Di kawasan Gunung Koya, terdapat sebuah patung Kukai yang disakralkan, membawa vajra di tangan kanan dan mala berwarna merah di tangan kiri.
Vajrayana atau Tantrayana memang saat ini sering diidentikkan dengan Buddhis Tibetan. Padahal faktanya terdapat salah satu corak Vajrayana lain yang masih eksis dan hidup hingga saat ini, yakni Buddhis Shingon. Ini adalah salah satu kekhasan aliran Buddhis di Jepang, selain aliran lainnya yang lekat dengan Negeri Matahari Terbit, seperti Zen atau Nichiren.
Aliran Buddhis Shingon tak bisa dilepaskan dari sosok seorang biksu bernama Kukai (774–835 M), yang secara anumerta dinamai Kobo Daishi (guru agung yang menyebarkan Dharma). Secara luas ia dianggap tidak hanya sebagai pendiri salah satu aliran Buddhis Jepang yang paling berpengaruh, tetapi juga sebagai bodhisattwa yang masih eksis−meskipun tubuh fisiknya sudah tak ada−untuk membimbing para makhluk menuju pencerahan.
Legenda lokal tentang Kukai dan mukjizat yang katanya telah dilakukannya dapat ditemukan di kota-kota dan desa-desa di seluruh Jepang. Dua situs budaya telah menjadi terkenal karena warisannya. Salah satunya adalah Gunung Koya, kompleks monastik yang menaungi makamnya, yang oleh sebagian orang bahkan dihormati saat ini sebagai Tanah Murni (Pure Land) di bumi, “surga” tempat seseorang dapat dengan mudah mencapai pencerahan sempurna. Yang satunya bukanlah satu situs melainkan 88 kuil di sepanjang rute ziarah di kawasan Pulau Shikoku, rute yang konon menelusuri kembali jalan yang diambil Kukai selama waktunya menjadi seorang petapa yang mengembara.
Latar belakang
Kukai lahir dari keluarga aristokrat menengah di Pulau Shikoku. Menurut legenda, setidaknya dua keajaiban terjadi untuk menunjukkan potensi Kukai guna memberi manfaat banyak makhluk. Pertama, ketika dia berumur tiga tahun, Kukai berlutut di depan sebuah patung Buddha dari tanah liat. Saat ia bersujud, Empat Raja Surgawi (Shitenno/Catur Maharaja Kayika) mengelilinginya seperti malaikat pelindung.
Lantas ketika dia berumur tujuh tahun, Kukai pergi ke tebing tertinggi di belakang Kuil Zentsu-ji di Shikoku, menoleh ke arah India, dan berteriak kepada Buddha, “Untuk menyelamatkan banyak orang, saya bersumpah untuk mengabdikan hidup saya untuk mengejar Kebuddhaan! Jika aku tidak mampu memenuhi ikrar ini, maka keberadaanku tidak pantas!”
Setelah dia membuat pernyataan tu, Kukai menjatuhkan diri dari tebing. Konon, ketika ia jatuh, Buddha Shakyamuni secara ajaib muncul untuk menyelamatkannya sehingga dia bisa menjalani kehidupan pelayanan kepada Dharma.
Dalam beberapa sumber, Bodhisattva Kannon (Kwan Im), dikatakan telah muncul sebagai gantinya. Episode ini dalam kehidupan Kukai dikenal sebagai ‘Tebing Melompat’ (Shashin-ga-take). Kini, Kuil Shusshaka-ji (Kuil Penampakan Shakyamuni) berdiri di kaki gunung tempat peristiwa itu terjadi, dan merupakan pemberhentian ke-73 dari 88 situs sirkuit ziarah di Pulau Shikoku.
Kukai pada umur 15 memulai pendidikannya di akademi nasional, dilatih dalam ajaran Konfusianisme, seperti kebanyakan pria Asia Timur di kelasnya cenderung melakukannya. Ia didik untuk berkarir di pengadilan. Namun kisah hidupnya mempertemukannya dengan seorang biksu yang memperkenalkannya pada ajaran esoterik mantra, khususnya praktik merapal mantra Kokuzo Bosatsu (Bodhisatwa Akashagarbha). Ia juga mulai membaca berbagai kitab Buddhis Mahayana disamping ajaran Konghucu.
Akhirnya, ketika berusia antara 20 dan 24 tahun, Kukai menghentikan studinya dan menjadi biksu petapa pengembara, meski kekecewaan datang dari keluarganya. Upacara penahbisan samaneranya berlangsung di Kuil Makino-san-ji di Pegunungan Izumi.
Dikatakan bahwa Biksu Gonzo, dari Kuil Daian-ji memimpin upacara dan memberinya nama Kukai, yang berarti Samudera Kesunyataan. Pada suatu titik selama perjalanan spiritualnya, Kukai memiliki pengalaman mistik yang mendalam, suatu penglihatan yang tidak dapat ia pahami atau jelaskan.
Meski sudah membaca 10.000 kitab baik Mahayana maupun Hinayana, ia tidak mendapat jawaban yang benar-benar memuaskan. Sampai akhirnya dia belajar Sutra Mahavairocana, teks Buddha bernuansa tantra yang tampaknya bisa memberi makna pada pengalaman spiritualnya.
Meski demikian, Kukai frustrasi oleh ketidakmampuan gurunya di Jepang untuk menjelaskan banyak hal terkait Sutra itu. Akhirnya, pada tahun 804, ia mengikuti sebuah misi ke Tiongkok untuk belajar di Chang’an, ibu kota dinasti Tang yang menjadi pusat dunia Buddhis Asia Timur kala itu, setelah sebulan sebelumnya mendapat penahbisan penuh menjadi biksu.
Di Chang’an, Kukai mengambil tempat tinggal di Kuil Qinglong. Menurut catatan Kukai, guru Buddhis yang menjadi kepala vihara di sana, Huiguo (746–805), bersukacita saat kedatangannya, merasakan bahwa seseorang yang layak mendapat ajarannya akhirnya tiba.
Di bawah instruksi Huiguo, Kukai mempelajari apa yang oleh banyak orang dianggap sebagai puncak kebijaksanaan Buddha: ajaran esoterik atau rahasia dari Buddha. Huigou sendiri adalah murid dekat dari Amoghavajra (705-774) salah satu tokoh penting dalam penyebaran Buddhis dari India ke Tiongkok. Kukai sendiri dianggap sebagai yang terakhir dari delapan patriarkh Buddhis Shingon, di mana Huigou dan Amoghavajra adalah nama-nama yang muncul sebelumnya.
Altar yang menghadap makam Kukai di Gunung Koya.
Esoterik
Ajaran esoterik diyakini memungkinkan seseorang untuk membuat kemajuan yang cepat di jalur bodhisattwa, bahkan untuk mencapai pencapaian Kebuddhaan lewat tubuh ini, dalam kehidupan ini. Selain itu, praktik esoterik juga dikatakan mampu memberdayakan seseorang untuk melakukan ritual hujan, dan mendapatkan kesehatan, kekayaan, umur panjang, dan manfaat duniawi lainnya.
Melalui inisiasi ke dalam garis silsilah tantra esoterik dan praktik ritual terkoordinasi mudra, mantra, dan visualisasi mandala−yaitu, ritual tubuh, ucapan, dan batin−dikatakan bahwa seseorang dapat mencapai kesatuan dengan tubuh, ucapan, dan batin dari para Buddha dan bodhisattwa.
Di China, Kukai diinisiasi ke dalam penggunaan dua mandala esoterik, mandara Taizokai (Mandala Garbhadhatu) dan mandara Kongokai (Mandala Vajradhatu), serta mempelajari Sutra Mahavairocana dan teks tantra Vajrasekhara , yang masing-masing sesuai dengan dua mandala tersebut.
Mandala Garbhadhatu dikatakan mewakili alam semesta sebagaimana dalam keadaan yang sebenarnya, sedangkan Mandala Vajradhatu melambangkan kebijaksanaan yang diperlukan untuk memahami sifat sebenarnya dari kenyataan ini.
Mandala-mandala ini, yang menggambarkan dua pandangan yang saling berkaitan tentang realitas, adalah objek-objek potensial dari visualisasi dan pengabdian yang meditatif. Diyakini, Candi Borobudur dan Candi Mendut di Jawa adalah simbolisasi dari dua mandala tersebut. Versi lain menyebut Borobudur adalah gabungan dari Mandala Garbhadhatu dan Vajradhatu. Sudah banyak diketahui juga bahwa Mahavairocana adalah konsep Adi Buddha yang dipuja leluhur Jawa tempo dulu.
Setelah hampir dua tahun, Kukai kembali ke Jepang. Dia memperkenalkan petunjuk ritual tantra yang sebagian besar sebelumnya tidak dikenal di Jepang dan mengirimkan pendekatan ke Buddhis di mana ritual dan doktrin, praktik dan teori, terkait erat.
Teori praktik Buddhis Kukai berfokus pada koordinasi tiga misteri tubuh, ucapan, dan batin, di mana tubuh, ucapan, dan batin makhluk hidup tidak berfungsi secara terpisah dari tubuh, ucapan, dan batin Buddha.
Karenanya, Kukai menegaskan bahwa Kebuddhaan dapat dicapai dalam tubuh ini, di sini, dan saat ini. Akhirnya, Kukai mendapat perhatian kaisar, yang akhirnya mengizinkannya mendirikan kuil di dalam istana untuk melakukan ritual esoterik. Kukai kemudian mulai memprakarsai dan melatih para biarawan yang termasuk dalam berbagai lembaga monastik.
Penguasaan ajaran Buddhis esoterik membutuhkan latihan dan meditasi yang berdedikasi dalam waktu lama di bawah bimbingan para guru ulung. Karena itu, Kukai mendirikan sebuah pusat retret untuk melatih para biarawan yang jauh dari hiruk-pikuk Ibukota.
Tahun 816, di Gunung Koya, Kukai mendirikan kompleks pelatihan monastik yang masih hidup tradisinya hingga sekarang. Gunung Koya dipilih, karena di tempat itulah, sebuah vajra berujung tiga yang dilemparnya ketika masih berada di Tiongkok, mendarat.
Mistik
Kobo Daishi dikenal sebagai orang yang waskita, mampu mengatasi wabah penyakit. Tercatat, pada 818 M, Jepang diguncang oleh wabah penyakit parah yang merenggut banyak nyawa. Ketika Kaisar Saga meminta saran Kukai tentang cara mengatasi musibah itu, Kukai memberitahu Kaisar Saga untuk menuliskan Sutra Hati (Hannya-Shingyo). Kukai lantas memberikan beberapa ceramah tentang manfaat sutra ini. Segera setelah itu, wabah mereda.
Dirinya juga dikenal mampu mengatasi kekeringan panjang. Tahun 824 M, wilayah di dekat Ibukota mengalami kekeringan yang parah. Tidak ada hujan selama tiga bulan, dan orang-orang khawatir tentang kemungkinan kelaparan. Pengadilan menginstruksikan para biarawan dan biarawati di daerah bencana untuk mengucapkan doa selama lima hari berturut-turut dan berdoa untuk hujan. Kaisar Junna (memerintah 823–833 M) juga meminta bantuan Kukai.
Kukai lantas mendirikan altar di taman istana kekaisaran dan melakukan ritual untuk memanggil hujan. Sebelum dia bahkan selesai melakukan ritual, hujan mulai turun dan berlangsung selama tiga hari dan tiga malam. Ini kemudian dikenal sebagai ‘hujan Kobo’. Kini, lokasi dimana Kukai melakukan keajaiban ini dikenal sebagai Taman Shinsen-en di dekat Kastil Kyoto Nijo
Kukai adalah seorang meditator ulung, ahli kaligrafi terkenal, administrator monastik terlatih, insinyur sipil yang mumpuni, dan guru ritual yang kuat. Ia adalah salah satu tokoh renaissance, di Jepang, pencipta aksara kana, yang lalu berkembang menjadi hiragana dan katakana.
Meski sudah meninggal di Gunung Koya, ia dipercaya memasuki “tataran samadhi abadi”, yang dapat membantu orang-orang yang membutuhkan perlindungan spiritualnya. Karena itulah, setiap hari, selama dua kali, dana makan selalu dipersembahkan untuk Kukai di sekitar makamnya di Gunung Koya. Dikatakan, beberapa saat setelah dimakamkan, makam Kukai sempat dibuka, dan jenazahnya ditemukan seperti sedang tertidur, dengan kulit yang tidak berubah dan rambut tumbuh sedikit lebih panjang.
Konon, siapa pun dapat membangun koneksi spiritual dengan Kukai, dengan cara menyentuh lutut kanan patung itu. Hanya di lutut kanan, tidak di bagian patung yang lain. Cara lain yang lebih umum untuk mendekatkan diri pada Kukai adalah menyebut mantranya NAMU DAISHI HENJO KONGO. Diyakini, Kukai masih tetap ada dan membantu banyak makhluk, menunggu kehadiran Buddha selanjutnya di dunia ini, Maitreya.
Seorang penjelajah, bekerja sebagai jurnalis di Kota Gudeg, Jogja.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara