Kwee Tek Hoay merupakan tokoh penting dalam perkembangan agama Buddha di Indonesia. Tokoh intelektual peranakan Tionghoa ini juga merupakan seorang jurnalis dan sastrawan yang karyanya tidak perlu diragukan lagi.
Bukti nyata dari Kwee Tek Hoay dalam perkembangan agama Buddha adalah adanya aliran Tridharma. Meskipun aliran Tridharma tersebut telah terpecah dalam beberapa faksi karena faktor teologi, politik, dan lain sebagainya. Bahkan sebagai cara mengenang jasa-jasanya Kwee Tek Hoay masih banyak yang memperingati hari ulang tahun KTH setiap tanggal 31 Juli, dan sekarang dijadikan sebagai Hari Tridharma.
Di kesusastraan karya KTH cukup fenomenal. Dengan melahirkan aliran Sastra Melayu Tionghoa. Sastra Melayu karya KTH menggunakan sastra melayu yang dianggap pemerintah kolonial sebagai bahasa melayu rendahan. Sastra melayu memang identik dengan sastra perlawanan berparadigma kritis yang biasa mendobrak sebuah hegemoni.
Sastra Melayu Tionghoa karya KTH banyak diminati masyarakat waktu itu karena menggunakan bahasa sehari-harinya dan ceritanya tak jauh dari kehidupan nyata. Salah satu kekuatan dari dari karya KTH, secara umum, terletak pada kemampuannya dalam membangun suasana cerita.
KTH selalu mampu untuk membuat deskripsinya menjadi hidup. Hal ini disebabkan terutama oleh gaya penuturannya yang lancar sehingga karya sastra tidak mudah membuat bosan pembacanya. Namun pada pemerintahan rezim orde baru karya KTH bak ditelan bumi karena sentimentil pemerintahan waktu itu pada orang Tionghoa.
Perkembangan agama Buddha
Dalam sejarah tentang agama Buddha di Indonesia, memang tidak dipungkiri bahwa pada tahun 1934 terjadi letupan pertama yang krusial dalam sejarah perkembangan agama Buddha. Peristiwa penting yang terjadi pada waktu itu adalah datangnya seorang bhikkhu bermahzab Theravada dari Sri Lanka untuk pertama kalinya.
Peristiwa ini dianggap tonggak sejarah dalam perkembangan agama Buddha di Indonesia. Mengikuti peristiwa tersebut beberapa organisasi Buddhis terbentuk. Organisasi ini melibatkan orang-orang Indonesia sendiri, dan yang paling menonjol adalah berasal dari kalangan peranakan Tionghoa.
Peranakan Tionghoa di Indonesia selama ini juga dikenal dekat dengan narasi sejarah perkembangan Buddhis di Indonesia. Pada perkembangan awal agama Buddha tahun 1930, peranan masyarakat peranakan Tionghoa dalam menggiatkan segala bentuk kegiatan yang didedikasikan untuk perkembangan agama Buddhis dilakukan oleh mereka. Kegiatan mereka dalam bentuk organisasi dan publikasi karya-karya tentang agama Buddha.
Fenomena yang muncul sehubungan dengan perkembangan agama Buddha yang terjadi setelah tahun 1934 merupakan sesuatu yang wajar. Perkembangan agama Buddha yang terjadi pada masa pra 1934 harus dihadirkan sebagai bagian dari proses sejarah Indonesia.
Beberapa karya sastra dalam bentuk novel Kwee Tek Hoay yang diterbitkan sebelum tahun 1934 telah memperlihatkan adanya gagasan tentang Buddhis. Salah satunya dalam karyanya yang berjudul Boenga Roos dari Tjikembang. Dengan demikian, Buddhis telah ada sebelum tahun 1934 dam sudah hidup dalam sebagian orang.
KTH menjadi anggota aktif di perkumpulan Theosophical Society. Dalam hubungan dengan urusan spiritualitas dan keagaman ini. Dia juga ikut mempengaruhi kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
Keseriusannya tersebut terlihat dari keterlibatannya dengan mengupayakan kehadiran Bhikkhu Narada dari Sri Lanka ke Indonesia. Ada beberapa kutipan cerita di dalam Boenga Roos dari Tjikembang yang menggambarkan ajaran Buddhis. Pada halaman 53 terdapat kutipan;
“Ia sangat tertarik dengan pelajaran Theosophy jang sebagian besar ada menggenggam pelajaran dari Agama Buddha, Semingkin ia jakin lebih djaoe itoe peladjaran, semingkin kasoesahannja ia rasaen enteng, kerna ia merasa dapet liat lebih teges maksoedja ini penghidoepan…”
Kedekatan Kwee Tek Hoay dengan Buddhis itu sendiri juga nampak di sini. Sebagai seorang peranakan Tionghoa, Buddhis menjadi tradisi kepercayaan yang dekat dengannya. Bagian ini seolah-seolah menjadi refleksi dari alam bawah sadarnya bahwa Buddhis adalah sebuah aliran keagamaan yang lebih banyak berkutat dengan pencarian pada makna kehidupan.
Ada pula kutipan “Gwat, kaoe ini soenggoe satoe malaikat, barangkali Dewi Kwan Im mendjelma ke doenia boeat hiboerin aku melaloei kaoe.”
Dalam Buddhis, terutama mahzab Mahayana, Dewi Kwan Im (Avalokiteshvara) dipuja sebagai seorang bodhisattwa (seorang calon Buddha). Dengan penggambaran wujud perempuan serta sifat welas asihnya yang menonjol.
Terakhir dalam karya ini juga menyinggung konsep karma dan tumimbal lahir (kelahiran kembali) yang sangat berpusat dalam ajaran Buddha. Terlihat dalam kalimat dalam halaman 88;
“Ada waktunya pula mereka akan balik kombali dengan pake laen toebueh, laen nama dan barangkali juga laen kebangsaan dan pentjarian, buat lanjutkan marika punya evoluti dan lunaskan ia oerang punya karma”.
Karya Kwee Tek Hoay memberikan pandangan baru, terutama dengan melihat gejala-gejala atau tanda-tanda adanya fenomena “kehidupan” Buddhis pada awal tahun 1900. Boenga Roos dari Tjikembang adalah salah satu karya novel fiksinya yang secara eksplisit menunjukkan adanya ‘napas’ Buddhis di Indonesia. Meskipun tidak ditemuinya ‘napas’ Buddhis secara masif di dalamnya.
Selamat Ulang Tahun Kwee Tek Hoay! Selamat Hari Tridharma!
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara