• Monday, 23 November 2015
  • Andre Sam
  • 0

Ketika Bhante Ashin Jinarakkhita ditanya oleh Dalai Lama, “Anda umat Buddha aliran apa?” kemudian jawab beliau cukup pendek, “Saya hanyalah pelayan Buddha.”

Di Nusantara berabad silam agama Buddha pernah bersinar terang, kemudian karena perkembangan zaman, agama tersebut seolah lenyap dari muka bumi Nusantara. Kenapa kok kami menyebutnya Nusantara? Ya terang saja karena nasion Indonesia belum lahir.

Rupanya, bibit agama Buddha kembali tumbuh dan beliau (Bhante Ashin Jinarakkhita) menjadi biksu pertama di bumi Nusantara pada dekade 70-an. Dan bibit tersebut berkembang hingga kini.

Sebagaimana bibit yang berkualitas, selain tumbuh dan berkembang, ia membentuk cabang-cabang dahan yang kuat. Karena saking kuatnya, dari berbagai dahan yang kuat tersebut, mengklaim bahwa dahannya yang paling benar, ah masa iya begitu? Sesama dahan yang saling gontok-gontokan.

Itu menyebabkan, tidak adanya sinergitas dalam menyebarkan agama Buddha. Dahan yang satu mengaku, ini yang terbaik, sementara dahan yang lain menyudutkan dahan yang berbeda. Padahal dari bibit yang sama? Ajaran Buddha?

Musik dan Budaya
Seni adalah bagian dari budaya? Atau budaya itu bagian dari seni? Musik sebagai cabang kesenian adalah bagian dari budaya? Ataukah budaya itu bagian dari musik? Manakah yang lebih besar? Jika kita melihat budaya cakupannya lebih besar, berarti kesenian adalah bagian dari budaya. Musik adalah sebagian dari budaya.

Berarti ada aspek budaya selain dari musik? Jika jawabannya iya, mari kita lanjutkan pembicaraannya. Sekarang kita fokus dahulu ke ranah musik. Apakah Anda sebagai umat Buddha, suka mendengarkan musik-musik Buddhis? Jawaban tentu ada beberapa, suka, tidak suka, dan entahlah.

Kemudian kita akan melanjutkannya, sebenarnya apa sih musik Buddhis itu? Musik yang di dalamnya nama Buddha diagungkan? Musik yang liriknya mengambil dari Sutta atau Sutra? Musik yang membawakannya adalah umat Buddha? Atau yang kami sebutkan di atas adalah penjabaran dari musik Buddhis? Ada nama Buddha, liriknya dari Sutta atau Sutra, penyanyi, pengarang, pemainnya umat Buddha. Itukah yang dinamakan musik Buddhis?

Siapa yang mendengarkan musik Buddhis? Umat Buddha? Atau umat lain? Hingga sekarang, telah banyak “musik Buddhis” lantas, siapakah yang mengapresiasi “musik Buddhis” tersebut? Umat Buddha? Atau umat lain? Atau tidak ada sama sekali?

Secara universal, musik Buddhis adalah musik yang membawa kita ke ruang-ruang keheningan, kejernihan, dan kedamaian, bisa saja musik tersebut tidak ada nama Buddha di dalamnya, tidak ada kata-kata dari Sutta atau Sutra, tidak ada penyanyi, pengarang, pemain beragama Buddha. Ia menghadirkan, menciptakan, dan mengutuhkan hidup untuk semakin sadar-penuh.

Musik dalam ranah spiritualitas tentu tidak termasuk tujuan, apalagi tujuan dari pembebasan. Ia adalah komponen penghantar spiritualitas. Di dalam musik ada yang namanya intonasi, Jika Anda dari Jawa, intonasi suara Anda adalah intonasi suara Jawa, dialeknya Jawa. Jawa mana? Tegal, Solo, Jogja, Surabaya, Pekalongan beda-beda. Jadi, Anda ngomong dengan dialek Anda, Anda sudah bermusik.

Menghargai Seni dan Budaya
Pernah Anda mendengar atau melihat sendiri tentang sendratari Borobudur yang dihelat dengan megah, artistik, dan kedalaman makna. Jika Anda pernah mendengar atau melihat sendratari tersebut, bagaimana tingkah umat Buddha sendiri? Apakah mereka menghargai sendratari tersebut atau malah turis asing, umat lain yang lebih menghargainya?

Usai menghadiri perayaan Waisak bersama-sama di Borobudur misalkan, apa yang dilakukan oleh umat Buddha? Khususnya yang dari luar kota Jogja, apakah mereka berbelanja ke Malioboro ataukah langsung pulang?

Ketika ranah spiritual dicampur dengan belanja bermacam-macam oleh-oleh, maka ranah spiritual tersebut akan tergerus kualitas nilainya. Mengikuti perayaan Waisak, sekalian belanja kan ya ndak apa-apa to? Jika demikian adanya, berarti kualitas penghayatan acara Waisak yah hanya berhenti di situ.

Kita bisa bayangkan, ada beberapa umat Buddha di Jawa, khususnya yang sudah sepuh-sepuh, mereka itu jauh-jauh hari sebelum ikut menghadiri perayaan Waisak, mereka mempersiapkan batin, mengolah jiwanya dengan mengurangi makan, dengan puasa, dengan hening di malam-malam hari. Agar ketika di detik-detik Waisak, hati dan jiwanya siap merasakan Dharma yang lembut di awal, lembut di tengah, dan lembut di akhir.

Sutra Mandarin untuk Orang Jawa
Di daerah Jawa, ada sebuah komunitas Buddhis dimana 100% orang Jawa, namun sutra yang dibaca adalah Sutra Mandarin. Apakah itu cocok secara lidahnya orang Jawa? Sekarang kita cek dulu proses adanya Sutra Mandarin, ia ada karena salah satunya diterjemahkan oleh Biksu Xuanzang yang berasal dari bahasa Sansekerta.

Jadi kenapa kok Sutra itu tidak di-Jawa-kan saja? Itu hanya contoh kecil saja. Bisa terjadi di Lombok, di Papua, dan di daerah-daerah lain. Maksudnya adalah, orang Jawa memiliki ranah budaya, ranah akarnya, dan ranah akar bahasa budaya Jawa adalah Sansekerta, sama seperti orang Bali. Itu hanya contoh kecil saja.

Sekarang kita akan lanjutkan ke dimensi penggunaan instrumen tradisi daerah setempat. Apakah umat Buddha di daerah mana pun, menggunakan instrumen tradisi setempat di setiap acara kebaktian? Atau lebih memilih cara yang paling gampang saja: organ/keyboard?

Kenapa ruang-ruang kebaktian menjadi penting dengan instrumen tradisi setempat? Tak lain dan tak bukan karena mereka dibesarkan dengan intrumen tradisi, dan hal ini sekaligus menjaga agar instumen tradisi tersebut tidak ditinggalkan oleh generasi muda. Dan tentunya kebanggaan pada akar tradisi masing-masing daerah.

Arsitektur Bangunan
Tata bangunan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat setempat, nah hal ini juga tidak begitu diperhatikan oleh umat Buddha sendiri. Bagaimana sih aturan membuat wihara? Apakah seperti rumah-rumah penduduk kebanyakan? Atau yang penting desainnya bagus saja? Apakah berpijak pada rasa lokalitas masyarakat setempat?

Lokalitas masyarakat setempat yang bagaimana? Misalkan membuat wihara di daerah Padang, akan lebih indah jika arsitekturnya disesuaikan seperti rumah Padang. Joglo di Jawa, dan lain sebagainya.

Busana Khas Daerah
Di mana pun daerahnya, kebanggaan mengenakan busana khas daerah mulai luntur, dan jika tidak dilestarikan pelan-pelan akan ditinggalkan dengan asumsi kuno, tidak keren, dan ketinggalan zaman.

Khusus ketika kebaktian di daerah, alangkah baiknya mengenakan busana daerah. Tentunya perlu dibicarakan agar ketika mengenakan busana daerah umat tidak merasa terbebani dan merasa ribet. Karena jika bukan kita yang melestarikan budaya daerah, lantas siapa lagi yang akan melestarikan?

Bukan musik, bukan bahasa, bukan arsitektur, bukan busana yang membawa ke pencerahan. Melainkan pikiran, ucapan, dan sikaplah yang menentukan. Namun perlu digarisbawahi, ada pepatah yang mengatakan, “Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.”

Semoga umat Buddha semakin bertumbuh.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *