semoga di tahun-tahun mendatang, muncul keberpihakan organisasi Buddhis dari perkotaan, untuk menyentuh saudaranya di perdesaan, dengan cara berpikir masyarakat Buddhis yang melestarikan Ibu Bumi atau budi daya pertanian (bottom up).
Seperti syair indah yang dikumandangkan masyarakat Sikep untuk mempertahankan Ibu Bumi – lahan pertanian: Ibu Bumi sudah menyediakan, Ibu Bumi sudah melengkapi, Ibu Bumi sudah mencukupi, (hendaknya) Ibu Bumi jangan disakiti.
Dhammateja Wahyudi Agus R
Pernah menjadi Ketua DPC Patria Kota Semarang dan Wakil Ketua DPD Patria Jawa Tengah.
Memperoleh Penghargaan sebagai upacarika padana dari PP Magabudhi pada tahun 2014. Dapat dijumpai di facebook: Gusti Ayu Lasem
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara