Setelah enam hari berturut-turut penyelenggaraan Sepekan Dhamma Talk Dalam Rangka Mengenang Suri Teladan Y.A. Bhante Dharmasurya Bhumi Mahathera, Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Jawa Timur menggelar Dhamma Talk hari ke tujuh pada Jum’at (3/07) sekaligus menjadi sesi penutup Sepekan Dhamma Talk.
Acara menghadirkan nara sumber seorang Profesor Fisika Atom dan Material Elektronik, Institut Teknologi Bandung (ITB), juga menjadi seorang Romo Pandita yaitu Prof. Toto Winata, Ph.D. dan dimoderatori oleh Aditiya, seorang konsultan bisnis. Kurang lebih 40 peserta yang mengikuti acara Dhamma Talk sesi terakhir.
Perjalanan dan kedekatan Romo Toto dengan Bhante Suryabhumi hingga menjadi salah satu murid bhante, mengisahkan kekaguman Romo Toto serta memberikan wawasan yang cukup dalam bagaimana sosok seorang Bhante Suryabhumi di mata murid-muridnya serta umat Buddha yang mengenalnya.
Bagi Romo Toto, Y.A. adalah seorang guru yang luar biasa, oleh karenanya beliau ingin sekali berbagi pengalaman yang disebutnya “3 Masa Bersama YM Bhante Dharmasurya Bhumi”.
“Tiga masa, seperti kata Buddha, dalam hidup selalu ada masa lampau, masa sekarang, dan masa depan. Untuk itu saya bagi tiga masa, yaitu masa sebelum bertemu (pra) dengan Y.A, masa keemasan (semasa) dimana banyak sekali interaksi dan ruang serta waktu yang memungkinkan saya banyak belajar dari bhante. Yang ketiga masa setelah atau pasca saya belajar dengan beliau, bagaimana kita semua menata batin kita sepeninggal Y.A.,”terang Romo Toto mengawali pembicaraan.
Romo Toto yang semasa sekolah SD dan SMP di sekolah Katolik, mengikuti pelajaran agama Katolik namun ternyata tidak menemukan passion dalam ajarannya. Selama menjalani di sekolah Katolik beliau mencari apa yang menjadi bayangannya yaitu belajar meditasi. Hingga SMA baru mulai mengenal ajaran Buddha.
“Beruntung ketika lulus SMP, masuk SMA N 2 Jakarta. Di SMA, pada Jum’at minggu kedua ternyata ada pelajaran agama Buddha dan saya coba masuk untuk ikut. Pertama saya ikut baca paritta kemudian meditasi, dan inilah yang saya cari.,” lanjut Romo.
Ibarat menemukan lahan yang subur, lulus SMA Romo Toto melanjutkan kuliah di ITB yang akhirnya bertemu dengan Dr. Megawati Santosa yang tiba-tiba mengajaknya ke Vihara Vimala Dharma, Bandung. Juga bertemu dengan alm. Dr. Parwati Supangat, dosen Agama Buddha dan Etika Buddha di ITB. Pertemuan tersebut nampaknya semakin memberikan kesempatan yang lebih lebar untuk mempelajari ajaran Buddha.
Vihara Vimala Dharma adalah tempat awal pertemuan beliau dengan Y.A. Bhante Suryabhumi. Sejak pertemuan dengan Y.A., secara intens beliau belajar ajaran Buddha dan meditasi. Sebagai awal beliau belajar meditasi anapanasati, kemudian banyak melakukan diskusi Dhamma.
Menjelang kelulusan di tahun 1985 beliau disarankan oeh Y.A. untuk mengikuti latihan Vipassana dan menjalankan Athasila yang ternyata membawa perkembangan atas benih meditasi yang telah beliau tanam.
“Dan latihan itu sangat membekas bagi saya karena Bhante Suryabhumi waktu itu sangat bergembira sekali. Beliau juga mengajarkan meditasi berjalan, duduk, berbaring, kemudian beliau membuka pengetahuan bagaimana meditasi dengan empat unsur,” kenangnya.
Lebih lanjut dalam perjalanannya belajar meditasi, Romo Toto dibimbing untuk melakukan meditasi berobyek empat unsur yaitu, udara / gerak, suhu, tanah, dan air. Y.A. juga mengajarkan perenungan terhadap tiga corak kehidupan yaitu Anicca, Dukkha, dan Anatta.
“Dengan ketenangan empat unsur inilah, seorang yogi bisa duduk merenungkan tiga corak kehidupan. Anicca atau perubahan, ternyata ketenangan itu berubah. Ketika kita mencoba mempertahankan itulah yang menimbulkan kita kesusahan, dukkha. Lalu apanya yang dukkha? Tidak jelas juga, dan di situlah mulai muncul pemahaman tanpa aku.”
Bukan hanya praktik meditasi, Y.A. juga sangat memperhatikan para muridnya agar kaya akan referensi tentang Dhamma dan meditasi. Hal ini ditunjukkan ketika Y.A. memberikan sebuah buku yang berjudul “Tujuh Tahap Pemurnian Diri” kepada Romo Toto di hari ke tujuh latihan Vipassana. Buku tersebut menjelaskan bagaimana Sila disempurnakan, semangat, pengetahuan dan pandangan tentang jalan. “Itu mungkin yang disebut oleh orang dengan Boddhicitta.”
“Waktu itu saya merasakan pikiran saya menjadi tajam, sangat terang. YA. Mengatakan sudah cukup, lalu bertanya bagaimana saya melihat sekeliling. Biasa saja, saya jawab, kemudian bhante bilang oh ya sudah cukup,cukup.
Di situlah saya merasakan bagaimana metta, karuna, mudita, dari seorang guru yang sangat luar biasa. Yang mengajarkan muridnya dengan sepenuh hati, tidak pilih-pilih, demikian juga dengan murid-murid yang lain. Itulah masa awal penggemblengan,” ungkapnya.
Meski sempat terputus hubungan dengan Y.A. sewaktu beliau kuliah di Australia, namun selesainya kuliah akhirnya bertemu kembali dengan Y.A. Sepulang dari Australia Romo Toto akhirnya menjadi Dosen Agama Buddha dan Etika Buddha di ITB menggantikan alm. Dr. Parwati Supangat.
Sewaktu menjadi dosen beliau mengadakan pelatihan meditasi dan meminta Y.A. untuk membimbing para mahasiswa Buddha ITB latihan meditasi. Bahkan tidak sedikit mahasiswa dari keyakinan lain ikut serta dalam latihan.
Apresiasi Y.A. atas apa yang dilakukannya menjadi kesan tensendiri bago Romo Toto “Begitulah sosok guru yang agung, ingin muridnya menjadi sekaliber beliau syukur-syukur bisa lebih. Dengan cara seperti itu beliau mengajarkan bahkan mengembangkan murid-muridnya.
Sebagai guru yang luar biasa tidak menganggap dirinya lebih unggul sehingga ketika di vihara kita sering berdiskusi Dhamma layaknya seorang sahabat. Demikian juga keika di Trawas, di pendopo kita sering berdiskusi tentang perkembangan batin.”
Di akhir masa kebersamaanya bersama Y.A., Romo Toto sempat menemukan coretan khusus dari Y.A. di ruang kerja yang tertuang dalam lembaran kertas, bagi Romo Toto coretan tersebut menunjukan bahwa Y.A. seorang guru yang patut menjadi tauladan.
“Masih secara jujur dan terbuka, dalam coretan tersebut beliau merasa masih seperti mentok, stagnan, masih belum bisa keluar dari kungkungan bayangan beliau sendiri, sehingga pencapaiannya masih stagnan, mentok. Di situlah saya memahami mengapa beliau dalam surat wasiatnya meminta untuk mendonorkan organ tubuhnya (mata).”
Dalam masa pasca, sepeninggal Y.A., Romo Toto adalah salah satu murid yang bertugas untuk memilah relik-relik yang muncul dari abu kremasi Y.A. Bhante Suryabhumi.
Berbekal semangat, ketekunan, serta keyakinan, Romo Toto dan teman-temannya berhasil menyelesaikan tugasnya dalam waktu 10 hari dari 49 hari waktu yang diberikan oleh Y.M. Bhante Khemacaro Mahathera, ketua Sangha Agung Indonesia (SAGIN).
Romo Toto mengungkapkan bahwa banyak relik yang muncul dari abu jenazah Y.A. Bhante Suryabhumi untuk disebarkan ke vihara-vihara di Indonesia.
“Dan tidak terbayang akan muncul relik yang berwarna-warni, ada kuning keemasan, biru dongker, silver perak, dan hijau toska. Ada juga yang berbentuk seperti kristal, bening. Ini surprise,” katanya.
“Meskipun mendiang sudah tidak ada, tapi semangat dan keyakinan yang beliau tanamkan tidak luntur bahkan berkembang menuju ke kesempurnaan. Semoga ini bisa menjadi inspirasi, menambah keyakinan, serta semangat untuk terus belajar, memperdalam, dan melatih praktik meditasi sehingga cita-cita beliau bisa tercapai,” pungkas Romo Toto.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara