“Teknologi, ini yang tidak ditemukan sampai sekarang, kan diperkirakan sudah pakai besi, terus besinya ditaruh di mana pada waktu itu. Kalau sudah dibuat pada zaman batu, masak sampai sekarang tidak ada bekasnya, harusnya ada lah. Jadi saya bilang memang pasti orang dulu itu sakti-sakti!”~ I Nyoman Alim Mustofa.
Berbicara tentang Candi Borobudur memang seolah tidak ada habisnya. Kemegahan arsitektur serta pahatan bangunan candi yang sarat nilai filosofis ini mengundang tafsir banyak kalangan tentang kecanggihan dan kehebatan nenek moyang bangsa Jawa pada masa lalu.
I Nyoman Alim Mustofa, salah satu pemahat kebanggaan Indonesia ini mengungkapkan kekagumannya kepada Candi Borobudur. Menurutnya, di zaman yang serba canggih saat ini belum tentu orang dapat membuat maha karya seperti Borobudur.
“Saya dulu mengagumi Borobudur, kan dulu saya dari Bali ya. Keindahan pahatan di Bali itu hampir sama dengan Borobudur tetapi, kalau Borobudur itu bahannya kan dari batu yang keras, berbeda dengan Bali yang bahannya dari batu padas yang empuk jadi enak dipahat. Bahannya dari batu keras kok pahatannya bisa sangat bagus begitu, berarti dulu itu teknologinya kan harusnya lebih canggih orangnya jauh lebih pintar,” tuturnya kepada Buddhazine di Sanggar Nakula Sadewa, Kota Mungkit beberapa bulan lalu.
Sebuah kemegahan
Melihat Candi Borobudur membuat pemilik Sanggar Nakula Sadewa ini hampir tidak percaya kalau Borobudur dibuat oleh manusia. “Bayangkan, Borobudur yang seperti itu, batu ditumpuk-tumpuk, ada gerbangnya, ada lubang tidak memakai semen tetapi bisa bertahan ribuan tahun gitu, itu yang saya kagumi. Saya sendiri saat ini kalau dikasih urang ratusan triliun disuruh membuat kalau tidak pakai beton tidak mau kok, pasti runtuh. Itulah makanya saya lebih percaya kalau seperti cerita Bandung Bondowoso yang membuat seribu candi dalam satu malam.”
Saya lebih kagum lagi, “Di Borobudur itu ada relief tentang kehidupan Buddha Gautama itu kan bersambung, tidak mungkin orang membuat cerita itu dalam sekian tahun langsung jadi. Mungkin bisa berabad-abad sampai beberapa generasi baru bisa jadi. Kok cerita itu bisa nyambung gimana nggambarnya? Kalau sekarang saya membuat cerita Buddha lahir, kemudian berjalan melihat orang sakit orang mati kemudian memotong rambut, itu kan ada di buku, bisa dibaca, kalau dulu di mana naruhnya cerita itu. Gimana caranya mentransfer dari generasi ke generasi, generasinya kan waktu itu belum tau relief karena belum jadi, dan tidak ada buku, terus kok ceritanya bisa nyambung? Itulah kemudian yang saya katakan tadi ada kekuatan lain”.
“Kalau orang awam yang katanya meneliti, mempelajari terus menulisnya dengan kertas, itu kan batu tidak bisa kira-kira, bukan berdasarkan yang benar-benar membuat, kalau saya kan memang membuat dan asli membuat. Tapi saya mengatakan tidak mungkin, saya sendiri kalau tidak ada beton di dalamnya saya tidak bisa, runtuh pasti!” tegasnya.
Paling sulit adalah membuat patung Buddha, kalau yang lain itu mudah. Tetapi kalau Buddha itu kan punya khas, bagaimana membuat patung Buddha itu benar-benar hidup, itu yang paling sulit, ketika orang melihat benar-benar merasakan bahwa patung itu punya jiwa. Seperti di Borobudur itu kan benar-benar punya jiwa dan hidup. Itulah kesulitannya, kalau yang lain itu mudah.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara