Seorang perempuan Inggris melakukan meditasi intensif dalam gua di Himalaya selama 12 tahun (1967-1979). Ia adalah Tenzin Palmo, bhiksuni penerima gelar langka “Jetsunma” (artinya: master yang patut dimuliakan) yang dianugerahkan pada tahun 2008 oleh H.H. Gyalwang Drukpa XII. Ven. Jetsunma Tenzin Palmo kini adalah Presiden dari Sakyadhita, Asosiasi Wanita Buddhis Internasional, dan tahun 2015 ini ia datang ke Indonesia untuk mengikuti Konferensi Sakyadhita di Yogyakarta, 23-30 Juni 2015.
Selain itu Ven. Jetsunma Tenzin Palmo bersama Ven. Karma Lekshe Tsomo juga akan berceramah di Wihara Ekayana Arama, Jakarta pada Minggu, 5 Juli 2005 pukul 09.00 WIB dengan tema “Perenungan Tentang Belas Kasih”. Untuk menyambutnya, Penerbit Karaniya menerbitkan buku karya Ven. Jetsunma Tenzin Palmo yang sangat jernih dan praktis, yaitu Into the Heart of Life (Memperindah Kehidupan), sedangkan Penerbit Dian Dharma menerbitkan buku Tiga Ajaran (Meneduhkan dan Menyegarkan Batin).
Ven. Jetsunma Tenzin Palmo dilahirkan di Woolmers Park, Hertfordshire, Inggris pada tanggal 30 Juni 1943 dengan nama Diane Perry. Pada usia 18 tahun, setelah membaca sebuah buku di perpustakaan, ia menyadari ia adalah seorang Buddhis. Pada usia 20 tahun ia lalu pindah ke India, dimana ia mengajar bahasa Inggris di Young Lamas Home School selama beberapa bulan sebelum bertemu guru akarnya, Khamtrul Rinpoche VIII.
Pada tahun 1964, ia menjadi wanita Barat kedua yang ditahbiskan dalam tradisi Vajrayana, menerima nama Drubgyu Tenzin Palmo yang artinya “wanita agung yang menjunjung tinggi ajaran praktik yang diwariskan”. Dalam tradisi Tibet, pentahbisan sebagai samaneri, atau monastik pemula, saat itu adalah pentahbisan tertinggi yang tersedia bagi perempuan, oleh karena sangha bhiksuni tidak pernah didirikan di Tibet. Namun, dengan dukungan gurunya, pada tahun 1973 Samaneri Tenzin Palmo menerima pentahbisan penuh sebagai bhiksuni di Hong Kong, menjadi salah satu wanita Barat pertama yang melakukannya.
Hidup di vihara Khamtrul Rinpoche sebagai satu-satunya bhiksuni di antara 100 bhiksu memberikan pengalaman pertama pada Bhiksuni Tenzin Palmo tentang adanya diskriminasi, yaitu dibatasinya akses perempuan terhadap informasi. Setelah enam tahun menjalani fase tersebut, atas saran gurunya, Bhiksuni Tenzin Palmo meninggalkan vihara untuk pergi ke Lahul, daerah terpencil di Himalaya, dimana ia akhirnya memasuki gua dan membawa dirinya pada momen keheningan mulia, menjalankan latihan spiritual yang intens selama 12 tahun.
Selama berada dalam retret tersebut, ia bercocok tanam untuk memproduksi makanannya sendiri dan berlatih meditasi secara mendalam berdasarkan pendekatan metode Buddhis tradisional. Sesuai dengan arahan, ia tidak pernah berbaring. Ia tidur di sebuah kotak meditasi kayu tradisional dalam postur meditasi duduk selama tiga jam semalam. Tiga tahun terakhir dari 12 tahun dihabiskan dengan mengisolasi diri secara sempurna. Ia bertahan ketika berada pada suhu di bawah -15°C dan salju turun selama enam sampai delapan bulan dalam setahun.
Pada tahun 1988 Bhiksuni Tenzin Palmo keluar dari gua dan melakukan perjalanan ke Italia dikarenakan adanya kendala mengenai visa dan ia diharuskan meninggalkan India. Sejak menjalani retret, Bhiksuni Tenzin Palmo telah memahami akar permasalahan mengenai kurangnya persamaan hak dan kesempatan bagi para bhiksuni. Atas permintaan guru akarnya agar ia membangun vihara bhiksuni, ia lalu berkeliling dunia selama beberapa tahun untuk menghimpun dana dan pada tahun 2000 ia berhasil membuka vihara bhiksuni Dongyu Gatsal Ling yang tujuannya untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada perempuan dari Tibet dan daerah-daerah perbatasan Himalaya.
Sumber: milis Wihara Ekayana Arama
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara