• Sunday, 11 March 2018
  • Ngasiran
  • 0

“Dalam Buddhadhamma, saya menemukan khazanah yang baru di kehidupan ini. Anda tidak harus menjadi Buddhis, tetapi mempraktikkannya adalah hal yang jauh lebih penting.” ~ Bhikkhu Atthapiyo

“Domba Gelisah Itu Menjadi Bhikkhu Pertama Dari Flores” begitu judul artikel perjalanan hidup Bhante Athapiyo yang diunggah di situs Segenggam Daun, 16 Agustus 2015. Artikel itu cukup viral di media sosial, membuat saya semakin penasaran untuk bertemu dengan sosok beliau.

Sejak kecil ia gelisah karena banyak pertanyaan tentang kehidupan yang tak terjawab olehnya, hingga akhirnya ia mengenal Buddhadhamma melalui buku meditasi karya Ajahn Chah. Donatus Lado Sogen merupakan nama kecilnya, ia lahir dari keluarga pemeluk Katolik taat di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Ia mencintai Yesus, perjumpaannya dengan Buddhadhamma membuatnya melihat Yesus dari sudut pandang yang lebih indah. Beliau menulis sebuah sebuah buku keduanya berjudul, “Aku mencintai Yesus”.

Kesempatan itu pun tiba, dalam sebuah acara Dhamma Youth Ghatering yang dilaksanakan pada 19 – 21 Januari 2016 di Vihara Mendut, Mungkid, Magelang, saya bersama Kang Sutar (Pemred BuddhaZine) mendapat kesempatan meliput acara ini selama tiga hari. Bhante Atthapiyo menjadi salah satu pembimbing pertemuan anak-anak muda Buddhis dari seluruh Indonesia.


Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah.

Atas rekomendasi Bhante Sri Pannyavaro, kami mempunyai kesempatan mewawancarai bhante secara khusus untuk membuat video BuddhaZine TV. Dengan penuh kesabaran dan tawa yang tak pernah lepas dari bibirnya, Bhante dengan nama kecil Don Lado ini melayani permintaan kami untuk mengulang beberapa kali pengambilan gambar.

Sesekali bhante berceloteh “Yang menarik itu lho pegangan recordernya dari bambu,” sambil tertawa lepas. Ya, pada saat itu supaya bisa menangkap suara bhante dengan jelas, kami mengambil sebatang bambu bekas bangunan sebagai penyambung alat perekam suara. Saya sendiri yang memegang bambu itu dan Kang Sutar yang mengambil gambar videonya.


Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah.

Tak berhenti sampai di situ, dalam kesempatan tiga hari itu, saya hampir mengikuti semua sesi acara. Salah satu sesi yang dibawakan oleh Bhante Atthapiyo mampu menggugah semangat generasi muda. Perjalanan hidup yang penuh liku untuk bertemu dengan Buddhadharma menjadi inspirasi tersendiri.

Tak berselang lama setelah acara itu, karma baik mempertemukan saya kembali dengan Bhante Atthapiyo. Kala itu di acara perayaan Waisak dan peresmian Vihara Dwipaloka Parakan, Jumat, 20 Mei 2016, Bhante Atthapiyo hadir bersama Bhante Sri Pannyavaro, Bhante Jotidhammo, dan beberapa bhikkhu lain.

Saya sapa beliau dengan maksud untuk meminta mengisi acara puncak Pemuda Buddhis Temanggung – Semarang – Kendal yang dijadwalkan pada Sabtu, 3 Juni 2016. “Tanggal itu saya ada acara Waisak di Vihara Dharma Sundara, Solo mas. Tapi mas Ngasiran coba minta izin kepada Bhante Pannyavaro, kalau beliau mengizinkan saya siap,” begitu kata bhante menanggapi permintaan saya.


Bhikkhu Atthapiyo, Banyuwangi.

Bahagia rasanya, tanpa berpikir panjang, selesai acara saya temui Bhante Pannyavaro di kuti (tempat tinggal para bhikkhu). Gayung pun bersambut, Bhante Pannyavaro mengizinkan dengan berucap, “Saya relakan Bhante Atthapiyo untuk mengisi acara pemuda Buddhis di Temanggung.” Sekali lagi, Bhante Atthapiyo mampu menjadi magnet tersendiri bagi generasi muda Buddhis di pedesaan.

Perjumpaan saya dengan bhante terus berlanjut dalam setiap acara Buddhis. Bila ada waktu bersela saya selalu menyapa dan dengan hangat beliau membalas sapa saya.

Baik di Tekelan, Salatiga, atau di Banyuwangi, Jawa Timur, bahkan saat beliau mengisi Talk Show di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang notabene tidak bisa saya liput secara langsung, beliau senantiasa menjawab pertanyaan saya melalui pesan singkat terkait materi yang beliau sampaikan.


Bhikkhu Atthapiyo, Tekelan, lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah.

Begitulah Bhante Atthapiyo, pembawaannya selalu riang dan penuh persahabatan. Hingga kemudian, Jumat (9/3) kabar itu datang. Bhikkhu pertama asal Flores itu telah wafat. Sedih, seakan tak percaya, manusia berkualitas seperti beliau begitu cepat pergi meninggalkan kita.

“Untuk bertemu dengan ajaran Buddha tidak mudah. Anda adalah orang yang beruntung telah terlahir di keluarga Buddhis, jadi pertahankan.

Selain itu, masuklah organisasi Buddhis dan belajarlah berorganisasi, supaya kekuatan kolektif keyakinan dan karma baik dapat mendukung dalam belajar Dhamma. Kalau tidak ada komunitas, ya ciptakan. Ajak teman-temanmu yang beragama Buddha.” Bhikkhu Atthapiyo

Petikan di atas merupakan pesan beliau ketika mengisi malam puncak pemuda Buddhis Temanggung, Semarang, dan Kendal (3/6 2017).

Sosoknya yang rendah hati, totalitasnya di dalam Dhamma, dan keramahannya akan terkenang selalu. Pribadi yang lembut dan penuh welas asih itu telah banyak mengetuk pintu hati kita, sudahkah kita sungguh-sungguh dalam menerapkan Buddhadhamma?

Selamat jalan bhante, terima kasih atas segala inspirasinya.

Ngasiran

Penikmat kopi, sehari-hari bekerja sebagai tukang ngarit dan jurnalis BuddhaZine, tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *