• Sunday, 11 February 2018
  • Deny Hermawan
  • 0

Shakyashri Bhadra, yang dikenal orang Tibet sebagai Kache Panchen, adalah salah satu Mahapandita dari Kashmir terakhir yang tiba di Tibet dari India selama pengiriman ajaran Buddhadharma ke kawasan Himalaya.

Kedatangannya ke Tibet menandai akhir dari era Buddhadharma yang hebat di India dan awal zaman baru di Tibet. Meski kurang dikenal dibanding para pendahulunya di Nalanda, dampak dan kontribusinya terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan ajaran Buddha sangatlah besar.

Menguasai banyak ilmu

Guru termasyhur ini lahir di Dasobhara, Kashmir pada tahun 1127 M. Ia memiliki saudara laki-laki bernama Buddhacandra. Saat berusia 10 tahun, dia mulai belajar tata bahasa Sanskerta di bawah bimbingan Brahman Laksmidhara. Pada usia 23, dia menerima sumpah monastiknya dengan nama ‘Subhadra’ dari Sukha Sri Bhadradeva.

Ketika berusia 30 tahun, dia berjalan ke kota kuno Magadha, dia menerima instruksi dan inisiasi tantra dari banyak guru terkenal hari itu seperti Santakaragupta, Dasabala, dan Dhavaraka. Dia berlatih tantra dengan intens, hingga akhirnya mampu melihat visi yang menakjubkan dan murni dari Tara, Chakrasamvara, dan Kalachakra.

Sesudah itu, dia berkelana ke Bihar untuk menerima ajaran Dharma lebih lanjut dan memasuki Universitas Monastik Nalanda, pusat utama pembelajaran dan praktik Buddhis saat itu. Ketika di Nalanda, ia menguasai lima ilmu bahasa, sains, logika, seni, dan filsafat Buddhis. Dengan demikian, dia membuktikan dirinya sebagai cendekiawan berbakat dan sangat dihargai menurut tradisi di Nalanda.

Setelah menyelesaikan kurikulum monastik, ia dianugerahi gelar ‘Mahapandita’, sebuah sistem tingkat monastik yang serupa dengan sistem penghargaan Geshe Lharampa yang digunakan di biara Gelugpa Tibet saat ini.

Seorang yang berkharisma

Shakyashri Bhadra akhirnya naik tahta menjadi Kepala Vihara Nalanda dan kemudian di Universitas Vikramashila, satu lagi institusi pembelajaran Buddhis India yang terkenal. Ia mengikuti barisan panjang kepala vihara yang terkenal termasuk Dipamkara Shrijnana Atisha, yang hidup lebih dari 150 tahun sebelum Shakyashri Bhadra.

Reputasinya sebagai seorang guru tumbuh begitu pesat sehingga saat dia memberikan ajaran, dia mampu memimpin audiensi 12.000 biksu di Odantapuri, universitas monastik terkemuka lainnya.

Pada masa itu, Nalanda, yang terletak di negara bagian Bihar di India saat ini, adalah sebuah wilayah dengan populasi 10.000 siswa dan 2.000 guru. Universitas monastik Nalanda dipenuhi oleh guru-guru yang terkenal dan mumpuni.

Meski demikian, Shakyashri Bhadra, para pejabat monastik Nalanda, dan para tetua di sana tidak bisa membendung serangan invasi Turki yang dipimpin oleh Muhammad Bakhtiyar Khilji. Biara Nalanda yang agung takluk dengan mudah dan diluluhlantakkan oleh pasukan Bhakhtiyar pada tahun 1192 M.

Para penyerang kemudian menyerbu kota kuno Varanasi dan akibatnya, Biara Vikramashila juga hancur total. Seluruh komunitas Sangha dari Odantapuri dibunuh tanpa ampun. Khawatir akan keselamatan sang guru, para murid mengawal Shakyashri Bhadra keluar dari daerah tersebut dalam pelarian yang heroik.

Setelah invasi, Shakyashri Bhadra mengembara ke timur dan kembali lagi ke Bihar meski dalam keadaan bahaya, untuk menghidupkan kembali Dharma di sana. Ketika dia berusia 77 tahun, dia menerima undangan dari Tropu Lotsawa Rinchen Senge (lahir 1173 M) untuk pergi ke Tibet dan mengajar di sana.

Setelah sebelumnya membawa guru-guru India Mitrayogin dan Buddhashri dari India ke Tibet, penerjemah muda asal Tibet tersebut telah melakukan perjalanan ke Lembah Chumbi untuk mencari Mahapandita Shakyashri Bhadra dan akhirnya bertemu dengannya di sebuah kota bernama Vanesvara.

Saat itu, Shakyashri Bhadra enggan melakukan perjalanan ke Tibet karena dia tidak terlalu memikirkan Tropu Lotsawa yang masih sangat muda. Namun, Tropu Lotsawa muda dapat mengajukan pertanyaan yang dipikirkan dengan baik tentang doktrin Buddhis ke masing-masing sembilan orang pandita dalam kelompok pengikut Shakyashri. Diskusi intensif akhirnya mampu meyakinkan Shakyashri untuk pergi ke Tibet. Ia tiba di Negeri Salju pada tahun 1204 M.

Roda Dharma berputar lagi

Kedatangan Shakyashri Bhadra didahului dengan beredarnya kabar bahwa guru besar ini ini akan segera hadir untuk menghidupkan roda Dharma. Ribuan orang, baik yang ditahbiskan maupun umat awam, berkumpul untuk mendengarkan ajarannya ke mana pun dia pergi.

Ketika ada di wilayah Tropu, Shakyashri Bhadra memberikan ajaran tentang Prajnaparamita, Pratimoksha (Patimokkha), dan Mahayanasutra-lamkara (Sastra Wacana tentang Mahayana). Kemudian, dia pergi ke biara Kadampa Narthang, dia kembali mengajar Prajnaparamita.

Dalam salah satu ajaran ini, seekor gagak mencuri beberapa halaman Prajnaparamita dan terbang ke timur menuju wilayah U (wilayah tengah Tibet). Shakyashri menafsirkan ini sebagai tanda dari Tara bahwa dia harus pergi ke sana. Karena itu dia mengunjungi Lhasa, Sinmori, Samye, Tsurphu dan Reting, dan dia memberikan ajaran yang lebih luas.

Di Biara Samye, biara pertama di Tibet, Shakyashri Bhadra meminta penguasa setempat, Jowo Lha yang adalah murid Kodrakpa Sonam Gyeltsen (1182-1261 M), untuk dapat mengakses teks Sanskerta di perpustakaan biara.

Di antara teks-teks itu, Shakyashri Bhadra melihat naskah Sanskerta dari Guhyagarbha Tantra. Ini dianggap sebagai peristiwa penting dalam tradisi Nyingma, aliran Buddhis tertua di Tibet. Sebab dengan ini ia menelusuri asal mula praktik tantra ini berdasar sumber-sumber dari India.

Perlu diketahui, ada yang menganggap teks tantra dari aliran Nyingma tidaklah berasal dari teks otentik asli India. Bersamaan dengan itu, Shakyashri Bhadra juga mengotentifikasi praktik Vajrakilaya kembali ke sumbernya di India.

Pada tahun 1207 M, Shakyashri Bhadra membentuk kronologi hidup Buddha versi baru saat tinggal di Biara Thangpoche. Kronologisnya sangat berbeda dengan yang dipakai orang-orang Tibet saat ini. Tanggal untuk umur hidup Buddha versinya jauh lebih dekat dengan perkiraan modern dibanding versi lainnya.

Shakyashri Bhadra meninggal pada tahun 1225 di usia 99. Dia meninggalkan sejumlah besar murid asli Tibet, di antaranya Chak Lotsawa Choje Pel (1197-1263 / 4 CE), Tsang Sowa Sonam Dze dan Chel Lotsawa Chokyi Zangpo.

Kontribusi utama Shakyashri Bhadra terhadap Buddhadharma adalah pelestarian dan perkembangan ajaran logika dan garis keturunan Tantra dari India.

Perjumpaannya dengan para guru besar Tibet seperti Sakya Pandita dan Jigten Sumgon telah menghasilkan beberapa silsilah yang kuat dengan ajaran yang unik sekaligus efektif. Dengan begini, Shakyashri Bhadra mampu mempertahankan Dharma India selama periode krusial saat agama Buddha dimusnahkan di negara asalnya.

Banyak guru dan cendekiawan Tibet percaya bahwa Shakyashri Bhadra bereinkarnasi sebagai Buton Rinchen Drub (1290-1364 M) untuk melanjutkan karya agung pelestarian Dharma di Negeri Salju.

Di bawah ini adalah Syair Perlindungan dan Bodhicitta oleh Mahapandita Shakyashri Bhadra:

Termotivasi oleh keinginan untuk membebaskan semua makhluk,

Terus-menerus, saya akan berlindung

Pada Buddha, Dharma, dan Sangha,

Sampai esensi pencerahan tercapai.

 

Dengan kebijaksanaan dan dengan cinta yang tulus,

Secara rajin, demi kepentingan makhluk hidup,

Saya akan menempatkan diri di hadapan para Buddha,

Dan menghasilkan batin sempurna bodhicitta.

Deny Hermawan

Seorang penjelajah, bekerja sebagai jurnalis di Kota Gudeg, Jogja.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *