• Monday, 23 August 2021
  • Deny Hermawan
  • 0

Umumnya orang mengasosiasikan Sejarawan Inggris, Peter Carey, dengan tokoh Pangeran Diponegoro. Hal itu lumrah, lantaran karya awal utamanya terkonsentrasi pada sejarah Diponegoro dan Perang Jawa (1825–1830) yang ia terbitkan secara ekstensif,  biografi utamanya tentang Diponegoro, The Power of Prophecy, yang diluncurkan pada 2007, dan sebuah versi mendalamnya, Destiny; The Life of Prince Diponegoro of Yogyakarta, 1785–1855, pada 2014.

Namun kelihatannya belum banyak yang tahu kalau Peter Carey memiliki koneksi dengan sejumlah tokoh agama Buddha dunia, termasuk Indonesia. Salah satunya adalah Bhikkhu Dharmasurya Bhumi (1942-2020), salah satu tokoh umat Buddha Indonesia.

Kenangannya bersama beliau sempat ia tuliskan dalam buku The Quiet Storm (Bahana Badai Hening) yang diterbitkan oleh Gatha Foundation tahun 2021. Buku tersebut berisi berbagai cerita kenangan para murid Bhante Dharmasurya Bhumi.

“Mohon maaf, saya hanya kenal Bhante Dharmasurya Bhumi antara 2016-2019 di tiga tahun terakhir hidup,” ujar Peter Carey kepada BuddhaZine, Juli 2021.

Meski demikian, Peter memberikan pengakuan dari sudut pandang dirinya yang kurang terlatih secara spiritual, bahwa Bhante Dharmasurya Bhumi sudah berada di tahap kesucian arahat. Itu ia tuliskan dalam buku tersebut.

“Seseorang yang telah mendapat pencerahan mengenai sifat asli kehidupan dan mencapai nirwana, terbebas dari semua pengaruh kamma (hukum sebab dan akibat) dan roda kematian dan kelahiran kembali,” tulisnya mengenang sang guru.

Argumennya ini menurutnya tidak semata hasil dari peninggalan hidup yang bhante wariskan dalam bentuk relik serpihan tulangnya yang terkristalisasi dan berhiaskan lembaran emas setelah beliau dikremasi pada 24 Juni 2020. Tetapi juga dari kumpulan parami hasil keteladanannya sebagai seorang bhikkhu dan pengajarannya selama setengah-abad.

Berkah
“Hanya ada sedikit makhluk spesial yang menjadi berkah ketika kita jumpai dalam perjalanan pendek hidup kita di dunia fana ini. Dari dulu hingga sekarang, keberadaan mereka tidaklah terlupakan dan tak terlukiskan dalam artian bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan dengan baik,” ujarnya.

Peter mengaku bisa mengenang hanya setengah lusin manusia yang istimewa seperti ini. Salah satunya adalah Dalai Lama yang ia temui pada bulan Juni 2008 sebelum ia meninggalkan Oxford menuju Jakarta. Tokoh buddhis lain yang menurutnya istimewa adalah Ajahn Chah [1918-1992] yang ditemui di kutinya tahun 1988 dan Sangharaja Kamboja, Samdech Preah Mahāghosānanda [1913-2007] yang pernah menginap di tempat tinggalnya di Oxford.

Bhante Dharmasurya Bhumi menurut Peter berada di kategori yang sama dengan orang-orang yang disebutnya di atas. Mereka semua memiliki sifat mendalam, sederhana, dan mengharukan.

“Saya selalu diingatkan ketika beliau mendeham sedikit sebelum beliau angkat bicara, seakan akan menandakan bahwa kata-katanya tidak dipilih dengan enteng, dan memiringkan kepalanya dengan parasnya yang kuat seakan-akan dicetak perunggu,” tulisnya.

Salah satu ajaran dari Bhante Dharmasurya yang paling berkesan bagi Peter adalah ajaran tentang anicca atau kefanaan. Namun meski gurunya itu telah tiada, mengaku masih “berhubungan” dengan Bhante lewat alam mimpi.

“Di pagi hari setelah beliau wafat – 24 Juni 2020 – saya bermimpi sebelum subuh – sebuah mimpi sadar yang sangat kuat yang menunjukkan pada saya di mana tempat kita di alam semesta pada saat ini – sebuah mimpi sadar di mana saya berkelana meninggalkan bumi dan melihat planet kecil kita dari luar angkasa mengetahui bahwa beliau berada di sampingku dan menyadari, wah inilah rumah kita sekarang dan begitu luasnya kehidupan kita ini,” ungkap Peter yang mulai belajar buddhis dari Sangha Bhikkhu aliran Theravada sejak 1986.

Menurutnya, dari pengalaman mimpi itu, ada rasa finalitas mengenai semua yang dialami dan pengertian yang lebih mendalam untuk tidak lagi melihat semua hal dalam dimensi skala kecil. Namun dari sudut pandang kebesaran yang tidak bisa ia utarakan menggunakan kata-kata.

Sekejap
“Hanya dalam sekejap mata, namun terasa sangat kuat dan setelah kembali, segalanya terasa berbeda karena saya menyadari kalau kita sama sekali tidak hidup ‘selangkah demi selangkah dari hari ke hari’ seperti tulis Shakespeare, tetapi hidup dalam sebuah kebesaran dan memiliki karma kosmis. Semuanya sangat nyata dan tidak terlupakan,” katanya.

“Semuanya terasa ‘terus terang’ tanpa pertunjukan suara dan cahaya, dan tampaknya saya hanya memiliki satu pilihan —hanya ada kemungkinan dua ‘rumah’ – yang satu berkelanjutan setelah kita wafat, yang secara langsung berhubungan dengan ajaran Buddha yang diuraikan oleh Bhante Dharmasurya Bhumi dengan cemerlang sepanjang hidupnya,” pungkasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *