Jarak antara Tiongkok dan Nusantara yang jauh di masa lalu, ternyata telah berhasil ditaklukkan oleh para leluhur.
Perkembangan ilmu perbintangan dan perkapalan adalah dua hal penting yang memungkin interaksi itu terjadi.
Berdasarkan catatan dan bukti arkeologi, para ahli memperkirakan pelayaran orang Tionghoa telah mencapai wilayah Nusantara menjelang abad pertama masehi.
Salah satu yang menarik untuk diamati adalah apakah agama yang dibawa orang dari wilayah Tiongkok? Narasi dan klaim tanpa bukti sejarah yang valid tentang hal ini sangat umum kita temukan di Indonesia.
Dengan sembrono beberapa penulis menarasikan dan membuat klaim bahwa agama tertentu adalah agama yang dibawa para leluhur Tionghoa.
Jika merujuk pada temuan arkeologis yang ada dan catatan dari Tiongkok, sebenarnya sudah dapat disimpulkan apa agama para leluhur Tionghoa Nusantara. Namun sebuah prasasti di klenteng tertua di Malaka tampaknya salah satu yang paling jelas menyebutkannya.
Tinggalan
Prasasti tersebut terdapat di Guanyin Ting atau Kwan Im Teng, Paviliun Bodhisatva Avalokitesvara, yang dibangun para pedagang perantau Hokkien di Malaka 1645.
Pada masa sezaman, di Batavia telah berdiiri Kwan Im Teng tepatnya pada 1650. Sebelum masa tersebut sebenarnya pernah berdiri namun dibongkar karena keberatan Dewan Gereja Batavia.
Pendirian Kwan Im Teng di Batavia, dan wilayah-wilayah tujuan para pedagang yakni daerah dengan pelabuhan besar seperti Banten, Semarang, Cirebon menjadi dasar bagi para peneliti seperti Salmond dan Lombard untuk menyimpulkan bahwa Kwan Im Teng adalah istilah yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia menjadi klenteng.
Sementara Kwan Im Teng yang berdiri di Malaka, demikian juga yang ada di Singapura dan Thailand yang berdiri pada rentang masa awal tersaebut juga memperkuat bukti bahwa Kwan Im adalah dewata utama dan dipuja paling awal oleh leluhur Tionghoa di tanah perantauan.
Kwan Im Teng di Malaka kemudian berganti nama menjadi Qingyun Ting atau Cheng Hoon Teng yang artinya Paviliun Awan Biru. Prasasti yang terdapat disana menjelaskan latar belakang pendirian klenteng, berikut terjemahan bebasnya;
Mengapa Paviliun Awan Biru ini dibangun? Kami para pedagang dengan membawa barang-barang dagangan, tidak gentar mengarungi sungai dan menyeberangi lautan demi melakukan perjalanan ke negeri ini.
(Kami) berusaha keras meneladan Tao, Zhu, dan Yi (Tiga orang saudagar kaya dan terkenal di Tiongkok kuno). Hal ini menunjukkan ambisi kami yang tinggi.
Tanda
Kami mengandalkan tanda-tanda baik, kapan sungai dan laut tenang dan damai. Alasan mengapa ramalan menunjukkan bahwa hal (pertanda baik) ini akan meningkatkan keberuntungan seseorang untuk menyeberangi air besar adalah karena dewata Buddha, telah memberkahi kami. Inilah alasan mengapa klenteng ini dibangun.
Pembangunannya adalah untuk membuktikan kemanjuran Buddha: nama yang digunakan untuk membangkitkan kebulatan tekad manusia.
Mengumpulkan kekayaan melalui perdagangan telah lama dilakukan sejak jaman kuno. Mereka yang memperoleh kekayaan adalah mereka yang memiliki ambisi tinggi. Aspirasi tinggi mereka ibarat Awan Biru yang meretas jalannya (ke langit).
Menghasilkan keuntungan semata tidak cukup untuk membuat nama (baik). Oleh karena itu. Kami menempatkan sebuah plakat di klenteng yang bertuliskan “Paviliun Awan Biru.”
Jika anda tertarik membaca versi asli prasast tersebut, dapat ditemukan dalam karya Wolfgang Franke dan Chen Tieh-fan. (1982) yang berjudul Chinese Epigraphic Materials in Malaysia.
Sedangkan terkait istilah Kwan Im Teng yang diserap menjadi klenteng dapat dibaca pada Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta dan Sekitarnya. Karya Claudine Salmond dan Dennys Lombard (2003).
*Peneliti Institut Nagarjuna
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara