Oleh: Maskur Hasan
Foto: Ngasiran
“Mbah, jenengan kok nanem pohon, entuke nopo?” tanya wartawan.
“ Nggih mboten entuk nopo-nopo, namung remen tur marem,” ujar Mbah Sukoyo.
Mbah Sukoyo. Sesepuh dusun Krecek yang saat ini sudah purna menjadi kepala dusun. Tubuhnya tampak ringkih. Namun hanya penampakannya saja. Tenaganya masih super. Jika diadu dengan anak-anak muda jaman now, termasuk saya, tidak ada apa-apanya. Tiap hari masih naik turun untuk ke lading. Kadang membawa cangkul, arit, rumput, dan tanaman-tanaman. Seakan tidak ada lelahnya. Sehari bisa dua hingga empat kali naik turun ladang. Itupun tidak dengan tangan kosong.
Mbah Sukoyo. Selalu tersenyum. Ramah, dan rendah hati. Sebagai seorang yang dituakan, beliau mempunyai karakter momong dan mengayomi. Tidak pelit dalam berbagi pengetahuan terutama tentang filosofi kehidupan, kebudayaan dan sejarah nenek moyangnya. Memikirkan generasi penerusnya dan memberikan kesempatan kepada anak-anak muda dan perempuan untuk ikut terlibat dalam setiap kegiatan.
Kemarin, saya sangat senang bisa membersamai beliau dan memberikan testimoni sebagai perwakilan AMAN Indonesia atas dedikasi mbah Sukoyo dalam merawat alam dan budaya di Temanggung. Terutama dusun Krecek, Getas Kaloran. Testimoni ini dalam rangka penilaian dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa tengah yang menjadikan mbah Sukoyo sebagai kandidat penerima penghargaan Kalpataru kategori perintis.
Saya tidak hanya memberikan testimoni soal menjaga alam, namun lebih dari itu mbah Sukoyo selalu merawat nilai-nilai yang terkandung dalam keseharianya, termasuk nilai-nilai tradisi lokal seperti Nyadran Makam, Nyadran Kali, Sesajen, dan tradisi lainnya. Juga pemikiran dan keterbukaanya dalam memberikan akses kepada anak muda dan perempuan untuk terlibat aktif. Tidak hanya sebagai pelengkap.
Saya mengenal mbah Sukoyo mulai tahun 2018, ketika AMAN Indonesia mengadakan kegiatan Sekolah Perempuan Perdamaian. Dilanjutkan dengan pengembangan pada kegiatan “Nyadran Makam” yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Tepatnya setiap Jum’at Pon bulan Rajab. Pesertanya dari dua dusun, yaitu dusun Krecek dan Gletuk. Dua dusun ini mempunyai latarbelakang agama yang berbeda, yaitu Budha, Islam dan Kristen. Untuk kegiatan Nyadran makam, mereka menjadi satu karena makamnya juga menjadi satu.
Dalam pengembangan atau inovasi tersebut kami mengambil tema Nyadran Perdamaian dengan tagline “Merawat Tradisi Lintas Generasi”. Semangatnya adalah agar nilai-nilai yang ada di Nyadran tersebut terserap oleh generasi mendatang dan kelak juga mempraktikkan dan memahami tentang nillai tersebut. Tidak hanya sebatas rutinitas nyadran. Maka mulai dari sinilah, akhirnya semua masyarakat termasuk anak-anak dan perempuan ikut tumplek blek mengikuti nyadran. Yang sebelumnya perempuan tidak ikut dalam nyadran di makam. Hal ini juga tidak lepas dari keterbukaan pemikiran mbah Sukoyo terus support kegiatan-kegiatan baik di masyarakat.
Saat ini beliau sudah menerima penghargaan dari Maskhun Sofwan Award dan Amartha Award. Semoga jenengan sehat selalu mbah agar kami bias terus belajar.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara