Apakah Anda pernah mendengar disleksia? Disleksia merupakan gangguan kemampuan membaca dan menulis. Disleksia seringkali dianggap sebagai gangguan pada kemampuan membaca, kondisi ini juga meliputi ketidakmampuan dalam menulis dengan baik. Dengan kata lain, disleksia telah dianggap sebagai sebuah gangguan pada kemampuan belajar, bukan hanya dalam membaca.
Disleksia
Bhante Dhammika merupakan seorang disleksia. Namun faktanya, ia mampu menulis 25 buku Dharma, itu belum termasuk ribuan tulisan yang tersebar di berbagai media cetak, online, maupun jurnal-jurnal.
Pertanyaannya adalah, bagaimana Bhante Dhammika menghadapi disleksia tersebut? Ceritanya bermula dari usaha Bhante untuk menerjemahkan Sutta ke dalam bahasa Inggris. Proses penerjemahan tersebut dilakukan secara berulang-ulang setiap hari bahkan berbulan-bulan. Hasil terjemahan tersebut ia letakkan begitu saja di laci, Bhante tidak pernah mengeceknya. Karena menurutnya, itu hanya latihan.
Suatu kali, ada seorang bhante senior masuk ke kamarnya dan menemukan hasil terjemahannya. Ia mengatakan, “Bhante Dhammika, karya Anda bagus sekali! Bagaimana kalau kita cetak saja?”
Pikir Bhante Dhammika, “Mana mungkin ada yang mau menerima naskah dari seorang disleksia?” Akhirnya, buku tersebut dicetak, dan Bhante Dhammika menulis hingga sekarang.
Dharmatalk
Seperti disebutkan pada artikel sebelumnya, bahwa Bhante Dhammika mengisi Dharmatalk di dua kota, yaitu Jakarta di Wihara Ekayana pada Kamis-Jumat (2-3 Februari) dan di Wihara Ekayana Serpong pada Sabtu (4 Februari), dan kedua di Surabaya. (Baca Bhante Dhammika: Agama Buddha akan Tumbuh dengan Baik di Taiwan dan Indonesia)
Tidak ada tema khusus yang dibawakan olehnya. Semua Dharmatalk dilakukan secara mengalir tanpa satu topik yang secara khusus dibahas. Tanya jawab merupakan pilihannya. Apa saja tanya jawabnya? Berikut yang kami rangkumkan dalam tanya jawab.
Apa yang Bhante sesali dalam hidup?
Tidak ada yang saya sesali, kalau ada itu tidak terlalu penting. Sebenarnya yang saya sesali adalah kenapa saya tidak masuk menjadi anggota Sangha ketika saya berumur 17 tahun? Mengapa demikian? Karena saya merasakan, dengan menjadi anggota Sangha, banyak orang berbuat baik pada saya, terlepas dari latar belakang agama apa pun di mana pun. Bhante ditahbis penuh menjadi bhikkhu ketika umur 24.
Tanggapan Bhante tentang kelahiran sebagai manusia?
Dilahirkan sebagai manusia menjadi berkah bagi kita. Mengapa? Karena kita bisa merasakan ketidak-kekalan, dukkha. Di alam binatang? Kita tidak bisa belajar Dharma. Di alam dewa? Apalagi. Di alam dewa, menurut Buddha, segalanya tercukupi tak ada dukkha, tak ada ketidak-kekalan, rasanya semua abadi. Dengan kondisi demikian nyamannya, untuk apa belajar Dharma?
Seperti yang kita lihat tragedi kemanusiaan di Timur Tengah, manusia berubah menjadi monster yang mengerikan. Bahkan binatang pun tidak melakukan tindakan yang sedemikan keji. Untuk itulah, agar kelahiran kita selanjutnya bisa menjadi manusia. Maka pesan saya hanya satu, agar bisa terlahir sebagai manusia, jadilah manusia.
Maksudnya bagaimana? Milikilah metta, cinta kasih yang bersifat universal. Cinta tanpa pamrih. Agama Buddha kadang menjadi demikian menjengkelkan, sangat tidak manusiawi, di sana diajarkan tentang akibat kemelekatan, penderitaan, ketidak-kekalan. Tentu ini benar. Tetapi dengan memiliki kualitas metta, kita bisa menjadi manusia yang bercahaya.
LGBT, menurut Bhante?
Lesbian, gay, biseksual dan transgender sudah ditanyakan ketika saya terakhir mengunjungi Wihara Ekayana ini. Apakah yang menanyakan ini orang yang sama dua tahun yang lalu?
Di dalam etika Buddhis tidak menjelaskan secara rinci mereka harus kita lihat dengan sebelah mata, atau direndahkan. Tidak ada masalah dengan LGBT. Mereka telah ada sejak ribuan tahun silam, dan akan ada hingga masa yang entah kapan.
Menurut saya yang lebih berbahaya adalah sistem pemerintahan yang korup, para politikus yang mencuri uang rakyat. Pada intinya adalah, sepanjang setiap insan menyayangi insan lainnya dengan tanpa pamrih, itu seperti yang Buddha tuturkan, “Menyatu bagai air dan susu.” Metafora inilah yang saya jadikan judul buku yang diterbitkan oleh Karaniya. Tetapi ini tidak membahas LGBT, melainkan metta, cinta kasih universal.
Bagaimana dengan Adam dan Hawa?
Zaman sekarang menjelaskan ke anak-anak kita yang Buddhis tentu perlu cara yang bijak. Kalau di agama Yahudi, Katolik, Kristen dan Islam, ada namanya manusia pertama yang dicipta yakni Adam dan Hawa.
Menurut saya, di zaman ilmu pengetahuan dan di abad ke-21, kita tidak bisa melakukan pendekatan yang sama dengan zaman mitologi. Alangkah baiknya, mintalah anak Anda untuk pergi ke perpustakaan, mencari buku atau mencari di internet tentang manusia yang sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Apa yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan, demikianlah kenyataannya. Dan biarlah anak kita yang menemukan sendiri pencariannya tersebut, kita hadir untuk mendukung pertumbuhan anak kita sesuai dengan zamannya.
Kewajiban di dalam agama Buddha?
Dalam agama Buddha, tidak ada urusan kewajiban. Kita melakukan puja bhakti sebagai contoh, itu merupakan hal yang kita lakukan bukan berdasar kewajiban, melainkan suatu ungkapan ketulusan ungkapan rasa terima kasih yang mendalam atas ajaran Dharma dari Buddha. Sehingga apa yang saya ingin sampaikan merupakan, disiplin diri. Dalam agama Buddha, kita tidak seperti agama lain yang mana jika kita percaya sebagai contoh, percaya pada Buddha lantas dengan modal percaya saja maka Buddha akan menyelamatkan kita, tidak bisa seperti itu. Lakukanlah minimal lima sila. Sebagai penjaga diri.
Tentu ada banyak tanya jawab yang terjadi selama tiga hari, mengingat ruang yang terbatas. Maka kami cukupkan di poin-poin yang terpenting saja. Terima kasih.
Selesai
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara