Sutrisno, pengamat dan praktisi pendidikan Buddhis menilai umat Buddha Indonesia hingga saat ini masih belum serius mengelola pendidikan. Bila dibandingkan dengan pembangunan sarana vihara, pendidikan masih menjadi nomor dua. Padahal menurutnya, pendidikan merupakan elemen penting untuk membangun peradaban, termasuk peradaban Buddhis di Indonesia.
“Yang menjadi persoalan pendidikan Buddhis kita itu sering kali masih ‘kena tanggung’. Kena tanggung itu seperti ini, saya mendirikan yayasan sebagai badan penyelenggara pendidikan hanya sekadar ingin saja, atau supaya bisa dimanfaatkan syukur-syukur untung, ini menjadi persoalan besar,” kata kandidat doktor Universitas Indonesia ini kepada BuddhaZine, Sabtu (22/11/2018).
Karena itu, menurut pria asal Jepara ini para pimpinan umat Buddha harus lebih serius dalam mengelola pendidikan Buddhis. “Kalau mau pendidikan Buddhis maju dan tidak ‘kena tanggung’ harus bikin sesuatu yang top sekalian, melampaui yang sudah ada. Bagaimana caranya?
“Pertama, kuncinya adalah sekolah itu antara visi, misi, dan operasionalnya harus konsisten. Sering kali kita membuat visi misi yang bagus tetapi operasionalnya tidak konsisten itu juga menjadi masalah. Tahapan itu penting, tahapan pencapaian visi misi yang konkret itu menjadi penting. Tahun sekian harus menjadi apa, tahun sekian harus menjadi apa dan seterusnya. Jadi tidak bisa visi misi itu dikembalikan ke pribadi dalam hal ini ketua yayasan, itu tidak bisa.
“Kedua, inovasi itu tidak boleh macet. Guru, kepala sekolah, pendidik inovasinya tidak boleh berhenti. Harus terus didorong untuk berinovasi. Yang terjadi di Indonesia, guru itu terjebak pada rutinitas administrasi yang berat. Bagaimana itu diatasi? Sejumlah sekolah bisa mengatasi ini dengan membuat desk bagian administrasi sendiri, kemudian guru dikembalikan sesuai fungsi mendidik dan mengevaluasi secara sederhana.
Baca juga: Ada Apa dengan Pendidikan Buddhis?
“Bila bisa seperti itu, guru bisa selalu berpikir besok mau ngapain, mau ngajar apa. Tidak hanya terjebak pada kurikulum, mengoreksi, evaluasi, dan tuntutan yang harus dikejar. Ini menjadikan guru kita stres, dan kalau stres pasti tidak produktif. Jangan berharap inovasi dari orang yang stres, guru itu profesi yang harusnya bisa dinikmati. Kalau kembali ke taman siswa, sekolah itu taman sebenarnya, taman itu kan tempat yang mengasyikkan. Gurunya rindu ke sekolah, muridnya juga rindu ke sekolah.
“Tetapi persoalan kesejahteraan guru juga tidak boleh dilupakan. Meskipun orang kalau ditanya tujuan mendidik pasti menjawab mencerdaskan, tidak mungkin mencari kesejahteraan. Tetapi dibalik itu, harus ada penghormatan atau penghargaan yang sesuai.
“Ketiga, suka tidak suka yang namanya badan penyelenggara atau kalau swasta namanya yayasan, itu memang harus profesional. Pengelolaan profesional, sistem kerjanya juga profesional dan saya cenderung menganjurkan tidak didirikan oleh orang per orang, tetapi didirikan oleh orang yang mempunyai semangat bersama. Entah itu paguyuban atau semacam perserikatan. Itu harus profesional dan punya kode etik.
“Saya mengamati beberapa yayasan yang tidak berdiri berdasarkan klan dan kekeluargaan misalnya Yayasan Pancaran Tri Dharma, di Ananda. Itu memang benar-benar didirikan perkumpulan Tri Dharma, dia punya akar di masyarakat dan dia punya unit usaha dan yang terpenting lagi dalam proses pendidikan keuntungan yang diperoleh dikembalikan kepada proses pendidikan.
“Itu juga yang terjadi mengapa Universitas Binus begitu berkembang pesat. Memang komitmen awalnya sangat futuristic, komitmen awal keuntungan yang diperoleh dari pendidikan dikembalikan kepada proses pendidikan. Terakhir kan Binus punya TV, kampus lain tidak punya.”
Ending dari semua itu, menurut pria kelahiran Jepara ini kalau dirumuskan adalah totalitas. “Yang kurang di kita itu adalah totalitas, jadi tema besarnya adalah totalitas. Sesuai dengan tesis saya karena kita selalu tanggung, maka solusinya adalah membuat sesuatu melampaui yang sudah ada. Jadi ciptakan role model yang baru, kira-kira kita move on-lah, membuat resolusi ketika orang melihat menjadi terbelalak begitu. Kita bisa belajar bagaimana susahnya hidup tukang ojek yang disepelekan orang kemudian sekarang bisa ke mall, bisa bangga penghasilannya cukup. Dia patahkan itu dari sistem manual menjadi online,” katanya.
Menciptakan kesadaran berkomunitas
Berdasarkan pengalaman Sutrisno berkecimpung di pendidikan; menjadi guru, kepala sekolah hingga mengelola perguruan tinggi, melihat kolaborasi dan kerjasama umat Buddha masih sangat kurang.
“Yang kurang dari kita adalah kerjasama dan kolaborasi. Iklim itu harus dibangun, kesadaran berkomunitas harus dibangun. Konstruksi masyarakat kita yang paling sederhana adalah garavasa (perumah tangga) dan pabbajitta (samana). Sekarang gini, dari dua itu mana yang arus sumber dayanya besar, misalnya kalau orang menggalang dana paling gampang itu pabbajita atau garavasa? Misalnya pabbajita. Berarti pabbajita yang harus menghidupi secara finansial.
“Kita harus bekerja sama, di agama Buddha dinyatakan dua kelompok itu harus bekerja sama. Bentuk kerja sama itu tidak hanya, umat mendengarkan pembinaan kemudian ngasih dana, tidak cukup sampai di situ harus melahirkan peradaban. Kemudian apa potensi yang bisa dikerjakan oleh garavasa tetapi sulit dilakukan oleh pabbajita? Berjibaku dengan urusan keduniawian; manajemen, pengelolaan uang, bisnis membangun usaha, itu harus dilakukan.
“Harus ada skala prioritas, misalnya; umat awam bersama Sangha duduk bersama untuk merumuskan tahun 2020 kita kurangi pembangunan sarana ibadah, kita mulai fokus ke sarana pendidikan sampai 2040. Kemudian apa setelah 2040, misalnya kita menyentuh persoalan di masyarakat; sektor pertanian, usaha. Ada target, lagi-lagi harus ada target,” pungkasnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara