• Sunday, 16 August 2020
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Siapa yang tak kenal dengan Yasodhara? Beliau adalah putri Kerajaan Koliya yang menjadi pendamping Buddha Gautama di kelahiran terakhir beliau di dunia. Ayahnya adalah adik Raja Suddhodana, ayah dari Pangeran Siddhartha. Yasodhara lahir bersamaan dengan kelahiran Pangeran Siddhartha dan juga Pangeran Ananda, anak dari Raja Amitodana.

Selain nama Yasodhara, beliau juga dikenal dengan nama Bimbadevi karena kejelitaannya yang menyerupai seorang dewi, dan Bhaddakaccana – nama beliau setelah menjadi seorang bhikkhuni. Pertalian antara Putri Yasodhara dengan Pangeran Siddhartha telah berlangsung sejak lama.

Awal perjumpaan

Awal perjumpaan Putri Yasodhara dan Pangeran Siddhartha dimulai sejak zaman kehidupan Buddha Dipankara. Kala itu, pangeran adalah seorang pertapa bernama Sumedha sedangkan Yasodhara adalah seorang brahmani bernama Sumitta.

Suatu hari, Buddha Dipankara beserta rombongan berangkat dari Vihara Sudassana menuju Kota Ramma. Orang-orang pun berlomba membersihkan jalan yang akan dilalui Buddha Dipankara dan rombongan-Nya.

Pertapa Sumedha kemudian memilih sebuah jalan yang belum sempat dibersihkan dan membaringkan dirinya sendiri di atas jalan tersebut. Melihat kesungguhan pertapa Sumedha, brahmani Sumitta menjadi iba dan memberikan lima Teratai kepada Sumedha untuk dipersembahkan kepada Buddha sedangkan tiga sisanya akan dipersembahkannya sendiri kepada Buddha.

Disinilah brahmani Sumitta bertekad agar dia dapat selalu mendampingi pertapa Sumedha dalam menyempurnakan jasa kebajikannya. Buddha Dipankara yang mengetahui tekad kedua orang ini kemudian menerawang dan mengetahui bahwa pertapa Sumedha memenuhi delapan kondisi untuk menjadi seorang Samma Sambuddha.

Beliau kemudian menyatakan kepada khalayak bahwa pertapa Sumedha akan menjadi seorang Buddha di masa mendatang bernama Gautama dan bahwa Sumitta akan menjadi pendampingnya dalam usahanya merealisasikan pencerahan.

Istri yang setia

Setelah menikah dengan Pangeran Siddhartha, Yasodhara berbahagia dan kemudian mengandung seorang putra. Kelahiran putra mereka yang diberi nama Rahula oleh Pangeran Siddhartha menjadi momentum pangeran untuk memutuskan meninggalkan keduniawian dan mencari obat kebahagiaan sejati.

Sejak kepergian pangeran, putri harus membesarkan anak mereka sehingga beliau sering disebut Rahulamata – ibunya Rahula. Ayah Putri Yasodharā menjadi sangat marah terhadap Pangeran Siddhārtha dan merasa dipermalukan. Dia pun meminta putrinya untuk kembali ke kerajaan Koliya. Permintaan tersebut ditolak oleh sang putri. Putri lebih memilih untuk tetap setia menunggu kepulangan suaminya yang mengembara menjadi seorang pertapa.

Untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dan dilakukan oleh suaminya, Putri Yasodharā selalu berusaha mencari tahu dan memperoleh kabar tentang kehidupan pangeran sebagai seorang pertapa. Dengan penuh kesetiaan pula beliau berlaku selayaknya pertapa wanita. Demikianlah beliau membesarkan anaknya sambil mengikuti perjuangan suaminya. Para pelayannya pun mengikuti laku serupa.

Ketika mendapat kabar burung bahwa pertapa Siddhārtha meninggal, dia terpukul. Tetapi mengingat ramalan dan namanya, Raja Suddhodana meyakinkan istri dan menantunya bahwa pangeran belum meninggal sebelum memperoleh apa yang diharapkannya. Sampai suatu hari mereka mendapat kabar bahwa pangeran telah berhasil menjadi seorang Buddha. Mereka bersukacita menunggu kepulangan anak dan suami yang kini telah menjadi orang suci.

Pada hari kedatangan Buddha, Yasodharā menunjukkan kepada anaknya Rāhula tentang kebesaran dan kemuliaan seorang manusia agung, ayahnya itu. Dia pun mengungkapkan ciri-ciri manusia agung yang ada pada tubuh Buddha. Sebagai seorang istri, Yasodharā dengan sabar menunggu kedatangan Pangeran Siddhārtha yang kini telah menjadi Buddha.

Mendengar laporan pelayannya bahwa Buddha telah berdiri di depan pintu kamar, putri tidak dapat lagi menahan keinginannya untuk bertemu suaminya itu. Dia pun segera keluar dan menangis di bawah kaki Buddha.
Raja kemudian menceritakan perilaku putri yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Buddha ketika menjalani kehidupan suci.

Bahkan ketika banyak bangsawan dan pangeran yang berusaha memikatnya, putri tidak melirik sedikit pun. Demikian setianya Putri Yasodharā kepada suaminya. Tak terkalahkan! Kemudian Buddha pun dengan kemampuanNya mengingat kehidupan masa lalu menceritakan kisah kesetiaan sang putri yang tidak hanya dilakukannya pada masa kehidupan saat ini, tetapi juga sejak kehidupan-kehidupan di masa lampau.

Candakinnara Jātaka

Suatu ketika, Yasodharā pernah hidup sebagai Kinnari bernama Candaa. Suaminya adalah Kinnara bernama Canda. Suatu hari, ketika mereka sedang bermain di sebuah sungai, seorang raja bernama Brahmadatta yang gemar berburu melihat Candaa dan jatuh hati kepadanya.

Brahmadatta adalah raja yang berkuasa penuh di seluruh India saat itu. Raja itu lalu memanah Canda, suami Candaa. Candaa menangis melihat kematian suaminya dan mengusir raja yang berniat menjadikannya permaisuri.

Sambil menangis, Candaa meratap kepada para dewa meminta pertolongan. Dewa Sakka yang berempati kemudian menjelma menjadi seorang brahmana dengan kesaktian tinggi. Dengan kemampuannya, brahmana sakti itu menghidupkan kembali Canda. Candaa dan Canda pun kembali hidup bahagia bersama.

Yasodhara menjadi Bhikkhuni

Setelah perabuan Raja Suddhodana, Buddha kembali ke Vesali. Ratu Mahapajapati Gotami yang telah menjadi Sotāpanna tidak larut dalam kesedihan mendalam. Dia pun memutuskan untuk mengikuti jejak anak tirinya dan menjadi seorang bhikkhuni.

Mendengar keputusan ratu, Putri Yasodharā dan para janda Sakya yang ditinggal oleh para suami mereka mengikuti jejak Buddha Gautama pun turut serta berkeinginan menjadi bhikkhuni. Mereka mencukur rambut dan mengenakan jubah kuning seperti halnya para bhikkhu. Mereka menyusul Buddha beserta rombongannya ke Vesali dengan berjalan kaki sepanjang hampir 1000 km.

Setibanya disana, YM Ananda melihat kedatangan ratu beserta rombongannya dan menanyakan apa arti semua ini. Setelah menceritakan keinginan mereka, YM Ananda menyampaikan maksud mereka kepada Buddha. Dengan berbagai pertimbangan, Buddha akhirnya mengijinkan kaum perempuan ditahbiskan menjadi bhikkhuni.

Inilah untuk pertama kalinya di dunia Sangha Bhikkhuni terbentuk dengan Ratu Mahapajapati Gotami sebagai bhikkhuni pertama yang ditahbiskan oleh Buddha sendiri. Hal ini juga menunjukkan betapa Buddha mengangkat kesetaraan jender antara kaum pria dan wanita yang selama ini tidak imbang di masyarakat India kuno.

Bahkan dapat dikatakan bahwa Sangha Bhikkhuni adalah organisasi wanita pertama yang dibentuk di dunia dan Buddha menjadi pelopor pertama yang mengangkat derajat kaum wanita dalam hal kesetaraan kehidupan spiritual. Setelah menjadi bhikkhuni, Putri Yasodharā lebih dikenal dengan nama Bhaddakaccana atau Rāhulamātā.

Parinibbana Yasodhara

Setelah memasuki Sangha dan menjadi seorang bhikkhuni, Putri Yasodharā hidup tenang dan menjauhi keramaian. Beliau hidup sederhana dan menjadi seorang Arahat.

Meskipun sebelumnya memiliki hubungan sebagai pasangan suami-istri dengan Pangeran Siddhārtha dan ibu-anak dengan
Bhikkhu Rāhula, Putri Yasodharā yang kini lebih dikenal dengan sebutan Bhikkhuni Baddhakaccana, mampu menjaga dirinya sendiri dan mematuhi peraturan bhikkhuni Sangha selayaknya para bhikkhuni lainnya.

Menjelang usia 78 tahun, Arahat Bhaddakaccana mengetahui bahwa ajalnya telah dekat. Maka pada suatu malam beliau pergi menghadap Buddha Gautama dan berkata, “Malam ini saya akan meninggal dunia.” Beliau datang menemui Buddha untuk berterima kasih kepada seseorang yang pernah menjadi suaminya dan kini menjadi guru agungnya.

Buddha kemudian meminta Arahat Bhaddakaccana untuk menunjukkan kemampuan batinnya kepada anggota Sangha lainnya yang berkumpul saat itu. Hal ini penting karena meskipun beliau merupakan siswi yang terkemuka dalam hal kekuatan batin, Bhikkhuni Bhaddakaccana adalah seseorang penyendiri dan menyukai kehidupan sederhananya.

Beliau jarang sekali menunjukkan kebolehannya sehingga banyak orang terutama para bhikkhu yang memandang rendah kemampuan beliau maupun kemampuan para bhikkhuni lainnya. Buddha Gautama mengetahui hal ini dan melihat hal itu sebagai kekotoran batin di dalam pikiran para siswa-Nya yang karena kebodohan mereka telah meremehkan kemampuan Bhikkhuni Bhaddakaccana.

Sebagai seorang Arahat, Bhikkhuni Bhaddakaccana layak memperoleh pengakuan dan penghormatan baik dari para bhikkhu maupun bhikkhuni. Oleh karena itu Buddha meminta Bhikkhuni Bhaddakaccana untuk menunjukkan kekuatan batinnya untuk terakhir kalinya sebelum beliau meninggal dunia.

Menjawab permintaan Buddha, Bhikkhuni Bhaddakaccana yang meskipun telah berusia tua, menunjukkan berbagai kekuatan batinnya yang mengubah bentukan-bentukan tubuhnya, mengubah sel-sel padat di dalam tubuhnya (patthavi) menjadi air (sel-sel cair di dalam tubuh), angin, hingga sel-sel gas di dalam tubuh (vayo – unsur angin) menjadi unsur energi di dalam tubuh (thejo) yang semuanya membutuhkan kekuatan pikiran luar biasa.

Inilah kemampuan luar biasa yang dimiliki Bhaddakaccana dan tidak diketahui oleh semua orang. Mereka yang hadir menjadi takjub akan kemampuan Bhikkhuni Bhaddakaccana dan memberikan penghormatan mereka. Akhirnya, pada usia 78 tahun Bhikkhuni Bhaddakaccana meninggal dunia dan mencapai Parinibbāna. Pada hari yang sama, para bhikkhuni arahat yang menjadi temannya juga menyusul mencapai Parinibbāna.

Demikianlah Riwayat hidup Putri Yasodhara sebagai satu-satunya wanita yang mendampingi bodhisatta pada kehidupan terakhirnya, sebagai salah satu pendamping bodhisatta dalam banyak kehidupan lampau mereka, dan memiliki peranan besar dalam perjalanan pencerahan bodhisatta. Yasodhara telah menjadi teladan tidak saja bagi para upasika tetapi juga semua umat Buddha di dunia.

*Disarikan dari Riwayat Hidup Yasodhara – Putri yang Mulia, Insight Vidyasena Production, Yogyakarta, 2013.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *