”Manusia tak akan pernah menuntaskan semua masalah mereka. Satu-satunya cara yaitu dengan membawa meditasi pada apa pun yang kamu derita,” Dipa Ma.
Kisah Buddha Gotama yang kita kenal mengikuti alur cerita seorang pahlawan sejati, Beliau meninggalkan istri dan anak-Nya serta melepaskan keduniawian untuk mencari penghidupan suci.
Dipa Ma mengikuti alur yang sama, tetapi dengan sebuah belokan yang tak terduga. Pada akhirnya ia membawa latihannya kembali ke rumah, menjalani pencerahannya di sebuah apartemen kota yang sederhana bersama putrinya. Tanggung jawabnya sebagai orangtua dimurnikan dengan latihan spiritualnya, ia membuat keputusan bukan berdasarkan rasa bersalah maupun kewajiban, melainkan berdasarkan kebijaksanaan dan welas asih yang timbul dari meditasi. Bukannya menarik diri pergi menyepi ke dalam gua atau hutan pertapaan, Dipa Ma justru tinggal di rumah dan mengajar dari ruang tidurnya- yang cukup seadanya, sebuah ruangan tak berpintu.
Latar belakang
Nani Bala Barua, belakangan dikenal sebagai Dipa Ma, lahir pada tahun 1911 di sebuah desa di dataran Chittagong yang kini menjadi Bangladesh. Budaya Buddhis yang mendarah daging di sana dapat dilacak silsilahnya dalam sebuah garis pada Buddha. Pada saat Dipa Ma lahir, latihan meditasi telah hampir lenyap dari kalangan keluarganya, meski mereka tetap melaksanakan semua kebiasaan serta ritual Buddhis.
Sekalipun sejak masih sangat belia ia telah tertarik secara mendalam terhadap agama Buddha, sebagaimana layaknya kebanyakan wanita Asia pada masanya, Dipa Ma hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengikuti pelatihan spiritual yang serius. Bagaimanapun, pada usia paruh baya, ia datang untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya pada meditasi, mencapai tingkat-tingkat meditasi pandangan terang yang mendalam hanya dalam waktu singkat. Ia menemukan jalan untuk memadukan keluarganya ke dalam jalan spiritualnya dan selanjutnya mengajarkan teknik-teknik spesifik untuk menerapkan meditasi di tengah kesibukan kegiatan sehari-hari.
Pengaruh Dipa Ma dirasakan sangat luas di Barat, sebagian karena hubungannya dengan ketiga pendiri Masyarakat Meditasi Pandangan Terang (Insight Meditation Society). Ia merupakan guru utama dari Joseph Goldstein dan Sharon Salzberg, serta salah satu di antara guru-guru Jack Kornfield. Kornfield mengenang bahwa pertanyaan yang pertama diajukan oleh Dipa Ma selalu adalah, “Bagaimana perasaanmu? Bagaimana kesehatanmu? Apakah kamu makan dengan baik?” Tak peduli siapa pun yang muncul atau bagaimanapun kondisi mereka pada saat itu, Dipa Ma selalu menyambut mereka dengan cinta. Baik Salzberg maupun Goldstein menyebutnya, “Orang paling menyenangkan dan penuh cinta yang pernah saya temui.”
Guru IMS, Michele McDonald-Smith menganggap perjumpaannya dengan Dipa Ma merupakan sebuah titik balik dalam hidupnya. “Pada saat saya bertemu dengannya,“ McDonald-Smith berkata, “kebanyakan yang ada adalah teladan pria – guru lelaki, Buddha laki-laki. Menjumpai seorang wanita perumah tangga yang tinggal bersama putri dan cucu laki-lakinya – juga yang begitu tercerahkan – itu jauh lebih mendalam dari yang dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Ia merupakan perwujudan dari apa yang sesungguhnya jauh di dalam lubuk hati saya inginkan, untuk menjadi seperti itu. Bagi saya yang merupakan seorang wanita perumah tangga, saya segera saja merasa, ‘Jika ia bisa melakukan hal ini, maka saya pun bisa.’”
Umat awam
Bagi umat awam yang berkomitmen pada pelaksanaan Dharma tetapi enggan meninggalkan rumah, pekerjaan, dan keluarganya, untuk hidup di kuil atau biara, Dipa Ma merupakan contoh yang gamblang tentang hal yang mungkin. Bahkan nama yang digunakannya menggambarkan identitasnya sebagai perumah tangga yang tercerahkan. Setelah di usia paruh baya melahirkan seorang anak yang sudah lama sangat dinantikan, seorang putri bernama Dipa, Nani Bala Barua mendapat nama panggilan “Dipa Ma,” yang berarti “Ibunda Dipa.” Kata Dipa berarti “cahaya atau pelita Dharma,” dengan demikian nama “bunda cahaya” menggabungkan dua hal penting dalam kehidupannya – Dharma dan semua yang terkait dengan peran dan fungsi ibu.
Masa awal kehidupan Dipa Ma mengikuti jalan hidup yang dapat diharapkan dari seorang gadis dusun di Timur Bengal. Pada usia 12 tahun, ia menikahi Rajani Ranjan Barua, seorang teknisi yang usianya dua kali lebih tua, yang pergi untuk bekerja di Burma seminggu setelah pernikahan mereka. Setelah dua tahun sendirian di rumah mertuanya, Dipa Ma muda dikirim ke Rangoon untuk menemani suaminya. Sungguh sangat mengecewakan bagi pasangan ini, Dipa Ma muda tidak kunjung hamil, dan menambah kesulitan ini, ibunya meninggal saat ia masih berusaha menyesuaikan dengan kehidupan barunya. Sekalipun sebenarnya bisa memiliki anak, ia kehilangan dua bayinya dan kemudian ia sendiri sakit parah. Melewati semua ini, Rajani bersikap sangat sabar, penuh cinta, dan bijak. Pasangan ini mengadopsi Bijov, saudara laki-laki Dipa Ma yang jauh lebih muda, dan Rajani menyarankan pada istrinya yang berduka agar memperlakukan setiap orang yang ia jumpai layaknya anaknya sendiri.
Dipa Ma membesarkan adik laki-lakinya, melahirkan Dipa, serta merawat suaminya. Bagaimanapun, pada saat Dipa Ma berusia empat puluhan, setelah Bijov dewasa dan meninggalkan rumah, mendadak Rajani wafat, meninggalkan Dipa Ma yang hancur. Selama bertahun-tahun ia terikat pada tempat tidurnya dengan penyakit jantung dan tekanan darah tinggi, sangat susah untuk dapat mengurus dirinya sendiri dan putrinya yang masih belia, dan ia yakin ia akan segera mati jika ia tidak dapat menemukan jalan untuk membebaskan diri dari beban kepedihannya. Ia membulatkan tekad untuk belajar meditasi, meyakini bahwa ini merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya. Tak lama sesudahnya, ia bermimpi tentang Buddha yang dengan lembut melantunkan bait-bait dari Dhammapada berikut:
Piyato jayati soko
Piyato jayati bhayam
Piyato vipamuttassa
Natthi soko kuto bhayam
Melekat pada apa yang dicintai membawa penderitaan
Melekat pada apa yang dicintai membawa ketakutan
Mereka yang telah sepenuhnya terbebas dari mencintai sesuatu lebih dari yang lain
Baginya tiada lagi kesengsaraan maupun ketakutan.
Terbangun dari mimpi tersebut, Dipa Ma merasakan sebuah ketetapan hati yang menenangkan, untuk sepenuhnya mengabdikan diri pada praktik meditasi. Ia menyerahkan semua peninggalan suaminya pada seorang tetangga yang ia minta untuk merawat putrinya, dan bersiap untuk pergi ke Pusat Meditasi Kamayut (Kamayut Meditation Center) di Rangoon, berniat untuk menghabiskan sisa hidupnya di sana.
Pagi hari pertama di pusat meditasi, Dipa Ma diberi ruangan dan instruksi dasar, serta diberi tahu untuk melapor ke aula meditasi pada akhir hari. Saat ia duduk dalam meditasi sepanjang hari, konsentrasinya dengan cepat makin mendalam. Kemudian, dalam perjalanannya menuju aula meditasi, ia mendadak menemukan bahwa ia tak dapat bergerak. Selama beberapa menit, ia bahkan tak dapat mengangkat sebelah kakinya, yang membingungkannya. Akhirnya ia menyadari bahwa seekor anjing telah membenamkan giginya di kakinya dan tak mau melepaskannya. Sungguh menakjubkan, konsentrasinya telah menjadi demikian mendalam, bahkan hanya dalam beberapa jam pertama pelatihan sehingga ia bahkan tidak merasakan sakit sama sekali. Akhirnya, anjing tersebut ditarik oleh beberapa bhikkhu. Dipa Ma pergi ke rumah sakit untuk mendapat suntikan anti rabies dan kemudian kembali ke rumah untuk pemulihan.
Sesampainya di rumah, putrinya yang sangat khawatir tidak mengizinkannya pergi lagi. Dengan kepraktisan karakter, serta kemampuannya untuk mengatasi masalah sulit yang tak biasa, Dipa Ma menengarai bahwa perjalanan spiritualnya akan harus mengambil bentuk yang berbeda. Menggunakan instruksi-instruksi yang diterima dalam retret singkatnya, ia dengan sabar bermeditasi di rumah, berkomitmen pada dirinya sendiri untuk melaksanakan pelatihan kesadaran dengan rajin, dari waktu ke waktu.
Meditasi
Setelah sekian tahun, Munindra, seorang sahabat keluarga yang tinggal dekat rumahnya, mendorong Dipa Ma, yang saat itu telah berusia 53 tahun, untuk datang ke pusat meditasi tempatnya belajar di bawah bimbingan guru termasyhur Mahasi Sayadaw yang terkenal. Pada hari ketiga di sana, Dipa Ma masuk ke dalam konsentrasi yang jauh lebih mendalam. Kebutuhannya untuk tidur menghilang, bersamaan dengan keinginannya untuk makan. Pada hari-hari berikutnya, ia melampaui tahapan-tahapan klasik dari “kemajuan dalam pandangan terang,” yang mengawali proses pencerahan.
Saat mencapai tingkat pertama, tekanan darahnya kembali normal, detak jantungnya juga menurun secara dramatis (menjadi tenang, tidak lagi merasa seolah jantungnya berdetak dengan keras), dan kelemahan yang membuatnya tak mampu menaiki tangga tergantikan dengan kebugaran yang bertenaga. Akhirnya, sebagaimana telah diramalkan Buddha dalam mimpinya, kedukaan yang telah membebaninya sedemikian lama, akhirnya sirna.
Sepanjang akhir tahun, Dipa Ma bolak-balik pulang-pergi antara rumahnya dan pusat meditasi, ia mengalami kemajuan pesat melalui tahapan-tahapan yang lebih jauh dalam jalan pencerahan. (Sebagaimana dijelaskan dalam Visuddhimagga, tradisi Theravada menandai 4 tahapan, yang masing-masing menghasilkan perubahan dalam pikiran, yang sangat jelas dan dapat ditengarai). Orang-orang yang mengenalnya menjadi tertarik dan ikut bergembira karena perubahannya, dari seorang wanita yang sakit-sakitan, terpukul oleh kedukaan, menjadi sosok yang tenang, kuat, sehat, dan bercahaya.
Perubahan
Terinspirasi oleh transformasi ini, keluarga dan teman-teman Dipa Ma, termasuk putrinya, ikut berlatih bersamanya di pusat meditasi. Salah satu yang pertama tiba adalah saudari Dipa Ma, Hema. Sekalipun Hema memiliki delapan orang anak, dengan lima di antaranya masih di tinggal bersamanya, ia berhasil meluangkan waktu untuk berlatih bersama Dipa Ma selama hampir setahun lamanya. Pada saat jeda sekolah, kedua ibu paruh baya yang memiliki enam orang anak bersama mereka. Mereka tinggal bersama sebagai sebuah keluarga, tetapi mengikuti disiplin pelatihan yang ketat, melatih keheningan, tidak saling memandang, dan tidak makan setelah tengah hari (attha-sila).
Pada tahun 1967, pemerintah Burma memerintahkan agar semua penduduk asing meninggalkan negeri. Para bhikkhu meyakinkan Dipa Ma, bahwa ia bisa memperoleh izin khusus untuk tinggal, sebuah kehormatan yang sangat tidak biasa dan sebelumnya tak pernah terjadi, bagi seorang wanita sekaligus orangtua tunggal, seseorang yang pada dasarnya sama sekali tidak memiliki posisi dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, meskipun ia ingin tinggal di Rangoon, Dipa Ma memutuskan untuk pergi ke Calcutta, yang mana putrinya akan dapat memperoleh kesempatan yang lebih baik dalam bidang pendidikan dan sosial.
“Jika kamu sibuk, maka kesibukan itulah meditasinya. Pada saat melakukan kalkulasi, sadarilah bahwa kamu sedang melakukan penghitungan. Meditasi selalu mungkin, pada saat kapan pun. Jika kamu sedang bergegas menuju kantor, maka kamu seharusnya berkonsentrasi pada ketergesaan tersebut.” – Dipa Ma.
Kondisi kehidupan baru mereka termasuk golongan menengah, bahkan berdasarkan standar Calcutta. Mereka tinggal di sebuah ruangan kecil di atas toko peleburan logam di tengah kota. Mereka tidak memiliki fasilitas air PAM, menggunakan tungku arang di lantai sebagai kompor masak, serta berbagi toilet bersama keluarga lain. Dipa Ma sendiri tidur beralaskan kasur jerami tipis.
Dengan segera kabar tersiar di Calcutta, bahwa seorang guru meditasi yang telah tercerahkan telah datang dari Burma. Kaum wanita, yang mencoba menyesuaikan pelatihan spiritual di tengah tuntutan tanpa henti untuk mengatur urusan rumah tangga mereka, bermunculan di apartemen Dipa Ma sepanjang hari, memohon petunjuk. Ia menerima mereka sebagai tanggung jawabnya dengan memberikan tuntunan yang bersifat pribadi per individu, yang disesuaikan dengan kehidupan masing-masing dari mereka yang penuh kesibukan – tetapi tanpa konsesi/mengambil keuntungan bisnis.
Baca juga: Menyentuh Ibunda dalam Diriku
Perjalanan panjang Dipa Ma dalam membimbing para perumah tangga sebenarnya telah dimulai di Burma. Salah satu siswi pertamanya, Malati, adalah seorang janda sekaligus ibu tunggal yang harus membesarkan enam orang anak. Pelatihan cerdas yang dirancang Dipa Ma dapat dilakukan Malati tanpa meninggalkan anak-anaknya, seperti contohnya, menghadirkan kesadaran penuh pada sensasi saat menyusui bayi dengan payudaranya. Persis sebagaimana diharapkan oleh Dipa Ma, dengan menerapkan meditasi pada saat mengasuh bayinya, Malati mencapai tingkat pertama pencerahan.
Di Calcutta, Dipa Ma kembali menghadapi situasi yang sama, lagi, dan lagi. Sudipti harus berjuang menjalankan bisnis sambil mengurus putranya yang berkebutuhan khusus serta ibunya yang disabilitas. Dipa Ma memberinya instruksi dalam latihan Vipassana, tetapi Sudipti bersikeras bahwa ia tidak dapat menemukan waktu untuk meditasi karena ia memiliki begitu banyak tanggung jawab dalam bidang bisnis dan keluarga. Dipa Ma memberi tahu Sudipti bahwa pada saat mendapati dirinya sedang berpikir tentang keluarga atau bisnis, maka Sudipti dapat memikirkan semua itu dengan penuh konsentrasi.
“Manusia tidak pernah dapat menuntaskan semua masalah mereka,” Dipa Ma mengajarkan, “Satu-satunya cara adalah dengan membawanya bersama meditasi, berkonsentrasi terhadap apa yang kamu derita. Dan jika kamu berhasil bermeditasi selama lima menit saja dalam sehari, maka kamu selayaknya melakukannya.”
Pada pertemuan pertama mereka, Dipa Ma bertanya pada Sudipti, apakah ia dapat bermeditasi saat itu juga di tempat itu selama lima menit. “Maka saya duduk bersamanya selama lima menit,” kenang Sudipti. “Kemudian ia begitu saja memberikan instruksi-instruksi meditasi, sekalipun saya berkata saya tidak punya waktu. Bagaimanapun, akhirnya saya dapat menemukan lima menit dalam sehari, dan saya mengikuti instruksinya. Dan dari lima menit ini, saya menjadi begitu terinspirasi. Saya bisa menemukan waktu yang lebih lama, dan kemudian lebih lama lagi, untuk bermeditasi, dan segera saja saya bermeditasi selama berjam-jam dalam sehari, sampai malam tiba, kadang bahkan sepanjang malam, setelah semua pekerjaan saya selesai. Saya menemukan waktu dan energi, yang sebelumnya tidak saya sadari bahwa saya memilikinya.”
Siswa India yang lain, Dipak, mengingat bagaimana Dipa Ma bercanda menggodanya, “Oh, kamu datang dari kantor, pikiranmu pasti sangatlah sibuk.” Tetapi kemudian Dipa Ma dengan sangat tegas memerintahkannya untuk merubah pikirannya. “Saya memberitahunya, bahwa bekerja di bank merupakan pekerjaan yang penuh dengan urusan kalkulasi/penghitungan, dan pikiran saya selalu tak dapat beristirahat,” ujar Dipak. “Sungguh mustahil untuk berlatih, saya terlalu sibuk.” Dipa Ma bersikukuh, bagaimanapun, memaksakan bahwa, “Jika kamu sibuk, maka kesibukan itulah meditasinya. Dan saat kamu sedang melakukan kalkulasi, sadarilah bahwa kamu sedang melakukan penghitungan. Meditasi selalu mungkin, pada saat kapan pun. Jika kamu sedang bergegas menuju kantor, maka kamu seharusnya berkonsentrasi pada ketergesaan tersebut.”
Praktik
Pelatihan dalam kehidupan rumah tangga di bawah bimbingan Dipa Ma bisa sangat penuh tuntutan, tak ubahnya kehidupan biara. Penuh kasih namun teguh, Dipa Ma meminta siswanya mengikuti lima sila (Pancasila Buddhis) dan hanya tidur selama empat jam dalam semalam, sebagaimana yang dilakukan Dipa Ma sendiri. Para siswa bermeditasi berjam-jam dalam sehari, melapor padanya beberapa kali dalam seminggu, dan dengan dorongannya melaksanakan pelatihan pribadi, yang mereka jalani dan atur sendiri.
Joseph Goldstein mengenang bagaimana pada saat terakhir ia menemui Dipa Ma, Dipa Ma memberitahunya bahwa ia seharusnya duduk selama dua hari – artinya bukanlah dua hari pelatihan, melainkan benar-benar duduk selama dua hari tanpa jeda. “Saya mulai tertawa, karena itu nampak sungguh di luar kemampuan saya. Tetapi ia melihat pada saya dengan penuh welas asih, dan ia hanya berkata, ‘Jangan malas !’“
Cara Dipa Ma tidaklah terikat pada tempat, guru, gaya hidup, atau bahkan model biara tertentu. Dunia adalah biaranya, bertindak layaknya seorang ibu dan mengajar adalah cara latihannya. Ia merengkuh dan memadukan keluarga dan meditasi menjadi satu kesatuan, dalam sebuah hati yang bersikeras menolak untuk melakukan pembedaan dalam kehidupan. “Dipa Ma memberi tahu saya, ‘menjadi seorang istri, menjadi seorang ibu – ini adalah guru-guru awal saya’,’ kenang Sharon Kreider, seorang ibu yang belajar pada Dipa Ma. “Ia mengajarkan pada saya, bahwa apa pun yang kita lakukan, tidak masalah apakah ia seorang guru, seorang istri, seorang ibu – mereka semua mulia. Mereka semua setara.”
Baca juga: Senyuman Cahaya
Dipa Ma menjadi bukan saja “suciwan pelindung kaum perumah tangga,” sebagaimana salah seorang siswanya menyebutnya, tetapi juga sekaligus merupakan perwujudan dari latihan itu sendiri, dan bukannya sekadar seseorang yang sedang menjalankan latihan. Bagi Dipa Ma, semata-mata berlatih untuk ada pada saat sekarang, menjadi sepenuhnya sadar, sepanjang waktu, dalam setiap situasi, Dipa Ma merupakan demonstrasi hidup bahwa hakikat sejati dari pikiran adalah kekinian. Joseph Goldstein berkata, bahwa bersama Dipa Ma sama sekali tidak muncul kesan tentang adanya seseorang yang sedang mencoba bermeditasi; yang ada hanyalah meditasi semata, yang terjadi dengan sendirinya.
“Pikirannya tidaklah membuat pembedaan-pembedaan,” tutur guru meditasi Jacqueline Mandell. “Bermeditasi, bertindak layaknya seorang ibu, dan berlatih, semuanya mengalir dan berkesinambungan satu sama lain dengan sendirinya tanpa paksaan sama sekali. Mereka semua sama. Mereka merupakan satu kesatuan. Tidak ada tempat khusus untuk berlatih, tidak ada lingkungan khusus, tidak ada sesuatu yang khusus apa pun. Semuanya adalah Dhamma.” Dipa Ma menekankan pada para siswanya untuk memperhitungkan setiap momen waktu dan menggarisbawahi untuk menyertakan meditasi dalam proses memasak, menyeterika, berbicara, atau aktivitas harian apa pun lainnya. Ia sering berkata bahwa keseluruhan cara meditasi sesungguhnya adalah semata-mata kesadaran tentang apa pun yang sedang Anda lakukan, “Selalu sadari apa yang sedang kamu lakukan,” demikian ia akan berkata, “Kamu tidak bisa memisahkan meditasi dari kehidupan.”
Mangkat
Pada saat mangkatnya di tahun 1989, Dipa Ma memiliki ratusan siswa dari Calcutta dan sekelompok besar pengikut Barat. Arus pengunjung yang tak putus terus menerus berdatangan ke apartemennya sejak subuh hingga jauh malam. Ia tak pernah menolak siapa pun. Saat putrinya mendorongnya untuk meluangkan lebih banyak waktu bagi dirinya sendiri, Dipa Ma akan menjawab, “Mereka lapar akan Dhamma, jadi biarkanlah mereka datang.”
Dipa Ma dikenang bukan hanya karena meditasinya yang tanpa banding maupun instruksi-instruksi langsungnya, tetapi juga karena caranya mewariskan Dhamma melalui pemberkahan. Sejak saat ia bangun pada setiap pagi, ia memberkati apa pun yang berhubungan dengannya, termasuk binatang dan bahkan objek-objek tak bergerak. Ia memberkati setiap orang yang dijumpainya dari kepala hingga kaki, meniupi mereka (yang merupakan salah satu cara pemberkatan secara tradisi) dan menjapa mantra serta mengusap rambut mereka.
Para siswanya selalu mengingat bagaimana mereka seolah dibasuh dengan cinta, sebuah perasaan yang demikian kuat dan mendalam yang mereka ingin tak kan pernah berakhir. Bahkan hingga hari ini, salah seorang siswa Dipa Ma, Sandip Mutsuddi, masih senantiasa membawa foto Dipa Ma dalam saku kemejanya di dekat hatinya. Beberapa kali dalam sehari, ia mengeluarkan foto Dipa Ma untuk memberikan penghormatan serta membantunya mengingat ajaran-ajaran Dipa Ma. Sandip telah melakukan hal ini setiap hari sejak mangkatnya Dipa Ma.
Para praktisi awam sering merasa terkoyak antara latihan spiritual dengan kebutuhan keluarga, pekerjaan, serta kehidupan sosial. Kita tahu bahwa dilema-dilema kita dewasa ini tidak dapat dipecahkan dengan cara memisahkan bagian-bagian dari kehidupan kita dan lebih mementingkan yang satu dibanding yang lain, namun tetap saja kita mudah tersesat saat dilema seperti itu muncul. Barangkali gambaran Dipa Ma dapat bersemayam dalam hati kita sebagai pengingat, bahwa kita tidaklah harus memilih. Setiap dilema dapat diterima sebagai berkah, menantang kita untuk menemukan, lagi, dan lagi, dan sekali lagi, jalan tengah yang sama sekali bukan di luar perasaan welas asih kita. Barangkali pula proses yang sama yang membuka tantangan-tantangan seperti itu akan menghasilkan sebentuk “pelatihan dalam keluarga/rumah tangga“ yang dapat merefleksikan, bahwasanya Dharma sesungguhnya dapat dijalankan pada tempat dan waktu kita. (Amy Schmidt /lionsroar.com)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara