• Tuesday, 5 December 2017
  • Victor A Liem
  • 0

Segala upaya yang berujung pada kebijaksanaan tertinggi yaitu memahami kebenaran mutlak, itu adalah bagian dari praktik.”

Kisah Sudhana dalam Gandavyuha disusun dalam bahasa Sanskerta sekitar abad ke-4, tersebar luas dan telah diterjemahkan dalam bahasa Mandarin oleh Biksu Bodhibhadra pada abad ke-5.

Gandavyuha juga menyebar ke Nusantara dan salah satu buktinya adalah adanya narasi Gandavyuha yang terpahat dengan begitu indahnya dalam bentuk panel relief di Mandala Agung Borobudur.

Mengapa Dewa Shiva?

Dari lima puluh tiga guru yang dijumpai oleh Sudhana, Dewa Shiva, atau yang juga sering disebut sebagai Mahadeva adalah urutan ke-29.

Apa makna dari keberadaan Dewa Shiva dalam Gandavyuha? Atau mungkin lebih mendasar pertanyaannya menjadi: Apa makna adanya elemen non Buddhis dalam Gandavyuha? Jawaban yang paling masuk akal adalah metode tantra yang memungkinkan banyak aspek digunakan sebagai bagian dari praktik. Berikut adalah beberapa pokok pemikiran yang menjawab pertanyaan di atas.

Kisah Sudhana bertemu Dewa Shiva

Berikut ini adalah terjemahan bebas dari kisah Sudhana betemu Shiva Mahadeva.

Dengan penuh kegembiraan, dengan pikiran yang terbebas dari pembebasan yang tak terbayangkan, Sudhana pergi ke kota Dvaravati dan bertanya di mana menemukan makhluk surgawi Mahadeva.

Orang-orang di kota tersebut mengatakan kepada Sudhana bahwa Mahadeva berada di sebuah kuil di sebuah persimpangan jalan di kota tersebut dalam sebuah tubuh raksasa yang menguraikan ajaran.

Sudhana pergi ke Mahadeva, memberi penghormatan, dan memberitahukan kepadaNya misinya untuk mencapai pencerahan sempurna demi semua makhluk. Dia meminta Mahadeva untuk mengajarinya bagaimana mempelajari dan melaksanakan praktik Bodhisattva.

Mahkluk surgawi Mahadeva mengulurkan empat tangan ke empat arah dan membawa air kembali dari lautan dan membasuh wajahnya. Kemudian Ia menorehkan bunga emas di atas Sudhana dan memuji para bodhisattva sebagai orang yang menunjukkan jalan keselamatan dan kedamaian bagi mereka yang berada dalam delusi.

Mahadeva mengatakan kepada Sudhana bahwa Ia telah mencapai pembebasan yang tercerahkan yang disebut The cloud net (Meghajala). Sudhana bertanya seperti apa rasanya. Pada saat itu, Mahadeva membuat setumpuk emas seukuran gunung muncul di hadapan Suddhana, beserta tumpukan harta dan barang berharga lainnya. Lalu Ia berkata kepada Sudhana;

“Ambillah ini dan berikanlah hadiah, lakukan amal baik, dan berikanlah persembahan kepada Para Buddha. Jagalah makhluk hidup dengan pemberian yang murah hati, ajarkan seluruh dunia dengan memberi, tunjukkan bagaimana rasanya memberikan sesuatu tanpa henti.

“Sama sepertiKu memberikan semua ini kepadamu, Aku membuat kemurahan hati mutlak semacam ini menjadi kebiasaan di antara makhluk hidup yang tak terhitung jumlahnya. Bagi mereka yang mabuk dengan cinta benda material, Aku membuat benda tampak tidak murni.

“Bagi mereka yang penuh dengan kemarahan, yang sombong, angkuh, dan suka menguasai, Aku menunjukkan adegan mengerikan tentang mahkluk jahat yang memakan daging dan darah, untuk menunjukkan kepada mereka bahwa inilah ungkapan arogansi.

“Bagi mereka yang malas dan lalai, Aku menunjukkan berbagai adegan bahaya, untuk membangkitkan semangat dan ketekunan mereka. Dengan berbagai cara yang tepat, Aku mengalihkan orang dari perilaku buruk dan membuat mereka mengembangkan kualitas yang baik.”

Kemudian Mahadeva melanjutkan;

“Aku tahu bahwa pembebasan yang mencerahkan ini disebut, tapi bagaimana Aku bisa mengetahui praktik para Bodhisattva, yang seperti angin yang menghancurkan gunung-gunung keterikatan, seperti petir yang membelah obsesi diri?

“Di Selatan sini, di tempat pencerahan di wilayah Magadha, tinggal seorang Dewi Bumi bernama Sthavara. Tanyakan kepadanya bagaimana belajar dan melaksanakan praktik Bodhisattva.”

Sudhana memberi hormat kepada Mahadeva dan melanjutkan perjalanannya.

Shiva sebagai “Bodhisattva”

Dalam Buddhadharma, aktivitas Bodhisattva tidak dibatasi pada agama Buddha saja. Dalam kisah Jataka, banyak kisah Bodhisattva terlahir dalam banyak khalangan dan tidak selalu beragama Buddha. Keberadaan Dewa Shiva dalam Gandavyuha adalah sosok Dewa yang menolong mahkluk lain dengan caranya tersendiri.

Tidak berbeda dengan bodhisattva yang memiliki motivasi altruistik yang tanpa batas. Namun ada juga peneliti yang menganggap bahwa Gandavyuha justru menunjukkan bahwa adanya sikap Buddhadharma yang merasa lebih superior dibanding gerakan Shaivisme pada zaman itu. Terlepas dari pendapat itu, Shiva dan Buddha memiliki posisi yang unik dalam perkembangannya di Nusantara.


Shiva. Foto Ist

Aspek tantra kiri dalam Shiva

Praktik Vajrayana itu seperti melakukan puja, doa perlindungan, meditasi, dan perbuatan baik dalam keseharian, dianggap sebagai akumulasi kebajikan. Hal ini adalah satu dari dua upaya akumulasi yaitu kebajikan dan kebijaksanaan, yang merupakan hal yang mesti ditempuh dalam jalan pencerahan. Jika diruntut, jalan pencerahan memiliki lima fase, yaitu: akumulasi kebajikan, persiapan, melihat, meditasi, dan fase tidak belajar lagi.

Apabila diperhatikan, dalam kisah Sudhana dan Dewa Shiva disinggung juga pendekatan tantra kiri terutama wujud murka (Bhairawa/Bhairawi) yang dicirikan memakan daging dan darah. Tantra memiliki metode transformasi pikiran yang ujungnya untuk merealisasikan Kebuddhaaan, yang disimbolkan sebagai Adi Buddha.

Banyak teknik meditasi (sadhana) tantra dengan memvisualisasikan diri sebagai Buddha atau sosok tertentu yang bertujuan untuk mengakses kesadaran tertentu untuk menuju pada tahapan praktik berikutnya. Fase terakhir yaitu tidak belajar lagi adalah ketika sudah merealisasikan Adi Buddha. Kembali pada sifat alami pada diri sendiri, yang terbebas dari konsep maupun rintangan apa pun. Ini yang dimaksud dengan fase tidak belajar lagi.


Bodhisattva Samantabhadra. Foto Ist

Penggunaan ikon Shiva sebagai Adi Buddha

Dalam perkembangannya di Nusantara terutama perkembangan agama Buddha dan Shiva di era Jawa Timur, terjadi perubahan bentuk spiritualitas yang antara Buddha dan Shiva cenderung menyatu. Banyak analisa yang mengatakan bahwa hal ini disebabkan pada faktor politik, sehingga pengaburan antara Buddha dan Shiva adalah disengaja dan hal ini dibuktikan dengan candi pendharmaaan raja yang bisa diterima baik oleh pengikut Buddha maupun Shiva.

Namun apabila kita mencermati dengan baik, bentuk spiritualitas seperti itu bukanlah sesuatu yang bermasalah. Kembali pada pengertian upaya kaulsalya dan adanya kenyataan bahwa dari sekte Vajrayana sendiri juga memiliki beberapa ikon Adi Buddha, seperti Nyingma memakai Samatabhandra sebagai Adi Buddha, dan Kagyu serta Gelukpa memakai Vajradhara.

Pada zaman Majapahit, pujangga terkenal bernama Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma. Pada  pupuh 139, bait 5 disebutkan:

“Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana Dharma mangrwa.”

Terjemahannya:

“Konon Buddha dan Shiva merupakan dua konsep suci yang berbeda.
Keduanya memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Shiva adalah tunggal
Berbeda-beda tetapi satu jugalah itu. Tidak ada hal mendua dalam kebenaran.”

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kebenaran relatif  digunakan untuk memahami kebenaran sejati. Sosok Buddha dan Shiva dalam hal ini adalah simbol dari kebenaran sejati, namun bukan kebenaran sejati itu sendiri.  Karena itu memang harus dikenali secara langsung melalui pengalaman sehingga tidak perlu lagi berhenti pada tataran simbol.

Ketika kebenaran sejati itu dikenali, maka penamaan yang hanya membuat perbedaan menjadi tidak penting lagi. Pengertian seperti ini masih bisa kita kenali pada sebagian orang Jawa yang memahami bahwa agama itu hanya busana (dalam bahasa Jawa, kata “ageman” berarti busana).

Penggunaan simbol Adi Buddha adalah mengenai betapa sulitnya memahami kebijaksanaan tertinggi, karena itulah maka membutuhkan simbol, atau perwujudan tertentu agar memudahkan pejalan spiritual dalam memahaminya. Ujung dari praktik Vajrayana adalah merealisasikan Kebudhaan atau pencerahan.

Sejatinya, Kebudhaan adalah keadaan di luar semua rintangan. Nirvana bukanlah surga atau tempat kebahagiaan khusus, namun sebenarnya kondisi di luar semua konsep dualistik, termasuk konsep kebahagiaan dan penderitaan.

Ketika semua hambatan telah diatasi, dan kita mendapati diri kita berada dalam keadaan total, kebijaksanaan pencerahan bermanifestasi secara spontan tanpa batas, seperti sinar matahari yang tak terbatas.

Awan telah membubarkan diri, dan matahari akhirnya bebas bersinar sekali lagi. Penggunaan ikon Adi Buddha hanya terbatas sebagai sarana dan tidak lebih dari itu.

Victor Alexander Liem 

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *