“Pendidikan adalah senjata yang sangat berkekuatan yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia.” ~ Nelson Mandela
Mengupayakan perdamaian adalah hal yang mendesak di tengah kondisi bangsa yang mudah tersulut kekerasan, walau mungkin terasa terlambat. Namun terlepas dari itu, upaya seperti itu mesti kita perjuangkan bersama. Paling tidak tulisan ini menjadi bahan refleksi.
Tiga model
Studi tentang agama dan upaya membangun perdamaian pernah dilakukan oleh Nathan C. Funk dan Christina J. Mereka mengkategorikan dalam tiga model.
Pertama, perdamaian melalui satu agama. Dunia akan damai jika semuanya memiliki agama yang sama. Tidak dibutuhkan toleransi pada agama lain oleh karena semua orang beragama sama dan sudah menjadi ideologi. Kritik dari pandangan ini bahwa kesamaan agama tidak berarti sifat intoleran itu tidak ada. Intoleransi sering tidak terlihat ketika mata kita ditipu oleh hal-hal yang nampak seragam.
Kedua adalah respon dari yang pertama, yaitu perdamaian tanpa agama. Agama dianggap sebagai penyebab dari konflik. Pandangan ini juga mendasari Karl Marx yang menyebutkan bahwa agama adalah candu.
Ketiga, perdamaian melalui agama. Pendekatan ini menekankan kerja sama dalam menjalin kebersamaan dan dialog lintas agama. Pengenalan akan prinsip dasar beragama menjadi bagian yang penting. Ada juga yang menyebutkan bahwa ketika agama mulai membicarakan prinsip dasarnya, maka itulah spiritualitas.
Sejarah Indonesia telah memberikan pelajaran berharga tentang pengalaman semua ini. Pada zaman Orde Baru, keadaan nampak stabil dan semuanya seakan-akan tidak ada masalah. Zaman berganti, Orde Reformasi semuanya yang tersembunyi muncul ke permukaan. Fenomena perilaku kekerasan di negeri ini adalah permasalahan yang sudah ada sebelumnya.
Dalam psikologi, suatu akar konflik tidak bisa disembunyikan. Semakin ditekan (baca: direpresi), maka semakin kuat daya ledaknya dan menciptakan konflik baru. Perilaku kekerasan yang kita lihat saat ini adalah akibat dari represi kolektif seperti ini.
“Perdamaian tidak dapat dicapai dengan kekuatan tapi dengan pengertian.”~ Albert Einstein
Represi hanya bisa diatasi dengan pengertian atau pembelajaran. Sesuatu yang sudah diterima dan dimengerti, maka itu adalah titik balik. Model ketiga, sebagaimana yang disinggung di atas adalah titik balik. Agama berupaya untuk perdamaian, dengan memahami kembali nilai dasar atau nilai Ketuhanannya sebagai jati dirinya.
Lima pertimbangan
Dalam sudut pandang agama Buddha, model ketiga adalah solusi dengan mempertimbangkan setidaknya lima hal berikut ini.
Pertama, kesesuaian dengan ajaran karma. Sudah jelas bahwa tidak mungkin semua orang terlahir memiliki kondisi yang sama termasuk memiliki agama yang sama. Seandainya memiliki agama yang sama, tingkat pemahaman spiritual setiap individu tidaklah sama.
Kedua, kesesuaian dengan pengembangan kebijaksanaan (prajna). Dalam suatu wawancara, HH. Dalai Lama XIV pernah menjelaskan bahwa melalui kekerasan bisa saja mengatur perbuatan orang lain, namun tidak dengan pikirannya. Pikiran adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksa. Pemahaman mesti muncul melalui pintu kebijaksanaannya sendiri. Selama belum ada pemahaman maka potensi konflik masihlah ada.
Ketiga, kesesuaian dengan ajaran anti kekerasan (ahimsa). Buddha pernah menyebutkan, “kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci.”
Anti kekerasan adalah etika buddhis sebelum mengembangkannya dalam praktik meditasi. Jika seseorang tidak bisa mengatasi kebenciannya, setidaknya dia tidak menyakiti orang lain.
Keempat, kesesuaian dengan ajaran benih Kebuddhaan. Benih Kebuddhaan adalah potensi tertinggi manusia dalam mengatasi penderitaan (dukkha) atau yang disebut sebagai pencerahan. Salah satu sifat dari potensi itu adalah welas asih (karuna) yang menjadi dasar dari rasa kemanusiaan. Hal ini ditekankan dalam motivasi altuistik atau yang dikenal sebagai bodhicitta.
Kelima, kesesuaian dengan ajaran ketidakmelekatan. Kemelekatan bukan terbatas pada objek indra, gagasan, pemikiran, opini, ideologi, tapi juga tentang identitas beragama. Spiritualitas itu universal dan tidak bisa dibatasi dalam satu identitas agama saja.
Dalam pandangan buddhis, seorang bodhisattva bisa terlahir di mana pun dan di agama apa pun juga. Bodhisattva adalah mahkluk agung yang mempraktikkan sifat mulia di tengah kemajemukan kondisi sosial masyarakat demi kebahagiaan semua makhluk.
Setiap orang menghadapi permasalahan yang sama yaitu ketidaktahuan, ketidakpedulian, intoleran, dan lain sebagainya. Seperti yang dinyanyikan John Lennon. “Imagine all the people living life in peace. You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one. I hope someday you’ll join us, and the world will be as one.”
Pada akhirnya, upaya perdamaian dunia mesti disambut juga dengan upaya kedamaian dalam diri. Agama hanya mewadahi hal itu.
Victor Alexander Liem
Tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Penekun kearifan Jawa.
Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara