• Tuesday, 27 November 2012
  • Sutar Soemitro
  • 0

Mendengar namanya, mungkin ada sebagian orang yang tidak tahu siapa dia, tapi bagi sebagian orang khususnya yang berkecimpung dalam bidang seni tentu tidak asing dengan nama besarnya.

Kartika Affandi, adalah seorang seniman wanita Indonesia yang menggeluti bidang seni lukis. Sepertinya ia ”mewariskan” bakat seni dari ayahnya. Ya, ia adalah puteri dari maestro seni lukis Indonesia, Affandi (1907-1990). Meskipun demikian, wanita kelahiran Jakarta, 73 tahun yang lalu ini tidak ingin menjadi Affandi yang kedua dan hidup dalam bayang-bayang nama besar ayahnya.

Perjalanan hidup Kartika penuh dengan perjuangan keras. Dikutip oleh bhagavant.com dari perbincangannya dengan The Jakarta Post (4/6) dalam acara peringatan ulang tahun ke-100 Affandi di Yogyakarta, Kartika menceritakan masa kecilnya dan perjalanan hidupnya.

”Ketika saya masih kanak-kanak, kami hidup dalam kekurangan, sering hanya makan krupuk dan kecap untuk dimakan, jadi ibu saya menyusui saya sampai saya berusia sebelas tahun. Saya sering mendapatkan masalah karena saya tidak pulang ke rumah sampai tengah malam, tetapi justru pergi ke rumah teman dimana di sana lebih banyak makanan.

“Ibu saya akan memukul saya dengan tongkat bambu, tapi tidak terlalu keras –selalu ada cinta di dalam keluarga kami dan ayah saya sangatlah luar biasa, membuat mainan dan layangan untuk saya. Saya tidak memiliki saudara kandung yang lebih muda, dan ayah saya mengharapkan untuk mendapatkan lebih banyak anak dan ia sering menanyakan pendapat saya mengenai rencananya untuk mengambil isteri kedua. Saya mengatakan bahwa jika ia dapat membagi cintanya dengan adil, maka itu ok saja.”

Kartika melukis ayahnya, Affandi, beberapa hari sebelum ayahnya meninggal. Affandi dimakamkan di Museum Affandi. ”Wajah ayah saya masih tetap memberikan saya semangat untuk hidup,” kata Kartika, yang telah melukis 100 seri potret Affandi.

Pendidikan formal Kartika hanya sampai kelas 1 SMP Taman Dewasa Taman Siswa Jakarta pada tahun 1949. Ia kemudian belajar di Universitas Tagore di Shantiniketan di India sebagai mahasiswa luar biasa berkat beasiswa dari Pemerintah India. Ia juga pernah belajar seni patung di Polytechnic School of Art di London.

Tahun 1980 ia belajar teknik pengawetan dan restorasi benda seni di Wina, Austria, yang dilanjutkannya di Roma. Kini ia memang salah satu restorator lukisan di Indonesia. Ia membuat lukisan yang berjudul “Re-Birth” pada tahun 1981, sebuah lukisan mengenai wanita yang melahirkan seorang anak dewasa, merupakan gambaran akan dirinya sendiri.

Ia sudah dua kali menikah. Pernikahannya yang pertama dengan R.M. Saptohoedojo pada tahun 1952 berujung dengan perceraian pada tahun 1972 sesudah mendapat delapan anak. Pengacara yang membantu perceraiannya yang pertama mengatakan bahwa ia adalah wanita Indonesia pertama yang pergi ke pengadilan tinggi untuk bercerai. Dan diberitahukan kepadanya juga bahwa adalah hal yang mustahil bagi wanita Muslim untuk menceraikan suaminya, tetapi ia tetap berjuang dan akhirnya mendapatkan kebebasannya.

Ia menikah untuk kedua kalinya pada tahun 1985 dengan Gerhard Koberl, seorang warga Austria, namun akhirnya kembali bercerai pada tahun 2000.

Kartika kini telah menjadi wanita Indonesia yang membuat terobosan baru, mematahkan batas-batas budaya, menjalani kehidupannya dengan caranya sendiri, berkelana ke mana saja, kadang kala menentang kebiasaan, dan pada saat yang sama ia memenuhi kewajibannya terhadap keluarganya.

”Saya selalu mencoba menjadi orang yang baik. Saya telah mempelajari Buddhisme selama 25 tahun, dan di dalam hati saya, saya adalah seorang Buddhis meskipun kami juga merayakan perayaan Islam dan Katolik di rumah.”

Seperti halnya Frida Karlo dari Mexico, Kartika melukiskan diari visual mengenai kehidupannya –kesenangan dan kepedihan. Ia adalah seorang inspirasional, baik sebagai seniman maupun sebagai wanita.

Proyek terakhir Kartika telah dimulai, yaitu mendirikan museum kesenian wanita yang terletak di Pakem, di bawah lereng Gunung Merapi.

Kartika menyatakan, ”Tanggung jawab terhadap Museum Affandi adalah suatu kesenangan bagi saya, bukan sebagai beban. Kami telah bekerja bersama dengan keluarga, teman-teman, dan para staf pada seratus tahun perayaan ini.”

”Saya menjual lukisan saya dengan harga sangat murah untuk membayar ini semua. Puteri saya, Helfi, sekarang adalah kepala museum, dan saya tamu VIP,” kata Kartika.

Ia sangat senang melihat dedikasi terhadap kenangan akan Affandi diturunkan kepada generasi selanjutnya sehingga masa depan dari museum dapat dipastikan. (bhagavant)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *