Sore hari pada bulan Juli 2016 lalu, di Vihara Mendut, Magelang. Bhante Pannyavaro yang duduk di kursi sedang batuk-batuk. Kemudian ada yang menyarankan kepadanya, kenapa kok Bhante tidak istirahat saja dan memulihkan diri dengan mengurangi ceramah-ceramah luar kota?
Kemudian Bhante tersenyum serta mengelus dada, jawabannya singkat, “Ya maunya juga begitu, ning ora mentholo, tidak tega melihat umat yang haus akan Dharma.” Kemudian pembicaraan terhenti, ada yang matanya merah karena menahan air mata berkat jawabannya, barangkali tersentuh karena kelembutan hati Bhante Pannyavaro.
Ditodong Pertanyaan
Pernah ketika bertemu Jaya Suprana, pakar kelirumologi dan juga pendiri Museum Rekor Indonesia (MURI), Bhante ditodong sebuah pertanyaan yang mungkin menjadi pertanyaan paling mendasar dari manusia sejak dahulu kala. Apakah pertanyaan itu?
“Bhante tidak usah basa-basi, ngalor-ngidul, tidak usah berbelit-belit, Tuhan ada atau tidak, Bhante?” Jaya Suprana mengajukan pertanyaan tersebut dengan wajah yang serius.
“Waduh… harus dijawab apa ini?” tutur Bhante dalam hati. Lantas Bhante hening sejenak dan Jaya Suprana masih menunggu jawaban ada atau tidak Tuhan itu.
“Begini, saya akan jawab dengan sebuah cerita sederhana. Ada seorang petapa, ia melakukan meditasi tentang kekosongan selama 20 tahun di sebuah gunung yang tidak ada manusia sama sekali di sana. Karena telah melakukan meditasi bertahun-tahun dengan tekun rambutnya ikut memanjang pun juga dengan janggutnya.
“Setelah merasa cukup dalam memeditasikan kekosongan, petapa ini turun gunung dan ingin membagikan hasil meditasinya ini pada banyak orang. Ketika turun, ia bertemu dengan penggembala kambing. Petapa ini lantas menceritakan tentang hasil meditasinya padanya.
“Aku tidak tertarik dengan ceritamu, hanya saja menurutku janggut kambingku lebih baik daripada janggutmu. Janggut kambingku lebih halus dan lebih putih. Sementara janggutmu kasar dan tak terurus,” penggembala kambing tersebut menyela.
Mendengar kalimat tersebut, petapa yang dengan susah payah menceritakan hasil meditasi kekosongan itu naik pitam, puluhan tahun meditasi hanya dikomentari soal janggut, dan janggutnya dibanding-bandingkan dengan janggut kambing?! Ia marah sekali.
Penggembala kambing itu kemudian nyelonong pergi begitu saja, “Percuma meditasi, jenggotnya disamakan dengan kambing saja tidak mau.”
Cerita Zen
Belum berhenti pada kisah pertama, Bhante Pannyavaro melanjutkan penjelasan dari pertanyaan Tuhan ada atau tidak. Kisah ini terjadi di Jepang. Ada seorang murid di jalan Zen pergi ke sebuah pulau terpencil untuk mendapatkan pencerahan. Ia meditasi lama sekali di sana, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Setelah mendapatkan pencerahan tentang Dharma, ia kemudian menaiki perahu dan kembali ke tempat gurunya serta menuliskan sebuah syair tentang percerahannya.
“Awan berarak tanpa rupa.
Angin bertiup ke segala arah.
Udara bercampur.
Langit biru.”
Mengetahui muridnya telah kembali dari meditasi yang lama, gurunya melihat syair yang telah dituliskan pada sebuah papan kayu. Gurunya langsung mengambil kuas merah dan menuliskan kata.
“Awan berarak tanpa rupa. KENTUT.
Angin bertiup ke segala arah. KENTUT.
Udara bercampur. KENTUT.
Langit biru. SEMUA KENTUT.”
Syair yang bagi muridnya adalah simbolik pencerahan, dicorat-coret oleh gurunya. Ia merasa tidak terima dan merasa dilecehkan. Ia marah sekali, kenapa gurunya merusak syairnya dengan tulisan kentut?
Gurunya yang mendengar aduan muridnya, hanya tertawa, “Cuma begitu saja kok marah. Jadi demikian hasil meditasimu bertahun-tahun?” kemudian muridnya tercenung dan menunduk.
Mendengar uraian dari Bhante, Jaya Suprana mengangguk-angguk, dan Bhante pun menutupnya dengan senyum lega. “Akhirnya saya bisa selamat dari Jaya Suprana,” tutur Bhante, dan kami pun tertawa.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara