Hari ini, Jumat 27 Desember 2019, umat Buddha Indonesia yang bergelar Doktor akan bertambah satu orang. Sutrisno, salah satu putra terbaik kelahiran Jepara akan melakukan sidang terbuka promosi Doktor, di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI, Depok, Jawa Barat.
Sutrisno lahir di Dusun Guwo, Desa Blingoh, Kecamatan Keling (Sekarang Donorojo) Kabupaten Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 9 Februari 1982. Ia lahir sebagai anak kedua dari pasangan keluarga petani Bapak Soim dan Ibu Sulastri. Tumbuh dalam keluarga buddhis sederhana, Sutrisno kecil adalah pribadi cerdas dan pekerja keras. Keunikannya adalah lahir dengan pembawaan vegetarian. Didikan ayahnya yang merupakan salah satu tokoh perintis agama Buddha di Guwo menjadikan Sutrisno akrab dengan organisasi dan aktivitas keagamaan.
Di sekolah, Sutrisno selalu menempati ranking teratas. Atas prestasinya itu dia diganjar beasiswa oleh BRI Jepara. Lulus dari SD Negeri Jugo I, Sutrisno melanjutkan ke SMP N 1 Keling. Jarak tempuh yang jauh dan medan yang berat menjadikan tidak semua anak mau bersekolah ke SMP. Dari 29 orang di angkatannya, hanya 3 orang yang melanjutkan ke SMP. Berkat dorongan para tokoh dan keluarga, serta yang terpenting bantuan Bhante Sudhammo akhirnya Sutrisno remaja pun masuk SMP N 1 Keling.
Di masa itu, untuk memperpendek jarak tempuh, ia ditumpangkan untuk tinggal di rumah orang. Hidup menumpang menuntut kerja keras dan kerja serabutan. Menggembala sapi/kambing, mencari rumput, bersih-bersih rumah dan pekerjaan ekstra orderan tuan rumah adalah keseharian Sutrisno.
Tiga tahun masa belajar yang berat itu terlampaui dengan prestasi yang gemilang. Semua itu dilatarbelakangi kisah-kisah beratnya membangun komunitas beragama Buddha di masa lampau di Desa Guwo. Selepas SMP, Sutrisno semakin aktif di vihara dan membina umat. Karma baik itu terdengar hingga ke Jakarta. Akhirnya, Sutrisno diminta untuk melanjutkan SMA ke Jakarta. Sebuah pilihan yang berat, harus merantau ke kota besar yang penuh tantangan. Akhirnya, keputusan itu pun diambil. Sutrisno mendapat beasiswa dari Yayasan Dharma Pembangunan dan bersekolah di sekolah Buddhis SMA Tri Ratna, Jakarta Barat.
Masa SMA di Jakarta
Di tahun krisis multidimensi 1998, di bulan Juni, Sutrisno muda menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di Jakarta. Ia tinggal di asrama di Jl. Kerajinan Dalam No. 16 Jakarta Barat.
Di asrama tersebut tiap tahunnya ada belasan anak diterima dari berbagai daerah. Asrama Kerajinan adalah asrama yang sederhana. Bahkan di zaman itu banyak keterbatasan. Para penghuni asrama pun masih harus disokong orangtua. Sekalipun demikian motivasi belajar penghuninya dikenal sangat tinggi.
Asrama Kerajinan adalah asrama yang ketat. Saking ketatnya, penghuninya dilarang tidur siang. Sepulang sekolah, anak-anak langsung belajar. Sesudah itu piket masak dan bersih-bersih asrama, lalu kena jam wajib belajar. Begitu seterusnya, dan terkadang masih ada undangan baca Paritta ke umat. Di malam Minggu anak-anak wajib diskusi. Di Minggu pagi olah raga. Lalu ibadah ke Cetiya Tri Ratna dan siang hingga sore ada ekstra seni budaya yang dikelola pengurus Lembaga Beasiswa Dharma Pembangunan. “Sungguh asrama yang sibuk,” kenang Sutrisno.
Diskusi adalah warisan dialektika berpikir dari asrama Kerajinan. Dr. Krishnanda Wijaya-Mukti tokoh Buddhis Nasional adalah pemilik asrama sekaligus mentor kegiatan tersebut. Beliau mewariskan sifat kritis dalam mempelajari Dhamma. Selain itu, juga banyak senior yang sudah kuliah atau aktif di pergerakan mahasiswa hadir dalam diskusi tersebut.
Di masa itu, Sutrisno sangat mengagumi kecerdasan dan nasionalisme Bung Karno yang tergambar di buku-buku. Juga kemampuan bernalar Tan Malaka, dan keilmiahan Moh. Hatta. Sutrisno juga sangat terinspirasi dengan tokoh dari India Dr. Ambedkar, tokoh buddhis dari India yang peduli rakyat jelata.
Kisah orang-orang besar itu mewarnai idealisme pelajar muda Sutrisno. Tekadnya untuk terlibat membesarkan masyarakat Buddhis dan terlibat dalam aktivitas kebangsaan makin membara. Walaupun memiliki pribadi yang menarik, Sutrisno tidak memiliki kisah romantisme anak sekolah di zamannya.
Hidupnya yang serius dan beban titipan tanggung jawab orangtua dan masyarakat daerah kelahiran menjadikan pembelajar yang lempeng. Cita-cita dan kepribadiannya itu rupanya diperhatikan oleh Kepala Sekolah SMA Tri Ratna Pak Jusman. Selepas SMA, Pak Jusman lalu meminta dan membantunya meneruskan kuliah di FISIP Universitas Nasional (Unas) Jakarta.
Masa kuliah: pematangan intelektual
Saat itu Agustus 2001, dengan diantar wali kelasnya, Bapak Samirin, Sutrisno mendaftar di Unas. Pilihan di Unas ini tentu berkat petunjuk Pak Jusman. Saat itu Sutrisno hanya tahu sedikit tentang Unas, yaitu pelopor pergerakan, penentang Orde Baru dan didirikan tokoh terkenal Prof. Sutan Takdir Alisyahbana.
“Pada awal masuk ada kekhawatiran, jangan-jangan belajar politik mengikis keyakinan pada kebenaran beragama. Ternyata keyakinan itu salah sama sekali. Justru karena belajar politik di Jurusan Hubungan Internasional saya menjadi paham berbagai fenomena nasional dan internasional. Dari buddhis sendiri kita bisa belajar berdiplomasi yang benar seperti Guru Buddha, yaitu: hati yang hangat dan kepala yang dingin, serta penyampaiannya memenuhi syarat benar, berfaedah, beralasan, dan tepat pada waktunya (Samma-vaca),” terangnya pada BuddhaZine.
Pada tahun kedua masa kuliah Sutrisno mengajar di SMA Sariputra, dan di tahun ketiga ia diminta membantu mengajar di SMA Tri Ratna. Di sekolah ini kecerdasannya yang sedang mekar mendapatkan lahannya.
Kuliah dan mengajar telah menyita begitu banyak waktu. Kebiasaan tidak sempat makan pagi dan siang menyebakan beberapa kali Sdr. Sutrisno terkena tifus parah. Namun, tekadnya untuk maju dan melayani sungguh luar biasa. Dia dikenal sebagai guru yang berdedikasi. Baginya datang ke sekolah terlambat adalah aib bagi guru.
Pagi-pagi jam setengah 5 pagi hari, Sutrisno harus bergegas ke Stasiun Pasar Minggu naik kereta ke Stasiun Mangga Besar. Tiba di sekolah harus menyambut anak atau persiapan mengajar. Tengah hari harus bergegas untuk sampai kampus jam 2 siang. Seterusnya kuliah hingga jam 5 sore. Aktivitas itu menjadi kegiatannya sehari-hari hingga lulus pada tahun 2005 dengan predikat cum laude.
Masa bekerja dan pendidikan lanjutan
Lulus kuliah S1, Sutrisno mendapat tawaran menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jawa Kusuma, Jakarta. Ia mengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila, mata kuliah kesukaannya. “Di Unas, saya belajar Konfigurasi Nilai ala Sutan Takdir Alisyahbana, sesuatu yang jarang diajarkan dosen sebagai pendekatan dalam mata kuliah Pancasila. Dengan sudut pandangan ini, saya merasa memberikan sesuatu yang berbeda bagi muda-mudi yang baru lulus SMA. Selebihnya saya merasa di jalan yang benar, sambil belajar ikut berkontribusi dalam nation and character building,” katanya.
Rupanya dunia pendidikan seperti magnet yang menarik saya lebih dalam, lanjut Sutrisno. “Di tahun 2007, SMA Nalanda meminta saya menjadi guru Sosiologi dan Pendidikan Kewarganegaraan. Lalu setelah itu menanjak menjadi Pembina OSIS dan Wakil Kepala Sekolah. Dari sini medan leadership pendidik mulai diuji. Setahun kemudian, STAB Nalanda meminta saya menjadi dosen mata kuliah Pancasila, Kewarganegaraan dan Teknik Penulisan Imiah. Usia saya terbilang masih muda, 25 tahun. Di tahun 2011, saya diminta untuk menjadi Wakil Ketua Bidang Akademik STAB Nalanda. Di tahun itu saya sudah lulus S2 ilmu politik dengan predikat cum laude dan dinobatkan sebagai lulusan terbaik,” paparnya.
Tugas memimpin perguruan tinggi adalah ujian pribadi manusia yang sesungguhnya: menjadi pelayan yang berhadapan dengan berbagai macam karakter manusia. Kreativitas dan kesabaran bisa diuji setiap saat. “Rumus yang selalu saya gunakan adalah nasihat Buddha: meski tergoda hal-hal duniawai, batin harus tetap tenang tak tergoyahkan. Dalam berucap, saya sekuat tenaga berpegang pada ucapan yang benar, berfaedah, beralasan, dan tepat pada waktunya. Formula itu masih terus saya gunakan,” jelasnya.
“STAB Nalanda adalah tempat yang menarik buat saya, tentu tidak relevan secara ekonomi. Menarik karena di sinilah saya ikut cawe-cawe melahirkan tunas-tunas bangsa yang bukan main: guru. Lebih hebat lagi: guru agama. Saya merasa sudah melangkah di jalan yang benar: berdana Dhamma sebagai pemberian yang tertinggi. Cinta saya kepada kampus ini makin lama makin dalam,” ujar Sutrisno penuh harap.
Tak hanya di STAB Nalanda, di tahun 2012 Sutrisno juga diminta mengajar di STMIK Dharma Putra Bekasi juga menjadi Kepala SMP Ananda dan terlibat dalam mendirikan Program Pascasarjana STAB Nalanda.
Di tengah berbagai kesibukan menjadi guru, kepala sekolah dan dosen, nampaknya niat belajar Sutrisno tidak pernah padam. Ia selanjutnya melanjutkan program Doktor di Universitas Indonesia. “Kuliah di UI adalah pekerjaan yang berat, lebih berat lagi jika berbarengan dengan rupa-rupa pekerjaan. Namun, berkat kerja ekstra-keras semuanya bisa dilewati dengan baik. Di masa ini, bisa tidur malam adalah karunia luar biasa,” katanya.
Semua kerja keras Sutrisno kini telah membuahkan hasil. Ia akan menjadi umat Buddha Indonesia yang menyandang gelar Doktor Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Akhirnya, selamat Pak Sutris! Selamat mengabdi ke jenjang berikutnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara