• Tuesday, 27 April 2021
  • Deny Hermawan
  • 0

Buddhadharma memang sempat mengalami kejayaan di Jawa, terutama di “masa aktif” Candi Borobudur. Meski demikian, nyaris tak ditemukan dalam catatan sejarah, nama-nama bhiksu atau anggota Sangha yang hidup kala itu di Jawa.

Meski demikian, berdasarkan catatan sejarah dari bangsa lain, rupanya kita bisa menemukan sosok bhiksu lokal yang bernama Bianhong. Biografi lengkap dan detail tentang tokoh ini memang belum ditemukan, namun sejumlah pakar telah berusaha menjelaskan, siapa sosok Bianhong ini.

Hiram Woodward, Ph.D. yang merupakan seorang kurator dari Walters Art Museum dalam artikel “Bianhong, Mastermind of Borobudur?” (Journal of the Institute of Buddhist Studies, 2009) menyebut bahwa Bianhong, seorang bhiksu asli Jawa, tiba di Chang’an, Tiongkok pada tahun 780. Dan dari biografi tentang Master Huiguo (746–805), bhiksu yang merupakan murid Amoghavajra dan selanjutnya menjadi guru Bianhong dan Kūkai (774–835), diketahui bahwa Bianhong (辨 弘) berasal dari Holing (Jawa). Ia datang ke sana membawa persembahan simbal tembaga, dua buah cangkang keong, dan empat buah vas, yang lalu dipersembahkan kepada Huigo.

Sambil menyerahkan persembahan, Bianhong mengungkapkan minat untuk mendapatkan ajaran esoterik tentang Mandala Rahim (Garbhakoṣadhātu), alam metafisikal yang dihuni Buddha Vairocana, dikelilingi para Buddha dan Bodhisatwa, yang kesemuanya merupakan simbol cinta kasih.

Sementara itu dari catatan Kūkai (Kōbō Daishi), sosok yang “menjulang tinggi” dalam sejarah Buddhisme Jepang, disebut bahwa Bianhong sebelumnya telah mempelajari teks-teks Buddhis esoterik di Jawa. Dan di Chang’an, Master Huiguo menginisiasi Bianhong ke dalam Mandala Rahim, dan bukan Mandala Vajra (Vajradhātu). Sedangkan Kūkai sendiri diinisiasi ke kedua Mandala tersebut.

Tidak diketahui secara pasti apakah Bianhong pernah pulang ke Jawa. “Beberapa sarjana sekarang berpikir bahwa Bianhong meninggal di China, tanpa pernah kembali ke Jawa,” kata Hiram Woodward ketika dikonfirmasi BuddhaZine pada Februari 2021.

Namun pandangan berbeda disampaikan pakar Buddhisme asal Indonesia, Hudaya Kandahjaya Ph.D. Dirinya menyebut bahwa setelah mencari ilmu ke negeri China, Bianhong lalu kembali ke Jawa dan turut mempengaruhi desain Borobudur. Lewat disertasinya tahun 2004, “A Study on the Origin and Significance of Borobudur” ia menyebut Bianhong sebenarnya sudah mempelajari Buddhisme esoterik di Jawa, namun ingin belajar lebih banyak.

Ia mulanya ingin belajar lebih lanjut ke India Selatan, namun ketika mendengar bahwa ajaran esoterik telah dibawa Amoghavajra ke Tiongkok, Bianhong lalu bertolak ke Negeri Tirai Bambu pada tahun 780. Hudaya Kandahjaya menduga, pengetahuan Bianhong akan mandala dari Buddha Vairocana, menyebabkannya menjadi salah satu tokoh penting dalam pembangunan Candi Borobudur.

Pemaparan lebih mendalam sosok Bianhong

Iain Sinclair, Ph.D., seorang pakar sejarah Asia Tenggara dari Monash University mengakui, figur kunci dalam transmisi Buddhisme abad ke-8 antara dunia Sansekerta dan Oriental adalah seorang bhiksu yang dikenal dengan nama China-nya Bianhong, yang kemungkinan dalam bahasa Sansekerta disebut sebagai Ājñāgarbha.

Dalam artikelnya “Coronation and Liberation According to a Javanese Monk in China” di buku “Esoteric Buddhism in Mediaeval Maritime Asia” (2016), Sinclair menyebut, sampai saat ini, kehidupan dan karya Bianhong hanya diketahui, terutama dari satu cerita yang beredar di Jepang oleh rekannya sesama bhiksu seperguruan yang lebih terkenal, Kūkai.

Ia mengungkapkan, saat ini satu-satunya naskah tulisan Bianhong yang masih bisa ditemukan adalah naskah manual ritual untuk inisiasi ke Mandala Agung dari Uṣṇīṣa-Cakravartin (Taishō Tripiṭaka 959).

“Meskipun Bianhong sering didiskusikan sehubungan dengan penyebaran agama Buddha di tanah airnya di Jawa, manualnya telah diabaikan sepenuhnya hingga saat ini. Tidak ada orang lain dari Jawa yang diketahui pernah melakukan perjalanan ke [Kekaisaran] Tang dan menulis dalam bahasa China,” tulis Sinclair.

Ia menyebut, salah satu bentuk ritual dalam manual itu adalah ritual inisiasi (abhiṣeka) penguasa dunia atau cakravartin. Ini adalah suatu proses yang menarik banyak penganut agama Buddha di Asia Selatan, Timur, dan Tenggara pada saat itu.

Menurut dia, Bianhong muncul ke dalam sejarah setelah transmisi pertama Buddhisme Tantra ke Dinasti Tang Tiongkok. Kebaruan bentuk Buddhisme ini terletak pada format bahwa ia diturunkan dari guru ke murid melalui inisiasi, dan kemampuannya untuk memanfaatkan kekuatan Buddha dan Bodhisatwa melalui mantra dan meditasi yoga.

Itu memiliki karakter eksklusif yang cocok untuk para bhiksu berbakat dan orang awam yang suka berpetualang — terutama mereka yang berada di elit kekuasaan, yang untuknya ritual inisiasi (abhiṣeka) dapat dilakukan dengan efek penuh sebagai penobatan (rājyābhiṣeka).

Bianhong sendiri menurutnya tercatat aktif di Tiongkok pada tahun 780 dan 806. Tanggal kelahiran maupun kematiannya tidak diketahui. Diduga, Bianhong lahir sekitar dua dekade sebelum menginjakkan kaki di Tiongkok.

Asalnya disebutkan dari Heling/Holing, yang diperkirakan adalah Kalingga, sebuah wilayah kerajaan di pesisir utara Jawa Tengah. Sinclair menyebut, Kalingga pernah didatangi Vajrabodhi di tahun 719, dan Amoghavajra di tahun 740. Kedua nama tersebut adalah bhiksu India yang tercatat sebagai sesepuh atau patriark Buddhisme Shingon Jepang.

Tidak diketahui bagaimana kehidupan Bianhong di Kalingga. Namun Sinclair menduga Bianhong sudah ditahbiskan menjadi bhiksu ketika di Jawa. Menurut sebuah anekdot dari Kūkai, ketika di Kalingga, Bianhong sudah mencapai realisasi dalam praktik Bodhisatwa Cintāmani Cakravartin, yang merupakan salah satu bentuk Avalokiteśvara.

Dharani Cintāmani Cakravartin memang populer di Asia Selatan, Jawa dan Asia Timur kala itu. Arca Bodhisatwa Cintāmani Cakravartin berlengan enam yang ditemukan di Gunung Prau Dieng dan dekat Candi Prambanan adalah buktinya.

Selanjutnya disebutkan Sinclair bahwa Bianhong sepertinya ingin mendapatkan abhiseka Vairocanābhisaṃbodhi, namun belum tersedia di Kalingga waktu itu. Menurut Kūkai, seorang Bianhong lalu mendadak bertemu dengan seorang pria yang menyarankannya untuk tidak mencari inisiasi Vairocanābhisaṃbodhi di selatan India, namun ke Kekaisaran Tang di China. Pria itu mengatakan bahwa ajaran Vairocanābhisaṃbodhi sudah ditransmisikan oleh Amogha ke Tang.

“Muridnya, Acharya Huiguo, kini ada di Biara Qinglong di Chang’an, menerima transmisi. Jika [kamu] tinggal [di sana kamu] akan menemui [Huiguo] dan akan menerimanya. Kalau tidak, sulit didapat,” kata pria misterius itu, tulis Sinclair.

Begitu ucapannya selesai, dikisahkan pria itu mendadak langsung menghilang. Sontak Bianhong tahu bahwa itu adalah makhluk suci yang memberi petunjuk. Bianhong lalu bergegas berlayar ke Tiongkok. Dikatakan bahwa perjumpaan mistis itu adalah buah dari praktik mantra-dharani yang dilakukan Bianhong.

Tahun 780, dikatakan Huiguo dalam catatannya bahwa Bianhong tiba di Ibukota Tang, Chang’an. Ia membawa satu set simbal kuningan dari Jawa, disertai sepasang cangkang keong dan empat vas untuk Huiguo, sebagai persembahan untuk memohon inisiasi. Itu adalah benda-benda yang lazim dipakai untuk ritual tantra. Meski awalnya ada kendala bahasa untuk komunikasi, inisiasi pun lantas diberikan.

Kūkai mencatat, tidak ada bhiksu lain dari Asia Tenggara selain Bianhong yang mendapatkan abhiseka mendapat izin mempraktikkan tantra di Kekaisaran Tang. Dicatat juga bahwa Bianhong lalu mendapatkan abhiseka Vajradhātu-mahāmandala di Biara Daxingshan. Namun tidak jelas yang memberi abhiseka, apakah Huiguo, atau guru lain.

Sesudah mendapatkan abhiseka kedua Mandala, dikatakan bahwa Bianhong pindah ke Biara Shengshan di timur Negeri Tang. Patut diketahui bahwa para bhiksu yang berbasis bahasa Sansekerta (termasuk dari Nusantara) diawasi dan dikontrol ketat oleh penguasa Negeri Tang. Dan biara yang ditempati Bianhong ini sangat erat kaitannya dengan penguasa.

Awal abad ke-9, tercatat Bianhong pindah ke kawasan Bianzhou, yang letaknya lebih utara. Ini adalah tempat terakhir yang tercatat sebagai tempat tinggalnya. Di sini Bianhong getol menyebarkan ajaran mandala rahasia, di saat ajaran Chan (Zen) sedang berkembang pesat. Tahun 805 gurunya Huiguo tutup usia, dan dikatakan Bianhong lalu melakukan praktik namaskara atau sujud selama lima hari.

Nama Bianhong tak terdengar lagi sampai gelombang kedua orang Jepang datang ke Tiongkok mempelajari Buddhisme Tantra. Di tahun 839, seorang bhiksu China yang merupakan murid Bianhong, Quanya, bertemu dengan Ennin (794-864), bhiksu asal Jepang. Nama Bianhong disebut dalam catatan Ennin, sebagai guru Bhiksu Quanya, yang memberikan transmisi dua mandala, Vajradhātu dan Garbhadhātu.

Iain Sinclair berkesimpulan, tidak ada indikasi Bianhong kembali ke Kalingga, atau sekadar punya kebebasan untuk melakukannya. Hampir dipastikan, putra Jawa ini tutup usia di negeri orang, menyisakan banyak misteri dan kisah yang belum tersingkap.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *