Penulis: Chrystophorus Fideluno Adhipandito
Foto : Ngasiran
Sekitar 3 tahun lalu, YouTuber Guru Gembul mengunggah sebuah video di kanalnya yang pada saat itu menjadi bahan omongan di kalangan Buddhis. Sama seperti video-video lainnya yang diunggah oleh Guru Gembul, video tersebut memiliki judul yang “sentil” untuk memancing orang agar menontonnya, yakni “Episode 105 – Agama Buddha akan Punah di Indonesia?”.
Sebagai umat Buddha, tentu berbagai perasaan muncul ketika saya menonton video tersebut dan mendengarkan berbagai argumen yang dipaparkan oleh Guru Gembul. Kita harus menerima fakta bahwa dari segi presentase, jumlah umat Buddha dibandingkan dengan jumlah total penduduk Indonesia semakin lama memang semakin menurun. Tapi apakah hal ini dikarenakan jumlah penganut Agama Buddha semakin lama semakin berkurang? Belum tentu.
Pertama-tama, upaya Guru Gembul sebagai orang Non-Buddhis yang melakukan riset mengenai ajaran Buddha dan situasi Buddha Dharma di Indonesia patut diapresiasi. Akan tetapi, penafsiran data dilakukannya melalui kacamata Non-Buddhis, sehingga kesimpulan yang ia sajikan kepada penontonnya tidak sepenuhnya benar. Sebagai contoh, ia mengklaim bahwa Agama Buddha tidak ada ritual “penanda” yang menunjukkan bahwa seorang umat resmi masuk Agama Buddha. Ia membandingkannya dengan Agama Kristen yang memiliki ritual pembaptisan untuk “masuk” menjadi umat Kristen, dan dengan Agama Islam yang mensyaratkan pengucapan Syahadat untuk menjadi Muslim. Hal tersebut, menurut Guru Gembul, adalah salah satu sebab menyusutnya jumlah umat Buddha, karena mereka tidak memiliki identitas yang kuat sehingga berpindah ke agama lain.
Menurut saya, hal tersebut adalah cara pandang Agama Samawi yang mendorong umatnya untuk menyebarkan agamanya ke segala penjuru dunia agar memperoleh umat sebanyak-banyaknya. Padahal, Agama Buddha adalah Agama Non-Samawi yang memilki cara pandang yang berbeda. Buddhisme tidak tertarik dengan kuantitas umatnya, namun dengan kualitasnya. Kita bisa melihat ini di Majjhima Nikaya 56: Upali Sutta, yang bercerita tentang seorang penganut Agama Jaina (Jainisme) bernama Upali. Ia bertemu dengan Sang Buddha untuk membahas mengenai ajaran masing-masing Agama, namun setelah berbincang dengan Buddha, Upali memutuksan untuk berlindung pada Buddha, Dharma dan Sangha (Triratna). Buddha menolaknya sebanyak tiga kali, namun sebanyak tiga kali pun Upali menyatakan bahwa ia berlindung pada Triratna. Akhirnya, Upali diterima sebagai umat Buddhis, namun Sang Buddha pun mengingatkan Upali agar tetap hormat pada guru agamanya yang lama.
Kisah Upali menunjukkan bahwa sudut pandang Buddhisme mengenai penyebaran ajarannya dan jumlah umat sangat berbeda dengan konsep pada Agama Samawi. Hal tersebut juga bisa menjelaskan mengapa persentase jumlah umat Buddha terhadap jumlah penduduk Indonesia condong menurun. Umat Agama Samawi memiliki ajaran “beranak cuculah sebanyak-banyaknya”, sedangkan tidak ada ajaran serupa di Agama Buddha. Hal ini juga dikonfirmasikan oleh data yang diperoleh dari Pew Research pada tahun 2015 yang menganalisa pertumbuhan populasi dunia berdasarkan agama yang dianut (https://www.pewresearch.org/religion/2015/04/02/buddhists/). Rata-rata wanita Umat Buddha memiliki tingkat kesuburan (fertility rate) sebanyak 1,6; yang berarti bahwa untuk setiap 100 wanita Buddhis, mereka akan melahirkan sebanyak 160 bayi. Ilmu statistik menunjukkan bahwa agar sebuah populasi bisa mempertahankan jumlahnya, tingkat kesuburan wanita pada populasi tersebut harus mencapai setidaknya 2,1.
Sekali lagi, perlu ditekankan bahwa Agama Buddha tidak pernah mengajarkan untuk mencari umat sebanyak-banyaknya. Kita justru harus mencontohi Upali yang berlindung kepada Triratna atas kemauannya sendiri. Mungkin Guru Gembul tidak mengetahui hal ini, namun dari pengalaman saya, banyak juga umat-umat dari agama lain yang memutuskan untuk berlindung pada Triratna setelah mempelajari dan mendalami ajaran Buddha. Dan, sama seperti Upali, mereka tetap menghormati guru dan ajaran agama mereka yang lama, sehingga bisa saja di KTP masih tertulis agama lamanya, namun secara praktis mereka sudah menjadi Buddhis. Hal tersebut lah yang tidak tercatat di sensus, dan hal tersebut tidak banyak diketahui oleh Non-Buddhis.
Sebagai poin terakhir, saya ingin bercerita singkat tentang sejarah Agama Buddha yang sempat “punah” di Nusantara namun “bangkit kembali” pada abad lalu. Setelah runtuhnya Majapahit, banyak orang yang mengatakan bahwa Agama Buddha punah di Nusantara, sehingga harus “diimpor” ulang oleh pendatang. Hal tersebut merupakan pemikiran naif.
Agama Buddha, dalam bentuk Agama Siwa-Buda, masih dilestarikan oleh suku Bali selama ratusan tahun setelah Majapahit runtuh. Banyak sekali kakawin Jawa Kuno mengenai Buddhisme yang dilestarikan oleh Bali, termasuk Kakawin Sutasoma yang mengandung semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya, walaupun Buddhisme sebagai “Agama” mungkin saja tidak dipraktekkan secara resmi di antara suku Jawa, namun banyak sekali konsep dan filosofi Buddhistik yang membaur dengan pandangan hidup orang Jawa. Kebiasaan para mistik Jawa untuk melakukan semedi adalah salah satu bentuk warisan dari Agama Buddha yang dipraktekkan oleh nenek moyangnya sebagai samadhi. Konsep-konsep lain tentang kasunyatan juga kita bisa tarik benang merahnya dengan “kesunyataan” yang dijelaskan pada sutra Buddhis seperti Sutra Hati (Prajnaparamita Sutra). Ada banyak contoh lain seperti yang terdapat pada suku Tengger dan suku Sasak, namun tidak memungkinkan untuk dibahas satu per satu.
Yang jelas adalah bahwa Nusantara memiliki banyak sekali warisan Buddhistik, baik dari segi material seperti kakawin yang tertulis di daun lontar dan bangunan candi, maupun dari segi non-fisik seperti filosofi dan ajaran Buddhistik yang sudah mendarah daging di tradisi suku-suku Indonesia. Oleh karena itu, ketika orang asing yang beragama Buddhis, baik orang Eropa maupun orang Asia, berkunjung ke Indonesia dan berupaya untuk “membangkitkan kembali” Agama Buddha, mereka tidak mulai dari nol karena Nusantara sudah memiliki warisan Buddhistik yang kaya. Saya rasa Guru Gembul harus membaca thesis doktoral dari Yulianti (2020) yang berjudul The making of Buddhism in modern Indonesia: South and Southeast Asian networks and agencies, 1900-1959 (https://scholarlypublications.universiteitleiden.nl/handle/1887/138130) agar ia dapat memahami bahwa bangkitnya kembali Agama Buddha merupakan terobosan yang luar biasa dan melibatkan umat Buddhis yang multi-etnis: baik Eropa, Tionghoa, Jawa, Bali dan lain-lain. Agama yang dulu dianggapnya “punah” tiba-tiba bisa bangkit kembali dengan jutaan umat. Hal tersebut berlanjut hingga saat sekarang, yang mana umat Buddhis yang tinggal di perkotaan terhubung dengan umat yang tinggal di perdesaan melalui teknologi dan menjalin tali silaturrahmi. Buddha Dharma tidak akan pernah sirna di Bumi Indonesia.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara