• Thursday, 20 April 2017
  • Ngasiran
  • 0

Umumnya agama Buddha itu selalu ditengarai orang yang meninggalkan keduniawian, ini salah kaprah! Menurut saya agama Buddha adalah bagaimana kita menyadari kehidupan, jadi dia masuk ke dalam kehidupan itu sendiri.

Kesenian itu, pada dasarnya adalah untuk menyadari bahwa hidup itu kreatif. Agama Buddha itu kan kreatif, Siddharta itu mampu menciptakan gagasan kehidupan, kesadaran tentang kehidupan, itu kreatif.

Saya sendiri memahami agama Buddha selain dari buku-buku Dharma, ceramah para bhante, dan Candi Borobudur. Relief yang terkandung dalam Borobudur itu menceritakan kehidupan manusia. Bagaimana menghadapi kehidupan, misalnya dalam kehidupan sehari-hari kita menghadapi dengan mudra-mudra yang ada di Borobudur.

Bhumisamparsa, Ratnasambhawa, Amitabha, Amogasidhi, Vairocana, dan Dharmacakra merupakan sebuah simbolik kesadaran. Borobudur itu buku yang luar biasa, jadi kalau Anda mau berkesenian bisa berpijak ke simbolik Borobudur.

“Bhante Pannavaro itu kan sering ke Borobudur, sering menjelaskan tentang relief. Bhikkhu saja yang dari Inggris datang ke sini ya belajar gerak, belajar joget amerta di Borobudur.” Joget amerta ide dasarnya adalah dari Borobudur.

Seperti Anda mencari inspirasi tari rakyat, tari rakyat ini kan berbeda dengan tari rakyat Thailand, Srilanka, Myanmar. Terus merasa punya kemampuan untuk membuat jalan alternatif sesuai yang kita punya. Karena semuanya diarahkan pada kebijaksanaan, kasih sayang, entah itu welah asih, simpati, itu kan Brahmavihara di situ, keseimbangan batin. Udah kalau ada nilai-nilai itu dalam bentuk apa pun ya bisa, kan semua ingin bahagia, Sabbe satta bhavantu sukhithata, kan maksudnya itu. Lepas dari penderitaan, apa pun yang kamu pakai, yang kamu lakukan kan untuk bebas dari penderitaan.

Agama Buddha dan Seni

Melihat agama Buddha yang dulu yang pernah berjaya di Indonesia, agama Buddha pernah mengalami kejayaan di Nusantara. Kalau dilihat peninggalan sejarahnya saat ini sarat dengan makna seni, tetapi saat ini, agama Buddha agak tidak menghargai seni, padahal seni merupakan salah satu media mengajarkan Buddhadhamma.

Bukan satu hal yang mestinya harus dipilah-pilah, bukan hanya soal seni saja, rumah keluarga, sistem pengobatan juga harus diarahkan ke semoga semua mahkluk hidup berbahagia. Bisa lewat Brahmavihara, atau jalannya para bhikkhu yang sudah tinggi sekali. Pokoknya niatnya untuk berbuat kebaikan dan untuk mengurangi kejahatan, seperti yang sering dikatakan oleh Bhante Pannavaro.

Kalau dalam dunia kesenian saya coba memakai istilah pusaka, pustaka, pujangga. Jadi tubuh kita ini sebuah pusaka juga, karena tubuh kita ini evolusi untuk kehidupan kan jutaan tahun juga, kita dilahirkan di dunia ini juga untuk membersihkan diri untuk kehidupan lebih baik. Pustaka itu kita harus belajar, belajar dari pengalaman tubuh kita, membaca cerita-cerita buddhis, relief dan Pujangga maknanya kita mengerti tentang kehidupan.

Umpamanya kesenian Reog Ponorogo, itu kan sama dengan pannaraga (kebijaksanaan tubuh) jadi sebenarnya bukan soal keras atau bagaimana tetapi bagaimana mengedukasi tubuh lewat, umpamanya kuda lumping, soreng. Cuma sekarang di situ diberi nilai, ora mung (tidak sekadar) tontonan, tapi tontonan ada Brahmavihara itu gimana to? Ada rasa welas asih, kesadaran, simpati, simpati kepada dirinya, simpati kepada penonton, simpati kepada yang terlihat bahkan simpati pada yang “tidak terlihat.”

Prapt-2

Candi Borobudur, Sumber Inspirasi

Saya sering ke Borobudur dulu, kemudian melihat patungnya, ada rasa damai, itu yang menginspirasi saya. Pertama kali Bhante Ashin ke Borobudur saya lihat, kemudian saya coba latihan sendiri, latihan gerak sendiri. Dulu saya sebagai anak muda yang suka dengan latihan silat, kungfu, karate, tetapi setelah tahun 70-an lebih mendalami dunia gerak di bidang seni.

Tahun 1974 saya ikut meditasi vipassana, yang melatih Bhante Jinapalo di Ubayan, saya mendapat berkah lebih sadar, bisa menangis melihat sesuatu yang nyata begitu. Dulu hanya berpikir, latihan gerak berpikir. Dari itu saya ditahbiskan menjadi upasaka dengan nama Suryadharma, setelah itu saya pentas lagi, pentas kecil dengan Romo Khemi Dharmaputra almarhum, dulu juga banyak ditentang kenapa mantra buddhis kok di atas panggung. “Borobudur itu kan juga panggung, karya seni, sekarang tergantung niatnya, mau niat kesenian yang hura-hura, atau kesenian yang justru menambah pada kesadaran, ini kan lain. Nah setelah itu polemik, dulu juga pentas di Candi Mendut ketika Waisak tapi tidak boleh. Untung saat itu Bhante Girirakhito melihat polemik itu dan memberi izin.”

Jadi ya membangun jalinan, sikap itu kan pandangan seorang seniman, tidak punya nilai seakan-akan tidak bisa melakukan ajaran agama. Kesenian itu juga mengajarkan tingkah laku, nilai-nilai buddhis, welas asih, keseimbangan batin, (metta, karuna, muditta, dan upekkha). (baca: Ngobrol Agama Buddha, Seni dan Meditasi bersama Mbah Prapto (II))

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *