Puluhan pasang mata anak-anak muda itu menatap kosong. Tanpa kuasa mengeluarkan suara tanpa kuasa mengeluarkan kata-kata. Di hadapan mereka, berbaring dalam peti jenazah dr. Krishnanda Wijaya Multi. Malam itu ruang EF Rumah Duka Atmajaya, Pluit, Jakarta Utara ramai dipadati para pelayat. Namun kesenyapan dan kesepian terasa hadir menyergap hati sanubari mereka. Mata mereka pun tampak berkaca-kaca, seakan tak kuasa menerima datangnya suatu kehilangan.
Tak ada di antara mereka yang tak merasa kehilangan. Larut dalam duka terserap dalam senyap, sebagaimana dengan keluarga dekat almarhum maupun para pelayat yang terus berdatangan tak putus-putus. Di mata puluhan atau bahkan ratusan anak-anak muda itu yang merupakan anak asuh beasiswa Yayasan Dharma Pembangunan, sosok dr. Krishnanda Wijaya Mukti telah mereka anggap sebagai orangtua.
Di mata mereka, almarhum bukan hanya sekadar donatur yang memberikan beasiswa, namun juga sebagai orangtua, guru, pembimbing dan bahkan bapak ideologis mereka. Tidak berlebihan bila mata mereka yang berkaca-kaca itu pun memperoleh sambutan dengan turunnya hujan yang cukup deras. Langit malam yang gelap seakan merestui kesedihan dan rasa kehilangan mereka.
Memang, bagi mereka –seperti diwakili oleh Isyanto ketika diwawancarai BuddhaZine, “Pak Krish adalah orangtua utama kami (anak asuh Dharma Pembangunan dari berbagai daerah) di Jakarta, yang tidak hanya membimbing, tapi juga menjadi inspirasi bagi kami semua.” Bagi anak-anak muda Buddhis yang datang dari berbagai daerah itu, dr. Krishnanda dengan segala bimbingan yang diberikannya dan segala fasilitas yang disediakannya, merupakan oase dan sumber mata air yang berlimpah yang sangat dibutuhkan ketika mereka sedang berkelana di rimba Jakarta mengukir masa depannya.
Mereka anak-anak muda yang sedang menjemput masa depannya menuntut ilmu. Di samping memperoleh beasiswa –pada tingkat menengah bersekolah di Sekolah Tri Ratna di mana almarhum sebagai ketua yayasan sekolah tersebut, Yayasan Pendidikan Tri Ratna, maupun yang berstudi di perguruan tinggi– di mana dr. Krishnananda juga menyediakan beberapa tempatnya bagi anak-anak muda itu tinggal. Adalah sangat tepat, jika Isyanto menganggap Pak Krish sebagai orangtua utama mereka.
Sekarang orangtua utama mereka telah menyelesaikan masa karmanya di dunia ini. Hari-hari ke depan tampaknya rasa sepi akan semakin menyergap mereka. Para penghuni pondokan yang terletak di Jl. Kerajinan Dalam No. 16 Jakarta yang merupakan tempat almarhum berpraktek sebagai dokter, dan juga di mana mereka sehari-hari bertemu. Hal yang sama juga mungkin terjadi bagi mereka, para mahasiswa yang menempati sebuah rumah di Jl. Percetakan Negara VB, rumah yang bersebelahan dengan tempat tinggal almarhum. Tempat yang terakhir ini juga menjadi rumah tinggal bagi para aktivis dan menjadi alamat organisasi pergerakan mahasiswa Buddhis, Hikmahbudhi.
Tentu saja, tempat-tempat tersebut memiliki makna yang sangat dalam bagi mereka, anak-anak asuh Yayasan Dharma Pembangunan maupun aktivis mahasiswa Buddhis, sebuah tempat di mana keberhasilan dan kesuksesan mereka berawal. Tempat di mana bagi mereka dr. Krishnanada adalah orangtuanya, “bapak utama bagi mereka” dari keluarga besar yang mereka wujudkan. Sebuah tempat yang tidak semata untuk berteduh secara fisik-lahiriah, namun juga tempat tepaan kawah candradimuka dalam memperoleh bimbingan, inspirasi dari dr. Krishnananda. Tempat di mana mereka menimba segenap pengetahuan dan pandangan-pandangan dr. Krishnanda mengenai Buddhadharma dan menyelami obsesif dr. Krishnanda tentang komunitas yang dicita-citakannya.
Meski dikatakan Isyanto, “Beliau tidak banyak bicara”, namun sesungguhnya mereka memperoleh banyak pelajaran. Tambah Isyanto, “Cara pandangnya seringkali tidak kami pahami terkait Buddhadharma yang inklusif, sekte dan kebangsaan. Banyak hal yang baru saya pahami setelah banyak belajar di luar. Pak Krish sedikit dari tokoh Buddhis yang pemikiran dan kajiannya sangat progresif, yang seringkali menyegarkan, bahkan menyentil para pemimpin.”
Bagi mereka, dr. Krishnanda yang meninggal dunia dengan tenang pada hari Minggu, 6 Maret 2016 pukul 01.37 WIB di RS Evasari Jakarta merupakan sosok yang telah banyak berjasa dan patut diteladani. Bukan saja sosok yang telah banyak menghantar anak-anak muda daerah ke pintu gerbang keberhasilan dan kesuksesan, namun juga sosok idealis, kritis, konsisten dan cenderung obsesif (untuk segala yang baik) terhadap cita-cita yang diperjuangkan dan yang sulit ditemukan pada tokoh Buddhis lainnya.
Intelektual Berwawasan
Dr. Krishnanda yang lahir di Sukabumi, 17 Maret 2016 atau tepat pada hari ini, dan meninggal pada usia 67 tahun adalah tokoh yang tak bisa dipisahkan dari pergerakan mahasiswa Buddhis. Sebagai pendiri KMBJ (Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta), ia memiliki pandangan dan wawasan yang berbeda dengan rekan-rekannya, atau tokoh Buddhis pada umumnya. Sebagaimana nama majalah atau buletin KMBJ waktu itu yang bernama Hikmah Budhi sesungguhnya telah menyimpan wawasan yang lebih luas dan jauh ke depan akan suatu komunitas dan pergerakan mahasiswa Buddhis yang kurang lebih menjadi angan-angan dari dr. Krish ini. Hikmabudhi sebagai pergerakan mahasiswa berspiritkan Buddhadharma yang tidak menjauhkan dari isu-isu sosial kebangsaan akhirnya berdiri juga di era reformasi oleh peran-serta sejumlah anak-anak ideologisnya.
Sesungguhnya, di penghujung era Soeharto di tahun 1990-an, KMBJ melalui beberapa aktivisnya yang kritis-ideologis telah memainkan peran sebagai organisasi mahasiswa yang juga setara dengan organisasi mahasiswa dan gerakan pemuda nasional lainnya. KMBJ ini turut menyuarakan dan menggerakkan isu-isu kebangsaaan. Sejumlah seminar nasional-kebangsaan diselenggarakan meskipun tidak banyak dihadiri oleh kalangan dan tokoh-tokoh Buddhis. Namun begitu, kegiatan yang bersifat nasional-kebangsaan itu nyatanya telah turut menggerakkan seorang aktivis KMBJ, Daniel Johan yang juga pernah bersekolah di Sekolah Tri Ratna menjelma menjadi aktivis nasional dan kini duduk sebagai anggota DPR RI 2014-2019.
Tokoh Buddhis dengan sejumlah jabatan yang pernah disandangnya ini, antara lain: Sekretaris Presidium MBI (Majelis Buddhayana Indonesia), Ketua dan Pendiri BKPB (Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis), Pengawas Yayasan Ashin Jinarakkhita, dan juga sempat sebagai Pembimas Kanwil Depag DKI Jakarta, di samping kesehariannya berpraktek sebagai dokter. Pendiri Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta –yang menjelma menjadi Hikmahbudhi– ini dikenal sebagai seorang yang kritis, penuh semangat, tidak takut berseberangan pendapat, memiliki pendapat dan pandangan serta sikap yang konsisten namun berwawasan dan tetap menyimpan rasa persahabatan.
Karya tulisnya berupa buku tebal berjudul Wacana Buddhadharma, kiranya akan menjadi karya utamanya yang terus dikenang dan dipelajari. Selain itu ada tiga buah buku lainnya, di antaranya Berebut Kerja Berebut Sorga, yang merupakan kumpulan tulisannya yang diangkat dari tulisan-tulisannya ketika mengisi mimbar Buddha di harian Suara Karya sepanjang tahun 1980-an.
Karya-karya itu merupakan buah intelektualitasnya yang mencerminkan minatnya yang besar dalam mengembangkan dan mengaplikasikan Buddhadharma berhadapan dengan persoalan-persoalan kehidupan yang berkembang, kemasyarakatan maupun kebangsaan. Sungguh warisan intelektual tak ternilai dan penuh inspiratif dari seorang penulis produktif, bapak asuh, bapak ideologis bagi anak-anak Yayasan Dharma Pembangunan, mahasiswa, aktivias Buddhis, maupun generasi muda dan generasi selanjutnya.
Imagined Communities
Kita kenal sosok ilmuwan terkemuka Benedict Anderson, seorang Indonesianis ahli ilmu politik dan sejarah yang belum lama ini meninggal (Malang, Batu 13 Desember 2015, dalam usia 79) dan terkenal dengan bukunya Imagined Communities. Barangkali dengan meminjam istilah “imagined communities” inilah, tidak salah bila kita tidak meninggalkan segala pemikiran, cita-cita, idealisme, dan bahkan obsesif dr. Krishnanda Widjaja Mukti terhadap komunitas Buddhis yang diangan-angankannya.
Bagi mereka yang merasa kehilangan, keluarga besar Dharma Pembangunan, idelisme-cita-cita dr. Krishnanda yang juga seorang Maha Upasaka Pandita bernama Dharmachandra pasti akan terus terbayangkan dan membayangi langkah hidupnya. Komunitas Buddhis yang dicita-citakan dan didambakan di mana di dalamnya segala perbedaan pendapat adalah bukan saling meniadakan atau terlebih bermusuhan. Bayangkan komunitas Buddhis di mana segala aliran Buddhis dapat hidup berdampingan dengan penuh saling toleransi. Bayangkan di mana komunitas Buddhis disemangati oleh nilai-nilai Dhama yang inklusif.
Bayangkan komunitas di mana anak-anak Buddhis dapat berlaku baik dan memberi salam Buddhis ketika bertemu saudara se-Dharmanya. Bayangkan komunitas di mana anak-anak muda Buddhis penuh dengan idealisme, bersemangat, kritis, selalu mau belajar, berjiwa kebangsaan dan disyarati nilai-nilai Buddhis yang progresif. Bayangkan sebuah komunitas Buddhis yang terdidik dan terpelajar di mana dr. Krishnananda telah memulai dan mengawali dan menggerakkan seluruh daya hidup dan jiwanya berbakti untuk kebanggaan Buddhis, dunia pendidikan dan penulisan hingga akhir hayatnya.
Meski semua itu hanya dalam visualisasi, imagine, atau bahkan serasa sebuah mimpi, namun bila kita mau jujur, kita juga akan yakin dan mengakui bahwa cita-cita, idealisme atau bahkan obsesif dr. Krishnanda akan sebuah komunitas Buddhis yang sedemikian itu akan juga bersemayam di dalam hati sanubari kita semua. Dr. Krishnanda bukan seorang pemimpi, dan andaikan hal itu pun benar hanya mimpi, ia telah memulainya, berupaya mewujudkan dan mengerjakannya.
Segenap hidupnya, hingga menjelang akhir hayat, semangat, daya memajukan Buddhadharma itu tetap membara dan membahana. Foto-foto dirinya yang beraktivitas di hari-hari akhirnya seakan memperlihatkan hal itu. Sungguh di balik kecil tubuhnya, sakit dan ringkih badannya itu tampak tidak mengalahkan semangatnya untuk berbakti dan tetap berjuang di hari-hari akhirnya. Sungguh sebuah pelajaran dan teladan semangat dan bakti yang luar biasa dan pantas terus digelorakan, dan kita pun akan sepakat mengatakan: dr. Krishnanda, you aren’t a dreamer, and you aren’t alone! Dan kita berharap suatu masa kita dapat bersama kembali!
Sekelumit kenangan bersamanya ketika sempat menetap di Jl. Kerajinan Dalam 16, Jakarta Barat selama beberapa tahun. Dari tempat itu, saat di mana anak asuh belum ada dan belum banyak bermunculan, ia bersama penulis (Dhammasukha Jo Priastana) di awal 1980-an, mendirikan sebuah Lembaga Dokumentasi-Informasi Kalyana Mitta. Sebuah aktivitas mendokumentasikan dan menginformasikan kegiatan Buddhis melalui kliping Buddhis yang bertebaran di banyak media massa saat itu. Kemudian kegiatan ini menjadi kegiatan jurnalistik dengan terjun langsung meliput peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam komunitas Buddhis dengan menerbitkan Lembaran Berita Buddhis Nasional “Proyeksi”.
Sebuah kegiatan yang merupakan peletak dasar jurnalistik bagi komunitas dan awal minat penulis yang nyatanya suratan karma selanjutnya menuntun penulis menjadi larut menerbitkan berbagai buletin, majalah, tabloid Buddhis atau sebagai pemimpin redaksi dan kontributor naskah. Tidak dipungkiri spirit jurnalistik yang berawal pada Lembaran Berita Buddhis “Proyeksi” itu, turut pula meresapi berdirinya BuddhaZine bersama Sutar Soemitro saat ini.
Semoga Demikian Adanya
Di penghujung akhir kehidupannya, pada 12 Februari 2016, ketika penulis melalui email sempat mengucapkan terima kasih atas kiriman materi pembelajaran Buddhisme dan pendidikan darinya, materi pembelajaran yang disampaikan untuk para mahasiswa Program Strata 2 STAB Nalanda.
“dr. Krish, trims banyak. Materi Buddhism yang sangat bagus, penting dan relevan untuk kemajuan agama Buddha dan dunia pendidikan Buddhis, kan diteruskan ke generasi selanjutnya. Terima kasih, semoga lekas sembuh kembali pulih, tetap semangat. Salam dan doa. Jo Priastana.”
Dr. Krish menjawab dan hanya membalas: “ Sama-sama, terima kasih juga Pak Jo. Semoga demikian adanya…”
Dokter Krish, semua memang ada waktunya, segalanya memang ada masanya. Ketika sang kala telah tak berpihak lagi, dan saat gemericik embun yang menempel di dedaunan itu jatuh ke tanah di pagi senyap yang seakan melantunkan setitik duka, maka mata hati kami pun berkaca dalam keheninganmu, berdiam dalam kedamaianmu. Sunyi dan senyap menyelinap ke dalam relung hati. Segala sesuatu memang demikian adanya, tidak cepat ataupun lambat, tidak kurang atau lebih, sempurna dan baik adanya.
Dokter Krish, selamat jalan, selamat menyeberang, selamat tiba di pantai seberang. Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhi Svaha!
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara