Hingga tahun 1980’an aktivitas umat Buddha di perdesaan Temanggung berjalan kompak. Kegiatan bersama antar wihara; dusun, desa, kecamatan, bahkan antar kabupaten berjalan harmonis. Gotong royong antar, kerja sama saling support antar vihara juga terasa begitu nyata.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, semacam ada jeda, muncul persoalan yang membuat kondisi harmonis itu berangsur luntur. “Kegiatan bersama berhenti di tengah jalan. Sebabnya apa saya tidak mengerti jelas, tapi setau saya pecah,” tutur Suryanto, seorang warga berusia 64 tahun. Bahkan menurutnya, meskipun sudah belalu puluhan tahun perpecahan itu masih terasa hingga sekarang.
Suryanto adalah Ketua Vihara Metta Lokha, sebuah vihara kecil di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung. Satu dari dua vihara yang berada di Kecamatan Parakan, dan satu-satunya vihara di Desa Traji. Di vihara kecil itu hanya memiliki umat Buddha belasan kepala keluarga, itupun gabungan dari beberapa dusun sekitar.
Suryanto sendiri baru mengenal Buddhadharma sejak tahun 1986, pada usia 36 tahun. Saat itu ia bekerja sebagai tukang bangunan. Suatu ketika ia mendapat proyek mengerjakan sebuah vihara di Desa Bondalem, Kecamatan Jumo, Temanggung. “Dulu transportasi kan tidak semudah sekarang, jadi saya tidak sering pulang. Saya nginep di vihara itu. Malam hari sebelum tidur, waktu saya gunakan untuk membaca buku-buku dharma yang ada di sana, dan saya tertarik,” kenangnya.
Sejak mengenal ajaran Buddha lewat membaca buku-buku, ia memantapkan diri untuk menjadi umat Buddha. Tahun itu juga ia merubah kartu tanda penduduknya beragama Buddha. “Mungkin karena karma ya, secara kebetulan bertemu dengan buku-buku Buddha. Setelah membaca, saya merasa ajaran itu sesuai dengan prinsip hidup saya,” katanya.
Sejak itu Suryanto menjadi salah satu anak muda yang aktif dalam setiap kegiatan umat Buddha. Tidak hanya di vihara Metta Lokha yang tak jauh dari rumahnya, ia juga aktif dalam kegiatan umat Buddha Temanggung, khususnya rayon dua yang meliputi Kecamatan Parakan, Jumo, Candiroto, Bejen, dan Wonoboyo. Bahkan ia pernah ditunjuk menjadi bendahara umat Buddha Temanggung rayon dua.
Sayang, kegiatan-kegiatan itu akhirnya berhenti di tengah jalan. Padahal seperti yang diingat oleh Suryanto, sesepuh umat Buddha Vihara Metta Lokha (Mbah Kromo) mengatakan wajar jika umat Buddha terdiri dari berbagai kelompok, dan tradisi seperti agama-agama lain. “Menurut Mbah Kromo, harusnya perbedaan kelompok, tradisi itu tidak dijadikan persoalan. Karena itu hal yang wajar,” tegasnya.
Perbedaan dalam tubuh umat Buddha seperti yang disampaikan oleh Mbah Kromo, menurut Pak Suryanto seperti perumpamaan anggota tubuh gajah. “Gajah itu mempunyai belalai, telinga, kaki, ekor, gading, dan lain-lain. Selama itu masih anggota tubuh gajah harusnya tidak dipetal-petal (dipisah-pisahkan),” kata Suryanto mengenang nasehat Mbah Kromo.
Karena itu Suryanto berharap untuk kedepan umat Buddha kembali rukun, Perbedaan aliran, organisasi, dan tradisi adalah hal wajar dalam setiap agama, termasuk agama Buddha. “Harapan saya sebagai orang tua mengajak anak-anak muda, dan siapapun umat Buddha mbok kalau persoalan beda aliran, tradisi, sekte itu jangan dipermasalahkan. Kalau kita mengaku mengatakan umat Buddha ya sudah, tidak usah mendiskreditkan yang lain karena beda dengan kelompok kita,” katanya penuh harap.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara